Langsung ke konten utama

Pendekatan Lintas Disiplin Ilmu dalam Pencarian Kehidupan di Luar Bumi

kepler-186f-planet-seukuran-bumi-pertama-informasi-astronomi
Ilustrasi Kepler-186f, planet seukuran Bumi pertama yang ditemukan mengorbit di zona layak huni bintang induk. Para ilmuwan telah menemukan ribuan eksoplanet, namun pengetahuan yang diperoleh dirasa masih terbatas karena kita belum dapat melihat mereka secara langsung.
Kredit: NASA Ames/SETI Institute/JPL-Caltech

Upaya pencarian kehidupan di luar Bumi telah melonjak pesat dalam hal kreativitas dan inovasi. Setelah penemuan ribuan eksoplanet selama dua dekade terakhir, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menindaklanjutinya, dengan menentukan eksoplanet mana yang menjadi kandidat terbaik dalam menampung kehidupan.

Saat pertemuan musim gugur American Geophysical Union yang digelar tanggal 13 Desember 2017 di New Orleans, Louisiana, para ilmuwan dari NASA dan dua universitas di Amerika Serikat mempresentasikan hasil studi terbaru yang didekasikan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka mendemonstrasikan bagaimana pendekatan lintas disiplin ilmu, mencakup astrofisika, sains Bumi dan sains planet serta heliofisika, merupakan faktor kunci untuk menemukan kehidupan di dunia lain.

“Eksoplanet yang berpotensi layak huni di alam semesta telah berkembang pesat,” ungkap astrobiologis Giada Arney dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland. “Kita telah menemukan ribuan eksoplanet, tapi pengetahuan yang kita miliki tentang mereka sangat terbatas karena kita belum bisa melihat mereka secara langsung.”

Saat ini, sebagian besar ilmuwan hanya mengandalkan metode tidak langsung untuk mengidentifikasi dan mempelajari eksoplanet atau planet yang mengorbit bintang selain Matahari. Metode tidak langsung memang dapat memberikan informasi jarak planet dari bintang induk atau apakah planet yang dipelajari mirip Bumi, tetapi tidak bisa menentukan habitabilitas planet. Untuk mengetahuinya, para ilmuwan harus dapat mengamati eksoplanet secara langsung.

Desain instrumen dan misi pencitraan langsung terus dikembangkan, Arney menjelaskan bahwa para ilmuwan telah menghasilkan banyak kemajuan dengan peralatan yang dimiliki saat ini. Para ilmuwan membangun model komputasi untuk menyimulasikan interaksi antara planet dengan bintang induk dan seperti apa seharusnya lingkungan planet layak huni. Untuk memvalidasi model, para ilmuwan menggunakan planet-planet di tata surya kita sendiri, sebagai analog bagi eksoplanet yang mungkin kita temukan suatu hari nanti.

“Untuk menemukan kehidupan di tempat lain, para ilmuwan harus mempertimbangkan eksoplanet secara holistik, atau perspektif dari berbagai disiplin ilmu,” ujar Arney. “Dibutuhkan studi multi disiplin ilmu untuk meneliti eksoplanet sebagai dunia kompleks yang dibentuk oleh beberapa proses dalam hal astrofisika, bukan hanya sebagai titik-titik jauh di langit.”

Bumi sebagai Analog Eksoplanet

Ketika kita dapat mengambil gambar eksoplanet secara langsung, bahkan gambar eksoplanet terdekat hanya akan terlihat sebagai sejumlah kecil piksel. Apa yang bisa kita pelajari tentang kehidupan di eksoplanet dari hanya segelintir piksel?

Stephen Kane, seorang ahli eksoplanet dari Universitas California di Riverside, telah menemukan sebuah cara untuk menjawabnya menggunakan Earth Polychromatic Imaging Camera NASA yang dipasang di National Oceanic and Atmospheric Administration’s Deep Space Climate Observatory (DSCOVR). Bersama para kolega, Kane telah mengambil gambar beresolusi tinggi menggunakan DSCOVR --yang biasanya digunakan untuk mendokumentasikan pola cuaca global dan fenomena terkait iklim di Bumi-- kemudian menurunkan resolusi gambar hanya dalam beberapa piksel. Kane menjalankan gambar DSCOVR melalui filter noise untuk mensimulasikan gangguan yang akan dihadapi dalam misi eksoplanet.

“Dari hanya beberapa piksel, kami mengekstrak sebanyak mungkin informasi yang dapat diketahui tentang Bumi,” ungkap Kane. “Jika kita bisa melakukannya secara akurat dengan Bumi, maka kita juga bisa menerapkannya untuk planet yang mengorbit bintang lain.”

gambar-bumi-dari-kamera-dscovr-epic-informasi-astronomi
Kiri, gambar Bumi dari kamera DSCOVR-EPIC. Kanan, gambar yang sama namun resolusinya terdegradasi ke 3x3 piksel, serupa dengan yang akan dilihat oleh para peneliti dalam misi observasi eksoplanet masa depan.
Kredit: NOAA/NASA/DSCOVR

DSCOVR mengambil gambar setiap 30 menit dan sudah berada di orbit selama dua tahun. Lebih dari 30.000 gambar yang dihasilkan merupakan rekaman observasi tanpa henti terpanjang terhadap bulatan Bumi dari luar angkasa. Dengan mengamati perubahan kecerahan Bumi, saat sebagian besar permukaan diamati dibandingkan dengan pengamatan sebagian besar air, Kane mampu merekayasa albedo Bumi, tingkat kemiringan sumbu rotasi, laju rotasi dan variasi musim, rekayasa yang belum pernah diterapkan ke eksoplanet. Rekasaya yang dihasilkan Kane adalah segala sesuatu yang berpotensi memengaruhi kondisi planet untuk menopang kehidupan.

Mempelajari Planet Venus Lain

Banyak cara yang digunakan oleh para ilmuwan selain menggunakan Bumi sebagai studi kasus planet layak huni. Mereka juga menggunakan planet-planet lain di tata surya untuk mempelari kondisi yang membuat planet tidak layak huni.

Kane juga mempelajari Venus, planet kembaran Bumi. Suhu di permukaan Venus mencapai 850 derajat Fahrenheit, atmosfer dipenuhi asam sulfat dan tekanan di permukaannya 90 kali lebih besar daripada Bumi. Karena ukuran Bumi dan Venus hampir setara namun begitu berbeda dalam hal prospek habitabilitas, Kane mengembangkan metode untuk membedakan analog antara Bumi dan Venus di sistem planet lain, sebagai cara untuk mengidentifikasi planet terestrial (berbatu) layak huni.

Kane mengidentifikasi analog Venus dari arsip data Teleskop Antariksa Kepler NASA untuk mendefinisikan “Zona Venus” atau insolasi planet, yaitu seberapa banyak planet terpapar cahaya dari bintang induk yang bertanggung jawab atas siklus erosi atmosfer dan gas rumah kaca.

“Takdir atmosfer Bumi dan Venus terkait erat,” Kane menjelaskan. “Dengan mencari planet serupa, kita dapat memahami evolusi mereka yang akhirnya mengarah ke seberapa sering planet-planet berkembang menjadi neraka seperti di Venus.”

perbandingan-bumi-dengan-venus-informasi-astronomi
Ilustrasi Bumi (kanan) dan Venus (kiri).
Kredit: NASA/JPL-Caltech/Ames

Pemodelan Interaksi Bintang-Planet

Sementara Kane membahas tentang planet, ilmuwan Katherine Garcia-Sage dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA cenderung fokus ke interaksi antara planet dengan bintang induk. Para ilmuwan juga harus mempertimbangkan tentang kualitas bintang induk dan lingkungan elektromagnetik planet (yang melindungi dari radiasi bintang), karena kedua faktor ini dapat menghambat atau mendukung habititabilitas. Medan magnet Bumi, misalnya, melindungi atmosfer dari angin surya berbahaya yang mencurahkan partikel bermuatan dan berpotensi melucuti molekul gas di atmosfer dalam proses yang disebut pelepasan ionosfer.

Garcia-Sage menggambarkan penelitian Proxima b, eksoplanet terdekat yang terletak empat tahun cahaya dan diketahui mengorbit di zona layak huni bintang katai merah Proxima Centauri. Berada di zona layak huni tidak otomatis menjadikan sebuah planet layak huni. Zona layak huni adalah jarak ideal planet dari bintang induk yang dapat menopang air cair di permukaan.

Meskipun belum diketahui apakah Proxima b memiliki medan magnet yang cukup kuat, para ilmuwan menggunakan model komputasi untuk menyimulasikan seberapa kuat medan magnet mirip Bumi melindungi atmosfer planet yang menginduk Proxima Centauri dan kerap menghasilkan badai bintang ganas. Efek badai bintang terhadap lingkungan di sistem planet tertentu secara kolektif disebut cuaca antariksa.

“Kita perlu memahami cuaca antariksa sistem planet untuk memahami apakah sebuah planet dapat layak huni,” papar Garcia-Sage. “Jika terlalu aktif, maka bintang induk dapat melucuti atmosfer, lapisan molekul gas yang diperlukan untuk menopang air cair. Tapi, ada garis tipis: indikasi radiasi bintang justru menghasilkan elemen penyusun kehidupan.”

Bintang katai merah adalah salah satu jenis bintang yang paling umum di galaksi kita, termasuk Proxima Centauri, berpotensi besar melucuti atmosfer planet ketika radiasi ultraviolet ekstrem mengionisasi gas atmosfer.

pelepasan-ion-dari-atmosfer-eksoplanet-informasi-astronomi
Dalam ilustrasi ini, sinar ultraviolet ekstrem dari bintang katai merah yang aktif, menyebabkan ion meloloskan diri dari atmosfer eksoplanet.
Kredit: Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA

Para ilmuwan menghitung jumlah rata-rata radiasi yang berasal dari Proxima Centauri berdasarkan pengamatan Observatorium Sinar-X Chandra NASA. Dari wilayah orbit Proxima b, para ilmuwan mengungkap planet mirip Bumi ini menghadapi radiasi ultraviolet ekstrem ratusan kali lebih besar daripada yang diterima Bumi dari Matahari.

Bersama para kolega, Garcia-Sage merancang sebuah model komputer untuk mempelajari apakah planet mirip Bumi --bahkan dengan lapisan atmosfer medan magnet dan gaya gravitasi setara Bumi-- saat berada di orbit Proxima b dapat mempertahankan atmosfernya. Mereka memeriksa tiga faktor yang mendorong pelepasan ionosfer: radiasi bintang, suhu atmosfer netral dan ukuran lapisan kutub, tempat ion meloloskan diri.

Dengan kondisi ekstrem yang dialami oleh Proxima b, planet dapat kehilangan atmosfer dengan jumlah yang setara dengan seluruh atmosfer Bumi dalam waktu 100 juta tahun, relatif singkat dibandingkan usia Proxima b yang diperkirakan telah mencapai 4 miliar tahun. Bahkan dalam kemungkinan skenario terbaik, Proxima b akan kehilangan atmosfernya dalam kurun waktu lebih dari 2 miliar tahun.

Mars, Laboratorium Ideal untuk Mempelajari Eksoplanet

Sementara Garcia-Sage memaparkan tentang medan magnet planet, David Brain, seorang ilmuwan planetologi dari Universitas Colorado, Boulder, membahas Mars, sebuah planet tanpa medan magnet.

“Mars adalah laboratorium ideal untuk mempelajar eksoplanet,” jelas Brain. “Kita bisa menggunakan Mars untuk membatasi konsep eksoplanet terestrial yang belum kita observasi.”

Brain memanfaatkan arsip data yang dikumpulkan oleh misi Mars Atmosphere and Volatile Evolution (MAVEN) NASA. Brain berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana Mars berevolusi jika mengorbit jenis bintang yang berbeda? Jawaban tersebut menyediakan informasi tentang perkembangan planet terestrial dalam situasi yang berbeda.

Mars mungkin pernah memiliki air dan atmosfer yang membuatnya ramah terhadap kehidupan. Tapi, Mars telah kehilangan sebagian besar atmosfer dari waktu ke waktu melalui berbagai proses kimia dan fisika, MAVEN mempelajari proses serupa di Planet Merah sejak diluncurkan pada akhir tahun 2013.

Bersama para kolega, Brain menerapkan wawasan MAVEN untuk menyimulasikan hipotetis planet mirip Mars yang mengorbit bintang katai merah. Dalam situasi imajiner ini, planet akan menerima sekitar 5-10 kali radiasi ultraviolet lebih banyak daripada yang diterima Mars dari Matahari, sehingga mempercepat tingkat pelucutan atmosfer. Perhitungan mereka menunjukkan bahwa atmosfer bisa 3-5 kali lebih banyak kehilangan partikel bermuatan dan sekitar 5-10 kali lipat lebih banyak untuk partikel netral.

Tingkat pelepasan atmosfer semacam itu menunjukkan bahwa planet yang mengorbit di wilayah tepi zona layak huni bintang katai merah yang kurang aktif, dapat mempersingkat masa habitabilitas planet 5-20 faktor.

simulasi-planet-mengorbit-bintang-katai-merah-informasi-astronomi
Untuk menerima jumlah cahaya bintang setara dengan yang diterima Mars dari Matahari, sebuah planet terestrial yang mengorbit bintang katai merah harus berada lebih dekat dengan bintang induknya daripada jarak Merkurius-Matahari.
Kredit: Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA

“Tapi saya tidak akan melepaskan harapan untuk planet terestrial yang mengorbit bintang tipe M (katai merah),” papar Brain. “Kami memilih skenario terburuk. Mars adalah planet kecil dan tidak memiliki medan magnet, sehingga angin surya lebih mudah melucuti atmosfernya. Kami juga memilih Mars yang tidak aktif secara geologis dan tidak memiliki sumber atmosfer internal. Jika kita dapat mengubahnya hanya 1 faktor, maka planet semacam itu berpotensi menjadi tempat yang lebih layak huni.”

Setiap studi hanya menyumbang satu potongan kecil untuk puzzle yang jauh lebih besar, yakni karakteristik apa yang harus dicari dan yang perlu dikenali untuk menemukan planet layak huni. Penelitian lintas disiplin ilmu dapat meletakkan fondasi untuk menentukan apakah eksoplanet yang kita temukan suatu hari nanti, menjadi tempat perlindungan bagi kehidupan.

Ditulis oleh: Lina Tran, Karen Fox, Elizabeth Zubritsky, Carol Rasmussen, Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA, Greenbelt, Maryland, www.nasa.gov

Editor: Rob Garner


#terimakasihgoogle dan #terimakasihnasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diameter Bumi

Kredit: NASA, Apollo 17, NSSDC   Para kru misi Apollo 17 mengambil citra Bumi pada bulan Desember 1972 saat menempuh perjalanan dari Bumi dan Bulan. Gurun pasir oranye-merah di Afrika dan Arab Saudi terlihat sangat kontras dengan samudera biru tua dan warna putih dari formasi awan dan salju antartika.   Diameter khatulistiwa Bumi adalah  12.756 kilometer . Lantas bagaimana cara para ilmuwan menghitungnya? Kredit: Clementine,  Naval Research Laboratory .   Pada tahun 200 SM, akurasi perhitungan ukuran Bumi hanya berselisih 1% dengan perhitungan modern. Matematikawan, ahli geografi dan astronom Eratosthenes menerapkan gagasan Aristoteles, jika Bumi berbentuk bulat, posisi bintang-bintang di langit malam hari akan terlihat berbeda bagi para pengamat di lintang yang berbeda.   Eratosthenes mengetahui pada hari pertama musim panas, Matahari melintas tepat di atas Syene, Mesir. Saat siang hari pada hari yang sama, Eratosthenes mengukur perpindahan sudut Matahari dari atas kota Al

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Berapa Lama Satu Tahun di Planet-Planet Lain?

Jawaban Singkat Berikut daftar berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap planet di tata surya kita untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari (dalam satuan hari di Bumi): Merkurius: 88 hari Venus: 225 hari Bumi: 365 hari Mars: 687 hari Jupiter: 4.333 hari Saturnus: 10.759 hari Uranus: 30.687 hari Neptunus: 60.190 hari   Satu tahun di Bumi berlalu sekitar 365 hari 6 jam, durasi waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari. Pelajari lebih lanjut tentang hal itu di artikel: Apa Itu Tahun Kabisat? Satu tahun diukur dari seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sebuah planet untuk mengorbit bintang induk. Kredit: NASA/Terry Virts Semua planet di tata surya kita juga mengorbit Matahari. Durasi waktu satu tahun sangat tergantung dengan tempat mereka mengorbit. Planet yang mengorbit Matahari dari jarak yang lebih dekat daripada Bumi, lama satu tahunnya lebih pendek daripada Bumi. Sebaliknya planet yang