Alam semesta begitu luas, tetapi di mana pusatnya? Ternyata, tidak ada satupun yang dapat menjadi pusat alam semesta. Kredit: Shutterstock |
Saat menatap
langit malam yang cerah, kita akan menemukan bintang di segala arah. Seolah-olah terasa kita berada di pusat kosmos. Tapi apakah benar? Jika tidak, lantas di manakah pusat alam semesta?
Faktanya alam semesta tidak memiliki pusat. Sejak Big Bang 13,7 miliar
tahun lalu, kosmos terus meluas. Meskipun disebut Big Bang,
sebenarnya fenomena dashyat yang dianggap melahirkan jagad raya bukanlah sebuah ledakan yang meletus
keluar dari titik pusat. Karena alam semesta memulai dirinya dari ukuran yang sangat kecil dan padat. Lalu, setiap titik di alam semesta meluas secara merata hingga hari ini. Jadi tanpa titik asal, alam semesta tidak memiliki
pusat.
Salah
satu konsep untuk menggambarkannya adalah seekor semut di permukaan balon bulat sempurna dalam dua dimensi. Dari sudut pandang semut, di
mana-mana permukaan balon tampak sama. Tidak ada pusat di permukaan balon, termasuk tanpa tepi.
Jika balon ditiup, semut akan melihat alam semesta dua dimensi yang
mengembang. Gambarlah titik-titik di permukaan balon, maka mereka akan bergerak saling menjauh, sama seperti galaksi di alam semesta kita
yang sebenarnya.
Bagi semut di alam semesta dua dimensi ini, setiap dimensi ketiga yang meluas tegak lurus terhadap permukaan balon seperti menuju ke pusat balon dan tidak
memiliki makna fisik.
“Alam semesta bisa maju dan mundur, juga bisa ke kiri dan ke kanan,” ungkap astrofisikawan Barbara Ryden dari Universitas Negeri Ohio State, AS. “Tapi alam semesta tidak mengenal konsep naik dan turun.”
Alam semesta kita adalah versi tiga dimensi dari alam semesta balon dua dimensi semut.
Tetapi analogi balon yang luas permukaannya terbatas, mewakili kosmos yang terbatas, yang bahkan para kosmolog sekalipun masih belum terlalu memahaminya, Ryden menjelaskan. Terbatas oleh seberapa jauh cahaya telah
menempuh perjalanan sejak Big Bang, pengamatan kosmologis hanya menawarkan pandangan
sekilas yang terbatas terhadap alam semesta, meskipun seluruh alam semesta bisa saja tak
terbatas.
Jika memang seperti itu, kita dapat mengganti balon dengan sebuah lembaran karet datar
yang mengembang selamanya. Atau jika kita ingin menggambarkan kosmos dalam tiga dimensi, bayangkan roti kismis yang terus mengembang. Kismis mewakili galaksi yang saling menjauh. “Jika tak terbatas,” kata Ryden kepada Live Science, “maka alam semesta tidak memiliki pusat.”
Apakah
bentuk alam semesta datar atau melengkung tergantung pada jumlah total
massa dan energi yang terkandung di alam semesta itu sendiri. Jika massa dan kepadatan
energi setara dengan sesuatu yang disebut ambang batas kepadatan, alam semesta itu datar seperti selembar kertas yang terus meluas dengan kecepatan
yang terus meningkat.
Tetapi
jika kepadatannya lebih tinggi, maka alam semesta melengkung seperti balon. Tambahan gaya gravitasi dari kepadatan yang lebih tinggi akan memperlambat ekspansi kosmos,
yang pada akhirnya menghentikan ekspansi kosmos.
Sedangkan jika kepadatannya lebih rendah, ekspansi kosmos terjadi lebih cepat. Dalam skenario ini, alam semesta akan memiliki
kelengkungan negatif menyerupai pelana. Meskipun menyerupai pelana, alam semesta tetap tak terbatas dan tidak memiliki pusat.
Sejauh
ini, observasi dan gagasan teoretis, seperti latar belakang gelombang mikro
kosmik, radiasi termal yang tersisa dari Big Bang, mengarah ke alam semesta datar. Tetapi para kosmolog masih belum yakin apakah alam semesta memang datar atau hanya tampak datar karena kelengkungannya sangat lebar, mirip
dengan permukaan Bumi yang terasa datar.
Alam semesta tanpa pusat, tanpa tepi dan terus meluas, sangat konsisten dengan prinsip kosmologis yang menganggap tidak ada satu pun tempat di jagad raya yang istimewa. Obervasi terhadap distribusi gugus galaksi dan latar belakang gelombang mikro
kosmik, mengungkap kosmos yang terlihat sama di segala arah.
Sepanjang
sejarah peradaban kita, manusia pernah menganggap Bumi sebagai pusat alam semesta, namun kosmos justru menunjukkan hal yang bertolak belakang.
Ditulis
oleh: Marcus Woo, kontributor www.livescience.com
Komentar
Posting Komentar