Cincin Saturnus telah memesona para ilmuwan sejak
astronom Italia Galileo Galilei pertama kali melihatnya menggunakan teleskop pada abad ke-17. Tapi, bagaimana cincin es Saturnus terbentuk tetap menjadi
misteri walaupun telah berulang kali dipelajari, dengan setiap studi menghasilkan penemuan-penemuan baru.
Para astronom sekarang mengetahui Saturnus memiliki banyak
cincin yang terdiri dari kira-kira 35 triliun triliun ton es, debu dan batu.
Pesawat antariksa Cassini dan pendahulunya Voyager juga telah melihat
perubahan pola cincin yang hingga kini masih terus berevolusi sebab bulan-bulan Saturnus terus memuntahkan partikel-partikel es untuk membentuk struktur cincin baru.
Cassini juga mencitrakan peristiwa yang terjadi di dekat ekuinoks Saturnus baru-baru ini, ketika sebuah objek diketahui menabrak salah satu
cincin dan meninggalkan bekas puing-puing, yang sekali lagi menegaskan bahwa cincin Saturnus adalah sistem yang dinamis dan selalu berubah.
Sampai saat ini, bagaimana dan kapan masing-masing
cincin terbentuk tetap tidak diketahui.
Ekuinoks adalah salah satu fenomena astronomi ketika Matahari
melintasi garis khatulistiwa planet, sehingga saat fenomena berlangsung waktu
siang dan malam di bagian planet hampir relatif sama.
Rangkaian Cincin Saturnus
Para ilmuwan telah belajar banyak sejak matematikawan Belanda
Christiaan Huygens menindaklanjuti penemuan Galileo dan telah
merepresentasikan cincin Saturnus pada tahun 1655. Cincin Saturnus terdiri dari gumpalan es, lumpur, batu, dan bahkan partikel-partikel beku dari bulan-bulan Saturnus turut menyumbang kekacauan gaya gravitasi karena mengorbit di dekat cincin.
Jupiter, Uranus dan Neptunus sebenarnya juga memiliki rangkaian cincin yang
lebih ramping. Tapi, entah bagaimana
Saturnus dapat mengumpulkan koleksi cincin yang begitu spektakuler, dan para
ilmuwan telah mengorganisirnya ke dalam divisi meliputi: D, C, B, A, F, G dan E.
Satu teori yang diajukan memprediksi cincin berasal dari puing-puing
bulan Saturnus yang hancur selama periode bombardir meteorit sekitar 4 miliar tahun yang lalu. Tabrakan antara komet atau asteroid besar
juga bisa menjelaskan kumpulan puing-puing yang membentuk cincin.
Teori lain menggagas cincin Saturnus merupakan
kilas balik cakram protoplanet purba pada sejarah awal tata surya yang gagal menggumpal menjadi bulan, didasari pada tarikan gaya pasang surut intens Saturnus.
Struktur dan celah aneh juga ditemukan. Voyager pertama kali
melihat pola aneh yang memotong cincin layaknya jari-jari roda, dan Cassini turut mencitrakan jari-jari tersebut. Tidak ada kesepakatan mengenai asal usul jari-jari, apakah disebabkan oleh dampak tumbukan meteoroid pada cincin atau ketidakstabilan medan
magnet Saturnus. Para ilmuwan bahkan berani memprediksi badai atau petir Saturnus sebagai penyebab di balik fenomena tersebut.
Celah-celah lain menyerupai baling-baling pesawat
terbang mungkin terbentuk saat partikel bulan-bulan
Saturnus membajak partikel cincin yang mengorbit. Eksistensi ribuan
partikel dingin dari bulan-bulan Saturnus bisa saja terkait dengan teori
tabrakan yang membentuk cincin Saturnus.
Dari Waktu ke Waktu
Usia cincin Saturnus juga tetap misteri. Observasi menggunakan jajaran teleskop berbasis darat, cenderung menentukan cincin purba yang telah berusia miliaran tahun karena terbentuk sejak sejarah awal tata surya sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu. Sebaliknya,
Voyager cenderung menentukan usia yang lebih muda, sekitar 200 juta tahun ketika
dinosaurus mulai mengambil alih Bumi.
Misi sistem planet Saturnus oleh Cassini bahkan lebih memperumit, karena menemukan bahwa setiap cincin mungkin terbentuk pada waktu yang
berbeda dengan cara yang berbeda. Pesawat antariksa besutan NASA ini menemukan kepulan-kepulan dingin dari bulan Enceladus terus menyuplai pasokan “makanan” untuk cincin E dengan material-material baru. Bulan-bulan terdalam yang ukurannya lebih kecil juga mengorbit dalam lingkaran parsial
dan melengkapi kompleksitas pembentukan cincin dari partikel-partikel mereka sendiri.
Beberapa divisi cincin juga tampaknya memperbarui diri sehingga dapat menjelaskan perbedaan usia, menurut Todd Barber, insinyur
propulsi Cassini. Dia membahas teori cincin Saturnus dengan Linda Spilker,
wakil ilmuwan proyek Cassini.
"Rupanya, material divisi B mungkin lebih purba, tetapi rentan terhadap proses daur ulang. Mencoba untuk menggumpal tetapi malah tercerai-berai dan mengekspos es air segar (dan tampak muda)," kata Barber. "Terbukti, material purba menjadi muda kembali."
Okultisme dan Ekuinoks
Beberapa tahun terakhir merupakan jeda waktu bagi para ilmuwan untuk lebih memahami cincin Saturnus. Sampai akhirnya Cassini berhasil
memotret semua cincin Saturnus pada tahun 2006, saat Matahari
terbit tepat di belakang Saturnus dan tetap terhalang oleh planet ini selama 12
jam.
Fenomena lain yang jarang terjadi pada bulan Agustus ini
memungkinkan Cassini untuk memeriksa kedalaman vertikal cincin selama ekuinoks Saturnus, sebuah peristiwa yang hanya berlangsung setiap 15 tahun. Saat itulah
cincin hampir tidak memantulkan cahaya Matahari.
"Kapan pun ekuinoks terjadi di Saturnus, sinar Matahari akan
menerangi cincin tipis Saturnus, di tepi bidang cincin," Spilker mencatat.
Sejauh ini, bahkan dengan keampuhan Cassini, yang diambil dari nama Giovanni Domenico Cassini, penemu bulan-bulan Saturnus dan divisi-divisi cincin Saturnus, para ilmuwan belum mampu mengungkap semua
rahasia Saturnus.
Misi Cassini diperpanjang sampai tahun 2017 untuk terus mengungkap banyak misteri cincin Saturnus. Tujuan sains Cassini difokuskan pada perkiraan umur cincin dengan
memeriksa tingkat kontaminasi meteoroid, mengukur massa cincin, melihat
bagaimana celah yang menyerupai baling-baling pesawat terbentuk, dan mencari tahu
bagaimana celah-celah cincin terbentuk.
"Seperti pesulap besar lainnya, Saturnus tidak pernah gagal
untuk tampil mengesankan," kata Spilker. "Sedikit okultisme dan ekuinoks juga tidak ada salahnya."
Ditulis oleh: Jeremy Hsu, www.space.com
#terimakasihgoogle
Komentar
Posting Komentar