Siapakah
kita di alam semesta? Bagaimana kehidupan muncul? Dan apakah kita sendirian? Semua pertanyaan ini terlalu sering diajukan sehingga hampir
menyebabkan mata seseorang sayu. Namun dalam buku terbarunya yang berjudul “Astrobiology, Discovery and Societal Impact”, astronom dan ahli sejarah sains Steven Dick justru membahas
beberapa hal yang jarang disinggung dalam media mainstream.
Pertanyaan yang kerap diajukan terkait eksistensi kita di lautan kosmos, antara lain:
1.
Apakah extraterrestrial intelligence
(E.T.I.) harus terbatas hanya pada sebuah planet?
Awan molekuler hidrogen antarbintang selebar 90 juta mil yang menjadi imajinasi astronom Fred Hoyle dalam novel fiksi ilmiah tahun 1957 berjudul “The Black Cloud,” mungkin adalah sebuah ‘kutukan’ bagi para astrobiologis. Tapi imajinasi Hoyle berguna untuk membuka diri terhadap wawasan baru tentang organisme biologis berakal di luar angkasa, menurut Dick yang pernah menjadi sejarawan utama NASA dan Ketua Kongres Perpustakaan Blumberg
NASA pada tahun 2014.
Dalam
novelnya, Hoyle menulis kehidupan berakal hipotetis mungkin dapat membangun senyawa kimia dasar pada tingkatan yang sangat
tinggi saat menempuh perjalanan antarbintang dan menuai
energi dari setiap bintang yang dilaluinya secara langsung. Bahkan awan molekuler hidrogen menggambarkan
planet sebagai pos terluar kehidupan karena gaya gravitasi membatasi ukuran dan
ruang lingkup neurologis makhluk hidup.
2.
Apakah E.T.I. juga berbagi konsep waktu serupa dengan kita?
“Bagi kita, secara umum pengertian waktu tampaknya tertanam di dalam wujud biologis kita,” Dick menjelaskan. “Makhluk hidup di Bumi benar-benar terobsesi dengan waktu,
tetapi hal itu tidak terlalu berarti bagi peradaban ekstraterestial.”
Berbagai spesies di Bumi menghabiskan waktu dengan cara yang sangat berbeda. Jadi, pengalaman waktu E.T.I. mungkin berbeda dengan homo sapiens. Dick mengklaim meskipun peradaban asing mengatur
kehidupan yang mereka lalui dengan laju rotasi dan revolusi planet di sekitar bintang
induk, pengalaman waktu mereka tidak akan bisa selaras dengan pengalaman waktu kita.
“Mungkin
otak alien terstruktur secara berbeda, dan gagasan kita tentang waktu tentunya dianggap asing oleh mereka,” ujar Dick.
3.
Apakah cara E.T.I. menuntut ilmu serupa dengan manusia?
Ketika
memulai studi, saya menganggap sains sangat objektif. Jadi di semua tempat seharunya sama, bahkan di kalangan peradaban asing, kata Dick. Tapi dari orientasi sudut
pandang, konseptualisasi, konten dan matematika bisa saja berbeda, para filsuf seperti Nicholas Rescher telah meyakinkan Dick.
Lantas, seperti apa orientasi sains peradaban asing? Para ilmuwan berasumsi mereka akan menggunakan kode biner sebagai dasar komunikasi.
“Tidak menutup kemungkinan saya salah tentang hal ini,” tukas Dick. “Tetapi jika sains dan
matematika tidak universal, berarti dasar komunikasi dalam kode biner
mungkin dapat dikompromikan.”
4.
Apakah teknologi peradaban E.T.I. berevolusi dan menuju ke satu titik seperti
teknologi kita di Bumi?
Dalam
buku “The Evolution of Technology” yang ditulis oleh sejarawan George Basalla, keputusan tentang arah evolusi teknologi cenderung tergantung ke kebutuhan suatu peradaban, kata Dick.
“Teknologi mereka mungkin berbasis pada kebutuhan biologis atau ekonomi, tetapi juga kerap didominasi oleh faktor seperti ideologi, militerisme, tren, dan lain-lain,” Dick menambahkan. “Kita cenderung berpikir teknolgi kita selalu melangkah maju dan
semakin meningkat, tetapi tidak ada yang bisa menjaminnya.”
Apakah
teknologi hanya produk dari kreativitas atau didorong oleh tujuan tertentu?
“Pengembangan teknologi
di sebagian besar lembaga ilmu pemerintahan tentu saja didorong oleh tujuan,” jawab Dick. Tetapi, pemerintah juga memiliki lembaga-lembaga yang mengembangkan teknologi tanpa inspirasi tujuan langsung. Sebaliknya, Dick menganggap pertanyaan yang sebenarnya adalah apakah teknologi menuju ke satu
titik. Artinya, setali tiga uang dengan kemajuan teknologi
telekomunikasi yang memungkinkan integrasi berbagai platform media .
Menurut Dick, astronom Martin Harwit pernah mengatakan jika perang dunia
ke-2 tidak menemukan teknologi inframerah yang kemudian diadaptasi ke
astronomi, prioritas obervasi mungkin akan menuju ke arah yang berbeda. Demikian pula dengan astronomi radio, perang dunia ke-2
mendorong teknologi radio untuk maju jauh ke depan, memungkinkan para astronom untuk
memanfaatkan perkembangannya dalam observasi setelah perang berakhir.
Namun, teknologi di Bumi turut digerakan oleh kultur, jadi hal serupa mungkin juga dialami oleh peradaban asing.
5.
Apakah E.T.I. seharusnya ramah atau altruistik (tidak egois)?
“Bahkan, bagi sebuah peradaban yang mampu bertahan selama satu juta tahun, kita tidak
seharusnya membuat kesalahan naif dengan mengasumsikan evolusi berujung ke altruisme, kebijaksanaan dan perdamaian,” ujar Dick.
“Sangat mungkin mereka kurang bersahabat atau memiliki aspek kurang baik terhadap masyarakat
mereka sendiri, sama seperti kita.”
Namun bukanlah gagasan bagus kita kemudian menjadi pengecut
dan selalu takut terhadap segala kemungkinan dari luar sana. Dick mengklaim E.T.I. mungkin sudah mengetahui eksistensi kita.
“Di tengah kosmos, kita harus merasa seperti di rumah sendiri dan menangani segala
permasalahan yang muncul saat mereka datang,” kata Dick.
Kecuali kita diserang oleh penakluk antarbintang, tak ada satu pun dari kita yang tersisa untuk dapat mempelajari jawaban atas teka-teki
ini.
Sebagian besar orang tidak akan menyalahkan siapa pun terkait dampak yang ditimbulkan saat kehidupan di luar Bumi ditemukan. Meski begitu, Dick bersikeras bahwa
subjek semacam ini tak sekadar esoterik.
“Seiring perubahan iklim, Forum Ekonomi Dunia menganggapnya sebagai satu
dari lima “Faktor X” yang harus diperhatikan di masa depan, dengan
konsekuensi yang tidak diketahui,” pungkas Dick.
Ditulis
oleh: Bruce Dorminey, www.forbes.com
Komentar
Posting Komentar