Langsung ke konten utama

Astrofisika dari UC San Diego Berkontribusi pada Penemuan Planet Utama

astrofisika-UC-San-Diego-trappist-1-astronomi

Publikasi penemuan sistem yang terdiri dari tujuh planet yang mengorbit bintang induk tunggal oleh Teleskop Antariksa Spitzer NASA, mungkin merupakan berita terbesar tahun ini.

Tak sekadar berita besar, konfrensi pers yang digelar tanggal 22 Februari 2017 di Markas Besar NASA, Washington, D.C., para ilmuwan di balik misi juga merinci penemuan yang dipublikasikan hari ini di jurnal Nature.

Profesor Fisika Adam Burgasser beserta tim di Pusat Ilmu Astrofisika dan Antariksa UC San Diego memainkan peranan penting dalam penemuan ini. Tim telah mempelajari bintang induk katai dan tujuh planet seukuran Bumi yang mengorbitnya untuk menentukan suhu, gravitasi permukaan (massa dan radius) dan komposisi unsur.

Tim juga memperoleh pengukuran emisi radio untuk menentukan aktivitas magnetis bintang induk yang dianggap penting untuk menilai tingkat habitabilitas sistem planet.

Tiga di antaranya berada di sekitar "zona layak huni," atau wilayah ideal dari bintang induk yang tidak terlalu panas atau dingin untuk menopang air cair di permukaan planet, unsur utama kehidupan.

Selain itu, penemuan sistem planet yang diberi nama TRAPPIST-1, memecahkan rekor dalam hal jumlah planet seukuran Bumi dan jumlah planet di zona layak huni yang ditemukan mengorbit bintang induk tunggal.

"Penemuan TRAPPIST-1 sebagai sistem planet yang “kaya” sebab mencakup seluruh zona layak huni ini sangat menarik, apabila dilihat dari perspektif upaya pencarian dunia layak huni di seluruh galaksi Bima Sakti kita," kata Burgasser, rekan penulis makalah studi. "Bintang bermassa sangat rendah seperti TRAPPIST-1, diperkirakan jumlahnya 20 kali lebih banyak dibandingkan bintang mirip Matahari di galaksi kita, jadi berpotensi membentuk 'real estate' yang layak huni."

astrofisika-UC-San-Diego-trappist-1-astronomi
Ilustrasi permukaan eksoplanet TRAPPIST-1f.
NASA/JPL-Caltech

"Penemuan memberikan wawasan kritis bagi para astronom tentang di mana lokasi terbaik untuk mencari lebih banyak eksoplanet di zona layak huni, guna memahami berbagai lingkungan di alam semesta kita yang berpotensi menopang kehidupan," kata Steven Boggs, seorang astrofisikawan dan Dekan Divisi Ilmu Fisika UC San Diego.

Bulan Mei tahun 2016 lalu, Burgasser menjadi bagian dari tim yang mempublikasikan penemuan tiga planet seukuran Bumi di sekitar bintang katai merah TRAPPIST-1, yang terletak sekitar 235 triliun mil di rasi bintang Aquarius. Penemuan ini didasarkan pada data yang diperoleh dengan metode The Transiting Planet dan Planetesimals Small Telescope (TRAPPIST) di Chile.

Mereka ditemukan melalui pengukuran penurunan skala kecerahan cahaya bintang saat planet melintas atau transit di depan bintang, bagaikan melihat seekor kunang-kunang di depan bola lampu redup.

"Kesejajaran sistem planet harus tepat," jelas Burgasser. "Dan jumlah penurunan skala kecerahan bintang sangat terkait dengan ukuran relatif planet dan bintang induk itu sendiri. Untuk sebuah planet seukuran Bumi yang melintas di depan bintang bermassa rendah, hanya menurunkan satu persen kecerahan bintang."

Setelah penemuan awal di bulan Mei, tim kemudian terus mengamati sistem TRAPPIST-1 selama 20 hari non-stop menggunakan Spitzer, teleskop inframerah besutan NASA yang ideal untuk mengamati bintang dingin karena memancarkan emisi kuat panjang gelombang inframerah. Tim juga menggunakan jajaran teleskop berbasis darat, seperti Teleskop InfraR milik Inggris (UKIRT) di Hawaii, Observatorium Very Large Telescope milik European Southern Observatory di Chili dan teleskop TRAPPIST yang baru dipasang di Maroko.

"Pengamatan intens mengungkap 7 planet di dalam sistem," jelas Burgasser. "Kami menemukan sinyal dari salah satu dari tiga planet awal sebenarnya merupakan transit beberapa planet lain."

Peran utama yang dimainkan Burgasser adalah karakterisasi bintang bermassa sangat rendah yang menjadi target studi proyek ini, termasuk TRAPPIST-1. Dia memimpin satu tim ilmuwan riset, mahasiswa pascasarjana dan mahasiswa sarjana di UC San Diego yang mempelajari bintang redup menggunakan Observatorium Keck dan Fasilitas Teleskop Inframerah NASA, keduanya di Mauna Kea, Hawaii; Observatorium Nikel di Mt. Hamilton, California; dan teleskop radio Very Large Array di Socorro, New Mexico.

Tim Burgasser berhasil menetapkan ukuran TRAPPIST-1 sebagai salah satu bintang terkecil yang pernah diketahui, hanya sedikit lebih besar daripada planet Jupiter.

"Masa bintang redup ini 12 kali lebih rendah dan ukurannya sembilan kali lebih kecil daripada Matahari, sedangkan suhu permukaan kurang dari separuh suhu Matahari," kata Burgasser.



Dengan menentukan massa, ukuran dan kecerahan bintang, Burgasser bersama tim mampu menyimpulkan ukuran dan suhu permukaan ketujuh planet seukuran Bumi, dan memperkirakan massa untuk enam planet. Massa eksoplanet ketujuh terjauh belum ditentukan, namun oleh beberapa ilmuwan dispekulasikan sebagai dunia dingin menyerupai "bola salju."

Dengan menggabungkan massa dan jari-jari planet, masa jenis seluruh planet mirip objek berbatu. Observasi lebih lanjut tak hanya akan membantu menentukan kandungan air, tapi juga akan mengungkap apakah ada yang bisa menampung air cair di permukaannya.

"TRAPPIST-1 telah mengkonfirmasi penelitian sebelumnya yang memperkirakan bahwa bintang bermassa rendah cenderung menjadi induk bagi dunia berbatu daripada planet raksasa gas seperti Jupiter," kata Burgasser. "Kehidupan yang kita ketahui, dan kita hanya memiliki satu contoh, membutuhkan beragam unsur kimawi di permukaan planet, khususnya air."

Bintang TRAPPIST-1 diklasifikasikan sebagai "bintang katai ultra dingin," sehingga air cair hanya bisa ada di permukaan planet yang mengorbit sangat dekat dengannya. Orbit ketujuh planet TRAPPIST-1 lebih dekat dibandingkan orbit Merkurius mengelilingi Matahari, yang juga merupakan ciri khas lain dari sistem planet ini.

Selain itu, sistem TRAPPIST-1 sangat rapat, sehingga jika dapat berdiri di permukaan salah satu planet, maka seseorang berpotensi melihat fitur geologi atau awan di planet-panet tetangga yang muncul lebih besar daripada Bulan di langit Bumi.

"Dalam hal skala, sistem TRAPPIST-1 terlihat lebih mirip sistem bulan Galilea di sekitar Jupiter daripada sistem planet yang mengorbit Matahari," jelas Burgasser.

astrofisika-UC-San-Diego-trappist-1-astronomi
Perbandingan sistem TRAPPIST-1 dengan tata surya kita. Orbit rapat sistem TRAPPIST-1 mengingatkan kita pada sistem orbit bulan-bulan Jupiter.
Kredit: NASA/JPL-CALTECH

Sementara ukuran dan orbit sistem TRAPPIST-1 membuat tiga planet di antaranya berpotensi layak huni, faktor lain juga berperan.

"Hanya karena sebuah planet berada di zona layak huni bintang, tidak otomatis memiliki kondisi ideal untuk air cair atau kehidupan, terutama dalam jangka panjang," kata Burgasser. "Mars adalah sampel terbaik. Meskipun berada di pinggiran zona layak huni Matahari, gravitasi Mars yang rendah, kurangnya medan magnet yang kuat dan angin surya telah berkonspirasi untuk melucuti sebagian besar atmosfer Mars. Memang ada bukti yang mengindikasikan bahwa Mars pernah menampung air cair di permukaan miliaran tahun lalu, tapi saat ini Mars adalah Planet Merah yang kering dan tidak ramah terhadap kehidupan."

Planet-planet yang mengorbit dekat dengan bintang induk, sebagaimana sistem TRAPPIST-1, dapat menimbulkan masalah baru terkait habitabilitas, dia menambahkan. Termasuk kemungkinan sistem planet mengalami penguncian pasang surut, seperti Bulan terhadap Bumi, satu belahan planet selalu menghadap bintang induk sementara sisi yang lain mendekam dalam kegelapan abadi.

"Tingkat rotasi lambat planet mengalami penguncian pasang surut, mengakibatkan lama hari dan tahun selalu sama, satu sisi selalu siang sedangkan sisi lainnya selalu malam. Medan magnet pelindung juga turut melemah, sehingga rentan terpapar radiasi berbahaya dari bintang induk," jelas Burgasser. "Jadi, pemahaman karakteristik bintang dan planet sangat penting untuk menentukan habitabilitas."

Terlepas dari karakteristik planet yang tampaknya aneh (setidaknya bagi manusia), penemuan TRAPPIST-1 telah menyediakan peta jalan untuk mencari dunia-dunia layak huni di luar tata surya kita.

"Penemuan ini merupakan potongan puzzle untuk menemukan kehidupan di luar Bumi," kata Thomas Zurbuchen, administrator asosiasi Direktorat Misi Sains NASA di Washington. "Menjawab pertanyaan klasik apakah kita sendirian di alam semesta adalah prioritas utama sains. Dan menemukan sebegitu banyak planet di zona layak huni untuk pertama kalinya, merupakan lompatan untuk menjawab pertanyaan tersebut."

Ditulis oleh: Staf, ucdsnews.ucsd.edu


#terimakasihgoogle

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diameter Bumi

Kredit: NASA, Apollo 17, NSSDC   Para kru misi Apollo 17 mengambil citra Bumi pada bulan Desember 1972 saat menempuh perjalanan dari Bumi dan Bulan. Gurun pasir oranye-merah di Afrika dan Arab Saudi terlihat sangat kontras dengan samudera biru tua dan warna putih dari formasi awan dan salju antartika.   Diameter khatulistiwa Bumi adalah  12.756 kilometer . Lantas bagaimana cara para ilmuwan menghitungnya? Kredit: Clementine,  Naval Research Laboratory .   Pada tahun 200 SM, akurasi perhitungan ukuran Bumi hanya berselisih 1% dengan perhitungan modern. Matematikawan, ahli geografi dan astronom Eratosthenes menerapkan gagasan Aristoteles, jika Bumi berbentuk bulat, posisi bintang-bintang di langit malam hari akan terlihat berbeda bagi para pengamat di lintang yang berbeda.   Eratosthenes mengetahui pada hari pertama musim panas, Matahari melintas tepat di atas Syene, Mesir. Saat siang hari pada hari yang sama, Eratosthenes mengukur perpindahan sudut Matahari dari atas kota Al

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Berapa Lama Satu Tahun di Planet-Planet Lain?

Jawaban Singkat Berikut daftar berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap planet di tata surya kita untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari (dalam satuan hari di Bumi): Merkurius: 88 hari Venus: 225 hari Bumi: 365 hari Mars: 687 hari Jupiter: 4.333 hari Saturnus: 10.759 hari Uranus: 30.687 hari Neptunus: 60.190 hari   Satu tahun di Bumi berlalu sekitar 365 hari 6 jam, durasi waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari. Pelajari lebih lanjut tentang hal itu di artikel: Apa Itu Tahun Kabisat? Satu tahun diukur dari seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sebuah planet untuk mengorbit bintang induk. Kredit: NASA/Terry Virts Semua planet di tata surya kita juga mengorbit Matahari. Durasi waktu satu tahun sangat tergantung dengan tempat mereka mengorbit. Planet yang mengorbit Matahari dari jarak yang lebih dekat daripada Bumi, lama satu tahunnya lebih pendek daripada Bumi. Sebaliknya planet yang