Langsung ke konten utama

Salam E.T. (Tolong Jangan Bunuh Kami)

salam-et-tolong-jangan-bunuh-kami-astronomi
Ilustrasi oleh Paul Sahre

Inisiatif baru untuk mengirim pesan ke luar angkasa mungkin merupakan kesempatan terbaik untuk mempelajari apakah kita sendirian di alam semesta. Namun, ada satu permasalahan besar yang mengganjal: Bagaimana jika kita tidak sendirian?

Pada tanggal 16 November 1974, ratusan astronom, para pejabat tinggi dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya berkumpul di hutan tropis di barat laut Puerto Riko, empat jam perjalanan dari San Juan. Mereka menghadiri acara yang digelar sebagai rangkaian peresmian kembali Observatorium Arecibo, yang saat itu merupakan teleskop radio terbesar di dunia. Dengan struktur raksasa, sebuah piringan yang terbuat dari beton dan aluminium dengan lebar setara tinggi Menara Eiffel, ditanam di sebuah lubang bekas pembuangan batu kapur di tengah hutan pegunungan. Teleskop telah diupgrade agar mampu bertahan menghadapi musim yang penuh dengan badai, sekaligus untuk meningkatkan presisinya hingga sepuluh kali lipat.

Untuk merayakan pengoperasiannya kembali, para astronom yang mengelola observatorium memutuskan untuk menggunakan perangkat paling sensitif yang telah didesain untuk mendengarkan kosmos dan secara singkat mengubahnya menjadi sebuah mesin untuk mengirim pesan ke luar angkasa. Setelah serangkaian pidato, para peserta duduk dalam keheningan di tepi teleskop, sementara sistem pemancar pesan mengirimkan bunyi dalam dua nada selama hampir tiga menit ditengah kelembaban panas sore hari. Bagi para pendengar, polanya tidak terbaca, tapi setelah mendengar kedua nada tersebut berosilasi di udara, cukup banyak orang yang menangis di tengah kerumunan.

Bunyi selama 168 detik, yang sekarang dikenal sebagai pesan Arecibo, adalah gagasan dari astronom Frank Drake, yang selanjutnya menjadi direktur organisasi yang mengawasi fasilitas Arecibo. Siaran tersebut menandai pertama kalinya umat manusia dengan sengaja mengirimkan pesan yang menargetkan tata surya lain. Para insinyur telah menerjemahkan surat resmi umat manusia ke dalam suara, sehingga kerumunan peserta akan mendapatkan pengalaman tersendiri selama transmisi. Tapi yang menjadi media pesan sebenarnya adalah denyut teratur gelombang radio yang tak terlihat, melaju dengan kecepatan cahaya.

Tampaknya sebagian besar pengamat menaruh harapan besar atas tindakan ini, yang secara simbolis adalah sebuah pesan dalam botol yang dilempar ke lautan kosmos. Namun hanya dalam waktu beberapa hari, astronom Martin Ryle dari Inggris menyatakan sebuah seruan keras terkait aksi yang dilakukan oleh Drake. Dengan memberi tahu keberadaan kita kepada kosmos, Ryle menulis, kita mempertaruhkan nasib kepada malapateka. Dengan alasan “makhluk di luar sana (mungkin) jahat, tidak bersahabat atau bahkan makhluk yang lapar.” Ryle menuntut Himpunan Astronomi Internasional (IAU) untuk mencela pesan Drake dan secara eksplisit melarang komunikasi lebih lanjut. Tindakan tersebut tidak bertanggung jawab, Ryle marah, bermain-main dengan penjangkauan antarbintang melalui gerak-gerik seperti itu, betapapun mulianya niat mereka, dapat memicu kehancuran bagi semua kehidupan di Bumi.

Hari ini, lebih dari empat dekade kemudian, kita masih belum tahu apakah ketakutan Ryle benar adanya, karena pesan Arecibo masih jauh dari penerima yang dituju, yaitu Gugus Hercules atau Messier 13 yang merupakan ikatan kosmik rapat dari sekitar 300.000 bintang. Jika berada di belahan bumi utara, carilah rasi Hercules di langit malam hari, citra seseorang yang mungkin sedang berlutut dengan lengan terlentang dan dibentuk oleh 21 bintang. Bayangkan meluncur sejauh 250 triliun mil ke arah gugus bintang globular tersebut. Meskipun telah jauh melampaui tata surya kita sendiri, jarak tersebut hanyalah bagian kecil dari keseluruhan perjalanan untuk mencapai Gugus Hercules. Tapi jika Anda menyalakan receiver radio berlisensi operator amatir dan menyetelnya di chanel 2.380 MHz, Anda mungkin bisa menangkap pesan saat melintasi ruang angkasa. Pesan Arecibo berisi serangkaian denyut teratur gelombang radio berirama panjang, sebanyak 1.679 denyut, dengan struktur berulang yang mengindikasikan produk dari peradaban maju.

Dalam tujuannya untuk menjalin komunikasi dengan peradaban ekstraterestrial di luar planet kita, pesan Arecibo telah jauh melampaui pesawat antariksa yang pernah dibuat manusia. Mungkin yang paling terkenal adalah sebuah pesan yang dipasang di pesawat antariksa Voyager 1, piringan emas audio visual yang berisi salam multi bahasa dan bukti kehadiran peradaban manusia lainnya, juga telah melepaskan diri dari tata surya kita beberapa tahun yang lalu, melaju dengan kecepatan yang relatif lamban, 35.000 mil per jam. Sebaliknya, saat transmisi tiga menit pesan Arecibo berakhir, denyut teratur gelombang radio awalnya saja telah mencapai Mars. Hanya butuh waktu kurang dari satu hari bagi keseluruhan pesan untuk meninggalkan tata surya.

Benar, beberapa sinyal yang berasal dari aktivitas manusia juga telah "bocor" lebih jauh daripada pesan Arecibo, yakni sinyal-sinyal siaran radio dan televisi. Sinyal-sinyal inilah yang menjadi titik plot kunci dalam novel ''Contact'' yang ditulis oleh Carl Sagan. Contact menceritakan tentang sebuah peradaban asing (alien) yang mendeteksi keberadaan manusia melalui siaran-siaran awal televisi dari penyelenggaraan Olimpiade Berlin, termasuk klip video Hitler ketika menyampaikan pidato pada upacara pembukaan. Sinyal siaran dari Jesse Owens, seorang atlit cabang olahraga atletik legendaris saat berkompetisi, acara anak terkenal Howdy Doody dan siaran dengar pendapat McCarthy, telah melangkah lebih jauh ke ruang angkasa daripada denyut teratur gelombang radio Arecibo. Tapi dalam waktu 40 tahun sejak Drake mengirimkan pesan Arecibo, lebih dari selusin pesan telah dikirim dengan sengaja kepada kosmos, kebanyakan dari mereka adalah pesan tentang suatu mode populer di Bumi atau yang lainnya, termasuk siaran dari the Beatles ‘‘Across the Universe’’ untuk memperingati ulang tahun rekaman lagu tersebut yang ke-40. (Kita hanya bisa berharap bahwa alien, jika ada, menerima pesan Arecibo terlebih dahulu sebelum mereka menemukan rekaman pidato Hitler.)

Pada era teleskop radio, para ilmuwan telah menghabiskan lebih banyak energi untuk mendeteksi tanda-tanda peradaban asing. Mungkin saja mereka juga telah mengumumkan eksistensi mereka kepada kita. Drake justru lebih terkenal karena meresmikan Institut SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) 60 tahun lalu, yang membawa era baru pencarian peradaban maju di luar Bumi. Institut SETI secara resmi dimulai ketika ia menggunakan teleskop di West Virginia untuk memindai dua bintang sebagai upaya pencarian gelombang radio terstruktur. Hari ini, Institut SETI adalah organisasi nirlaba yang mengelola jaringan teleskop dan komputer untuk mendengarkan kosmos. Sebuah proyek mirip SETI yang disebut Breakthrough Listen, didanai oleh hibah senilai U.S. $100 juta dari miliarder Rusia Yuri Milner, berhasrat untuk meningkatkan kemampuan kita mendeteksi peradaban asing. Sebagai spesies, kita telah menyediakan lebih banyak kotak surat antarbintang daripada sebelumnya dan menunggu kedatangan surat. Tapi sampai saat itu, kita tidak tertarik untuk mengirim surat kepada kosmos.

Kini, tahap pasif (berdiam diri) mungkin akan segera berakhir. Sekelompok ilmuwan dari multi disiplin ilmu dan para penggemar ruang angkasa amatir telah berkembang dengan cara mereka sendiri. Sebuah organisasi yang baru terbentuk, METI (Messaging Extra Terrestrial Intelligence) yang dipimpin oleh mantan ilmuwan SETI Douglas Vakoch, merencanakan serangkaian pesan yang berkelanjutan dan akan dimulai dikirim pada tahun 2018. Program Breakthrough Listen yang didanai oleh Yuri Milner juga telah berjanji untuk mendukung “Breakthrough Message” sebagai proyek pendamping, termasuk kompetisi terbuka untuk merancang pesan yang akan dikirim ke bintang-bintang. Tapi saat upaya untuk mengirim pesan ke luar angkasa tumbuh dengan pesat, mereka mendapat perlawanan. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Elon Musk dan Stephen Hawking mengingatkan bahwa asumsi persahabatan spesies antarbintang merupakan pendekatan yang salah untuk menjawab pertanyaan klasik "apakah kita sendirian di alam semesta?" Mereka berpendapat peradaban asing yang sangat maju mungkin menanggapi salam antarbintang kita sebagaimana yang ditunjukkan Cortés kepada suku Aztec, yang berujung pada kepunahan Aztec. Tetap diam dan mendengarkan adalah pilihan yang paling bijaksana.

Jika kita yakin pesan yang sengaja dikirim berpotensi menjalin kontak dengan peradaban asing, maka pesan yang terkandung harus dijadikan salah satu prioritas terpenting yang harus diputuskan bersama sebagai suatu spesies. Apakah kita akan menjadi introvert (menutup diri) di galaksi, membungkuk di balik pintu dan hanya mendengarkan? Atau apakah kita akan menjadi ekstrovert (membuka diri) dan memulai percakapan? Dan jika ekstrovert adalah yang kita pilih, lantas apa yang harus kita katakan?

Di tengah kemegahan Fort Mason, di tepi utara San Francisco, terdapat sebuah bar dan ruangan untuk menyelenggarakan acara yang disebut Interval. Acara diselenggarakan oleh Long Now Foundation, sebuah organisasi yang didirikan oleh Stewart Brand dan Brian Eno, tujuannya antara lain adalah untuk memperkuat pemikiran jangka panjang. Organisasi ini mungkin lebih dikenal karena rencananya membangun jam yang akan tetap berjalan selama 10.000 tahun. Long Now Foundation menjelaskan Interval dirancang untuk mengalihkan pikiran dari segala hal yang melemahkan kita saat ini. Yah, dapat terlihat jelas dari prototype jam 10.000 tahun ke menu pemesanan yang tersedia di bar, yaitu koktail atau campuran minuman keras.

Interval sepertinya berada di balik layar dalam pertemuan pertamaku dengan Doug Vakoch, dugaan saya sebagian karena Long Now Foundation telah menasihati METI mengenai rencana mengirimkan pesan ke alam semesta dan sebagian lagi karena keseluruhan konsep pengiriman pesan antarbintang melambangkan pengambilan keputusan jangka panjang. Pilihan untuk mengirim pesan adalah sebuah upaya yang mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang berarti selama ribuan tahun, atau bahkan seratus ribu tahun. Sulit untuk membayangkan ada keputusan penting yang harus diambil oleh umat manusia dalam waktu yang lama.

Ketika duduk bersama Vakoch di sebuah bilik, saya bertanya kepadanya bagaimana dia menemukan jalan menuju panggilannya saat ini. “Saya menyukai sains sedari kecil, tapi saya tidak dapat menghasilkan pemikiran yang inovatif,” jawabnya. Akhirnya, dia mengetahui tentang bidang studi baru yang sedang berkembang. Disebut eksobiologi, atau kadang-kadang astrobiologi, studi baru ini menguji kemungkinan organisme biologis yang dapat muncul di planet-planet lain. Bagaimanapun juga, bidang sainsnya bersifat spekulatif, sebab para penelitinya tidak memiliki spesimen yang sebenarnya untuk dipelajari. Untuk membayangkan bentuk kehidupan lain di alam semesta, para ahli eksobiologi harus berpengalaman dalam astrofisika bintang dan planet; reaksi kimia yang bisa menangkap dan menyimpan energi dalam organisme spekulatif ini; ilmu pengetahuan tentang iklim yang menjelaskan sistem cuaca di planet yang berpotensi layak huni, dan bentuk biologis yang mungkin berkembang di lingkungan-lingkungan yang berbeda. Dengan eksobiologi, Vakoch menyadari, dia tidak harus tetap berada dalam satu disiplin ilmu: “Ketika memikirkan kehidupan di luar Bumi, Anda bisa menguji coba mereka semua.”

Pada awal duduk di bangku SMA tahun 1970-an, Vakoch mulai memikirkan bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan organisme yang telah berevolusi di planet lain, pertanyaan yang menghidupkan sub disiplin ilmu eksobiologi yang relatif tidak jelas karena tidak ada objek untuk diteliti atau exosemiotics. Saat itu astronomi radio telah maju cukup pesat untuk mengubah exosemiotics dari eksperimen pemikiran filosofi menjadi sesuatu yang sedikit lebih praktis. Vakoch juga pernah melakukan proyek eksperimen sains pada bahasa antarbintang, dan dia terus menekuni bidang ini selama tahun-tahun selama masa kuliahnya, bahkan saat dia belajar komparatif religion di Kampus Carleton di Minnesota. “Permasalahan yang sesungguhnya menyentuh saya sejak dini, dan hingga saat ini tetap ada pada saya, hanyalah tantangan untuk menciptakan pesan yang bisa dimengerti,” kata Vakoch. Tanpa menghiraukan taruhannya, dia mengejar gelar sarjana dalam bidang psikologi klinis, berpikir disiplin ilmu ini bisa membantunya untuk lebih memahami pola pikir beberapa organisme tak dikenal di seluruh alam semesta. Jika gairah exosemiotics ternyata menjadi jalan buntu secara profesional, dia selalu bisa kembali ke jalur karir yang lebih tradisional sebagai seorang psikolog.

Selama tahun-tahun awal setelah Vakoch diwisuda, SETI mentransformasi dirinya dari program NASA yang didukung oleh dana pemerintah ke sebuah organisasi nirlaba independen, yang sebagian didukung oleh nasib baik di sektor teknologi. Vakoch pindah ke California dan bergabung dengan SETI pada tahun 1999. Beberapa tahun kemudian, Vakoch bersama beberapa ilmuwan yang terlibat dalam program ini semakin vokal dalam argumen mereka untuk mengirim pesan sebagaimana kita mendengarkan kosmos. Pendekatan pasif sangat penting, menurut mereka, namun pendekatan yang lebih aktif oleh SETI, yang menargetkan sistem bintang terdekat dengan sinyal radio bertenaga tinggi, akan meningkatkan kemungkinan kontak. Khawatir bahwa metode pendekatan aktif akan membahayakan pendanaan, dewan SETI menolak usaha Vakoch. Akhirnya Vakoch memutuskan untuk membentuk organisasi internasionalnya sendiri, METI, dengan tim multi disiplin ilmu yang mencakup mantan kepala sejarawan NASA, Steven J. Dick, sejarawan sains Prancis, Florence Raulin Cerceau, ahli ekologi India, Abhik Gupta dan antropolog Kanada, Jerome H. Barkow.

Minat baru yang mulai dirintis untuk mengirimkan pesan telah banyak menimbulkan rasa ingin tahu sejak penemuan sejumlah besar eksoplanet. Kita sekarang tahu alam semesta dipenuhi dengan planet yang menempati apa yang oleh ahli eksobiologi disebut zona ‘Goldilocks' atau zona layak huni: tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, sehingga menopang air cair di permukaan. Saat awal karir Drake pada tahun 1950-an, tidak ada satupun planet di luar tata surya kita yang telah diamati. Hari ini kita bisa menargetkan daftar panjang planet yang berpotensi berada di zona layak huni, bukan sekadar mengamati gugus bintang jauh seperti yang sudah-sudah. “Sekarang kita tahu hampir semua bintang memiliki sistem planet," kata Vakoch, ia menambahkan bahwa dari bintang-bintang ini, “mungkin satu dari lima planet berpotensi layak huni. Jadi ada banyak ‘real estate’ yang layak huni.”

Ketika Frank Drake dan Carl Sagan mulai memikirkan konstruksi pesan pada tahun 1960-an, pendekatan yang mereka terapkan benar-benar serupa dengan pepatah pesan dalam botol. Sekarang, kita mungkin tidak mengetahui alamat pasti dari planet yang mungkin menampung kehidupan, namun kita telah mengidentifikasi banyak “kode pos” yang menjanjikan. Seperti penemuan planet di sistem TRAPPIST-1 baru-baru ini, yang tiga di antaranya berpotensi layak huni, memicu kegembiraan semacam itu, karena jarak mereka relatif dekat, hanya 40 tahun cahaya dari Bumi. Jika entah bagaimana caranya pesan Arecibo akhirnya menemukan jalan menuju peradaban maju di Messier 13, setidaknya kita harus menunggu selama 50.000 tahun untuk menerima jawaban mereka. Tapi pesan yang ditargetkan ke TRAPPIST-1, bisa saja dijawab sebelum akhir abad ini.

Frank Drake sekarang telah berusia 87 tahun dan tinggal bersama istrinya di sebuah rumah yang terletak di hutan redwood tua, di ujung jalan sempit dan berliku di perbukitan dekat Santa Cruz. Jalan melingkar harus ditempuh di sekitar batang-batang kayu merah yang ukurannya lebih besar dari meja biliar. Ketika keluar dari mobil, saya memikirkan kembali tentang masa lalu: seorang pria yang mengirim pesan dalam potensi rentang waktu selama 50.000 tahun, tinggal di antara pohon yang pertama kali berakar beberapa milenium yang lalu.

observatorium-arecibo-pada-tahun-1977-astronomi
Observatorium Arecibo pada tahun 1977.
Kredit: Bettmann/Getty Images

Drake telah pensiun selama lebih dari satu dekade, tapi ketika saya bertanya kepadanya tentang pesan Arecibo, wajahnya menyala penuh antusias. “Kami baru saja menyelesaikan proyek konstruksi yang sangat besar di Arecibo, lalu saya adalah direkturnya. Dan mereka berkata begini: Tolong siapkan sebuah upacara besar?" kenangnya. “Kami harus menggelar semacam acara yang menarik untuk peresmian ini. Apa yang bisa kita lakukan untuk sesuatu yang spektakuler? Kita bisa mengirim pesan!”

Tapi bagaimana kita mengirim pesan ke peradaban asing yang tidak diketahui apakah ada atau tidak. Kita sama sekali buta, selain meyakini fakta bahwa kehidupan barangkali juga telah berevolusi di suatu tempat di Bima Sakti? Karena itu kita harus memulai bagaimana pesan seharusnya dibaca, yang dikenal dalam exosemiotics sebagai ''prima”. Kita tidak memerlukan prima di Bumi, karena saat menunjuk seekor sapi, maka kita berkata ''Sapi”. Plakat yang dikirim oleh NASA ke luar angkasa menggunakan Pioneer dan Voyager adalah benda fisik yang dapat menyampaikan informasi visual, setidaknya memungkinkan kita menghubungkan kata dengan gambar objek yang terlihat. Dengan kata lain, kita menggambar seekor sapi lalu memasukkan kata “sapi” di sebelah gambar, dengan perlahan sebuah bahasa mulai terlihat. Tapi benda fisik tidak dapat dipindahkan cukup cepat untuk sampai ke penerima hipotesis dalam skala waktu yang cepat. Jadi, dibutuhkan gelombang elektromagnetik jika ingin mencapai Bima Sakti.

Tapi kenapa memilih menggunakan gelombang radio? Bahkan jika kita menemukan cara untuk menunjukkan seekor sapi dengan sinyal elektromagnetik, alien mungkin tidak memiliki sapi di dunia mereka, yang berarti referensi petunjuk kemungkinan besar akan menghilang di tangan mereka. Sebagai gantinya, kita harus berpikir keras tentang sesuatu yang mungkin saja dipahami oleh peradaban hipotesis di sistem TRAPPIST-1. Jika cukup maju untuk mengenali data terstruktur dalam gelombang radio, tentunya mereka juga berbagi banyak konsep ilmiah dan teknologi seperti kita. Jika mereka mampu mendengar pesan kami, berarti mereka mampu mengurai interupsi terstruktur dalam spektrum elektromagnetik dan berarti mereka memahami spektrum elektromagnetik dengan cara yang sama.

Drake menduga peradaban asing bisa saja mempunyai konsep angka sederhana: 1, 3, 10, dan lain-lain. Dan jika memiliki angka, kemungkinan besar mereka juga memahami matematika dasar, seperti penambahan, pengurangan , perkalian, pembagian. Lebih jauh lagi, Drake beralasan, jika mereka memiliki perkalian dan pembagian, maka mereka cenderung memahami konsep bilangan prima, kelompok angka yang hanya dapat dibagi oleh bilangan itu sendiri dan satu. (Di adegan film “Contact” pesan alien yang berhasil dicegat dimulai dengan serangkaian bilangan prima yang panjang: 1, 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, dan seterusnya). Banyak benda langit seperti pulsar, mengirimkan sinyal radio secara periodik berupa kilatan aktivitas elektromagnetik yang berdenyut teratur. Bilangan prima adalah indikasi awal spesies cerdas. “Alam tidak pernah menggunakan bilangan prima,” kata Drake. “Tapi matematikawan menggunakannya.”

Pesan Arecibo yang didesain oleh Drake menggunakan bilangan semi prima untuk menyusun informasi. Dia memilih untuk mengirim 1.679 denyut, karena angka 1.679 adalah bilangan semi prima, angka yang dapat dibentuk hanya dengan mengalikan dua bilangan prima, 73 dan 23. Drake menggunakan permainan angka matematika untuk mengubah denyut energi elektromagnetik menjadi sistem visual. Secara sederhana, bayangkan sebuah pesan yang terdiri dari 10 X dan 5 O: XOXOXXXXOXXOXOX. Perhatikan, nomor 15 adalah nomor semi prima, jadi kita mengatur simbol dalam 3 dengan 5 grid dan O sebagai ruang kosong. Hasilnya adalah ini:

pesan-bilangan-semi-prima-arecibo-astronomi

Jika berbicara menggunakan bahasa Inggris, Anda mungkin mengenali salam dalam pesan itu, kata ''Hai” dipetakan menggunakan bahasa biner.

Drake menerapkan pendekatan yang sama, dia hanya menggunakan bilangan semi prima yang jauh lebih besar, yang diatur dalam simbol 23 dengan 73 grid untuk mengirim pesan yang lebih rumit. Karena pengirim pesan membayangkan peradaban hipotesis Messier 13 tak mungkin memahami bahasa manusia apa pun, jadi dia mengisi grid dengan campuran referensi matematis dan visual. Bagian atas grid dihitung dari 1-10 dalam kode biner, yang secara efektif mengumumkan kepada alien bahwa angka dilambangkan menggunakan simbol-simbol ini.

Setelah menetapkan sebuah cara untuk menghitung, Drake kemudian mencoba untuk menghubungkan konsep angka dengan beberapa referensi yang mungkin dimiliki oleh bentuk kehidupan berakal di Messier 13, seperti yang berlaku pada kita. Untuk langkah ini, dia mengodekan nomor atom untuk lima elemen: hidrogen, karbon, nitrogen, oksigen dan fosfor, unsur-unsur penyusun DNA. Sedangkan pesan lebih berorientasi visual. Drake menggunakan denyut-denyut teratur gelombang radio untuk ''menggambar'' citra tubuh manusia dalam bentuk pixel. Dia juga menyertakan sketsa tata surya kita dan teleskop Arecibo itu sendiri. Pesan tersebut seolah ingin berkata: "Inilah cara kami menghitung; seperti inilah DNA kami tersusun; dari sinilah kami berasal; seperti inilah rupa kami; dan inilah teknologi yang kami gunakan untuk mengirim pesan kepada Anda."

Sebagai rancangan exosemiotics yang didesain oleh Drake pada tahun 1974, dan belum pernah dibuat oleh siapapun, pesan Arecibo sebenarnya lebih ditekankan sebagai bukti sebuah konsep daripada upaya semula untuk melakukan kontak. Drake sendiri yang mengatakannya. Sebagai permulaan, 25.000 tahun cahaya jarak yang memisahkan kita dengan gugus bintang globular Messier 13 menimbulkan pertanyaan logis tentang mampukah kita tetap bertahan sebagai suatu spesies, atau tetap dikenali sebagai manusia, pada saat sebuah pesan dari peradaban asing yang menjawab pesan Arecibo tiba di Bumi. Pilihan lokasi untuk mengirimnya hampir serupa dengan tindakan serampangan. Proyek METI bermaksud untuk memperbaiki model Arecibo dengan secara langsung menargetkan planet-planet yang terletak di zona goldilocks atau zona layak huni.

Salah satu planet terbaru yang ditambahkan ke dalam daftar METI mengorbit bintang Gliese 411, sebuah bintang katai merah yang terletak delapan tahun cahaya dari Bumi. Pada suatu malam musim semi di perbukitan Oakland, Matahari menampilkan pemandangan spektakuler saat perlahan-lahan terbenam di bawah Jembatan Golden Gate. Saya bertemu Vakoch di Observatorium Pusat Sains dan Antariksa Chabot untuk mengamati Gliese 411. Cahaya Bulan agak mengurangi tingkat penglihatan kami, meskipun tidak terlalu banyak berpengaruh untuk menatap cahaya redup Gliese 411 yang telah menempuh perjalanan sepanjang hampir 50 triliun mil melintasi alam semesta untuk tiba di retina saya. Bahkan dengan kekuatan observasi Teleskop Oakland, planet yang mengorbit bintang katai merah tersebut tetap tidak bisa ditemukan. Namun pada bulan Februari tahun ini, tim peneliti yang menggunakan teleskop Keck I di puncak Mauna Kea di Hawaii mengumumkan deteksi planet yang berukuran lebih besar dari Bumi atau ''Bumi super'' yang menginduk Gliese 411, sebuah planet berbatu yang suhunya lebih panas dan ukurannya lebih besar daripada Bumi kita.

Jika alien mengunjungi kita, hasilnya akan sama seperti saat Columbus mendarat di Amerika.

Para ilmuwan METI ingin memperbaiki pesan Arecibo, tidak hanya dengan menargetkan planet-planet tertentu, seperti Bumi Super yang mengorbit Gliese 411, tapi juga dengan memikirkan ulang karakteristik pesan. “Desain asli Drake masih sangat bias tentang visi yang bersifat universal di kalangan peradaban maju,” kata Vakoch kepada saya. Diagram visual, apakah terbentuk melalui grid semi prima ataupun yang terukir pada sebuah piringan, hanya tampak menarik bagi kita karena menyandikan informasi, mengingat umat manusia telah mengalami evolusi indra penglihatan. Tapi mungkin alien mengikuti jalan evolusi yang berbeda dan menemukan jalan mereka menuju peradaban berteknologi maju dengan kecerdasan yang berakar pada indra yang lain: mendengar, misalnya, atau cara-cara lain untuk memahami dunia di sekitar mereka yang tidak sama dengan cara-cara di Bumi.

Sebagaimana perdebatan dengan tema SETI/METI, pertanyaan tentang pesan dalam bentuk visual segera muncul melalui perenungan yang lebih dalam, terkait hubungan antara kecerdasan dan ketajaman visual. Bukanlah kebetulan mata berkembang secara independen berkali-kali selama evolusi di Bumi, mengingat fakta cahaya menyampaikan informasi lebih cepat daripada media-media lainnya. Keuntungan dalam kecepatan transmisi dengan cahaya, mungkin juga berlaku di planet-planet lain yang berada di zona layak huni, meskipun ada di sisi lain galaksi. Sepertinya cukup masuk akal menganggap peradaban maju lainnya juga mengembangkan semacam sistem visual.

Tapi yang lebih universal dari indra penglihatan adalah pengalaman akan waktu. Sebuah buku seminal eksosemiotik yang ditulis oleh Hans Freudenthal berjudul “Lincos: Design of a Language for Cosmic Intercourse”, yang diterbitkan lebih dari setengah abad lalu, sangat bergantung terhadap isyarat temporal dalam tahap awalnya. Vakoch bersama para kolega telah bekerja dengan bahasa Freudenthal ini dalam draf awal mereka untuk menyusun pesan yang akan dikirim ke kosmos. Di Lincos, durasi waktu digunakan sebagai penyusun utama. Sebuah denyut yang berlangsung untuk durasi tertentu (katakanlah, dalam istilah manusia, satu detik) diikuti oleh urutan denyut yang menandakan ''kata'' untuk bilangan satu; sebuah denyut yang berlangsung selama enam detik melambangkan kata untuk bilangan enam. Kata-kata untuk sifat matematika dasar dapat disampaikan dengan menggabungkan denyut dengan durasi yang berbeda. Kita mungkin dapat mendemonstrasikan properti tambahan dengan mengirimkan kata untuk ''tiga'' dan ''enam'', lalu mengirim denyut yang berlangsung selama sembilan detik. ''Inilah cara efektif untuk menunjukkan suatu objek saat Anda tidak memiliki apapun untuk diteliti,” Vakoch menjelaskan.

Sementara itu, para astronom lain yang juga berminat untuk mengirim pesan kepada peradaban ekstraterestrial justru berpikir kita tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan tentang bilangan primer dan rujukan universal. “Lupakan pengiriman hubungan matematis, nilai pi, bilangan prima atau deret Fibonacci,” astronom SETI senior, Seth Shostak, mengemukakannya dalam tulisan di sebuah buku pada tahun 2009. “Tidak, jika kita ingin menyiarkan pesan dari Bumi, saya mengusulkan agar kita hanya mengirim server Google ke pemancar. Kirimi alien World Wide Web atau keseluruhan konten yang ada di internet. Hanya memerlukan waktu setengah tahun atau kurang untuk mengirimkannya ke dalam gelombang mikro; menggunakan laser inframerah memendekkan waktu pengiriman tidak lebih dari dua hari.'' Shostak yakin besarnya transmisi data lebih memudahkan alien untuk mengurainya. Ada beberapa preseden untuk konsep ini, dalam sejarah arkeolog yang mempelajari bahasa-bahasa yang sudah punah, kode bahasa yang paling sulit bahkan berhasil dipecahkan hanya dengan satu atau beberapa fragmen.

Mengirimkan keseluruhan konten Google akan menjadi kelanjutan logis dari pesan Drake pada tahun 1974 dalam hal konten, jika pesan tidak dikodekan. ''Masalah dalam pesan Arecibo adalah dalam arti tertentu pesan memang dapat menjelaskan tentang umat manusia sebagai species berakal, namun akan lebih baik jika kita mengirim ensiklopedia,” kata Vakoch kepada saya saat kami menunggu langit menjadi gelap di perbukitan Oakland. “Salah satu hal yang kita coba jelajahi untuk transmisi berlawanan dengan hal yang ekstrem. Bukan pesan yang berkarakter ensiklopedi, namun berkarakter selektif. Daripada menyelam ke dalam data digital yang sangat besar ini, kita dapat mencoba melakukan sesuatu yang lebih elegan, yaitu memikirkan konsep paling mendasar dari yang kita butuhkan.” Ada sesuatu yang provokatif dari pertanyaan yang diajukan Vakoch: Dari sekian banyak manifestasi pencapaian kita sebagai spesies, pesan paling sederhana apa yang bisa kita ciptakan, akan memberi isyarat bahwa kita menarik dan layak mendapat jawaban antar bintang?

Tetapi, bagi para kritikus METI, yang harus dikhawatirkan dari peradaban maju di luar Bumi adalah jawaban dari pesan yang kita kirim: pancaran sinar kematian atau tentara penjajah.

Bahkan sebelum Doug Vakoch mengajukan proposal untuk membentuk organisasi nirlaba METI pada bulan Juli tahun 2015, sekitar selusin ilmuwan sains dan teknologi, termasuk Elon Musk, pendiri SpaceX, menandatangani sebuah pernyataan yang secara kategoris menentang proyek tersebut, setidaknya tanpa diskusi lebih lanjut dalam skala internasional. “Dengan sengaja mengirim sinyal kepada peradaban lain di galaksi Bima Sakti,” pernyataan tersebut beragumen, “menimbulkan kekhawatiran dari semua orang di Bumi, baik tentang pesan yang dikirim, maupun konsekuensi apabila terjadi kontak. Diskusi ilmiah, politik dan kemanusiaan harus dilakukan terlebih dahulu secara global sebelum ada pesan yang dikirim.”

Salah satu orang yang menandatangani pernyataan adalah astronom dan penulis fiksi ilmiah David Brin, yang telah membawa serangkaian perdebatan sengit namun tetap dalam bingkai kekeluargaan dengan Vakoch atas kebijakan proyeknya. “Saya tidak bisa memikirkan ada seseorang yang memberikan anak-anak kita sebuah fakta berdasarkan asumsi dan pernyataan yang tidak teruji dan belum mendapat penilaian kritis,” kata Brin kepada saya melalui Skype dari California Selatan. “Jika Anda akan melakukan sesuatu yang akan mengubah beberapa parameter mendasar yang dapat teramati dari tata surya kita, lalu bagaimana dengan pernyataan dampak lingkungan?”

Gerakan anti METI didasarkan pada kemungkinan statistik yang kuat: Jika kita berhasil melakukan kontak dengan peradaban asing maju lainnya, maka hampir secara definitif, teman pena baru kita akan jauh lebih maju daripada kita. Cara terbaik untuk memahami hal ini adalah dengan mempertimbangkan secara persentase, berapa lama peradaban kita menguasai teknologi? Kita telah mengirim sinyal-sinyal radio terstruktur dari Bumi selama 100 tahun terakhir. Jika Alam Semesta berusia persis 14 miliar tahun, maka dibutuhkan waktu 13.999.999.900 tahun agar komunikasi radio dapat dimanfaatkan di planet kita. Kemungkinan bahwa pesan yang kita kirim mencapai peradaban yang juga telah menguasai teknologi radio untuk jangka waktu yang lebih pendek, atau bahkan serupa, akan sangat lama. Bayangkan sebuah planet lain yang menyimpang dari skala waktu kita, misalnya hanya sepersepuluh dari 1 persen: Jika mereka lebih maju dari kita, maka mereka akan menggunakan radio (dan teknologi penerusnya) selama 14 juta tahun. Tentu saja, tergantung di mana mereka tinggal di alam semesta, sinyal mereka mungkin membutuhkan jutaan tahun untuk mencapai kita. Tetapi, bahkan jika kita memperhitungkan faktor keterlambatan transmisi itu atau jika kita mendeteksi sinyal dari galaksi lain, kita hampir dipastikan memulai percakapan dengan peradaban yang lebih maju.

carl-sagan-memegang-plakat-pioneer-di-boston-pada-tahun-1977-astronomi
Carl Sagan memegang plakat Pioneer di Boston pada tahun 1972.
Kredit Jeff Albertson/Perpustakaan UMass Amherst

Asimetri inilah yang telah meyakinkan banyak orang yang berpikir jauh ke depan bahwa METI adalah ide yang buruk. Sejarah kolonialisme di Bumi adalah pertimbangan utama dalam imajinasi para kritikus METI. Stephen Hawking, misalnya, membuat konsep ini dalam serial dokumenter tahun 2010: “Jika alien mengunjungi kita, hasilnya akan sama seperti ketika Columbus mendarat di Amerika, yang ternyata tidak berdampak baik bagi penduduk asli Amerika.“ David Brin juga menggemakan kritik Hawking ini: “Setiap kasus yang kita ketahui tentang peradaban yang berteknologi lebih maju ketika melakukan kontak dengan peradaban yang berteknologi kurang maju, paling tidak akan menghasilkan bencana.”

Pendukung METI melawan kritik-kritik tersebut dengan dua argumen utama. Yang pertama digambarkan oleh pepatah “kuda telah meninggalkan kandang”. Mengingat kita telah ''membocorkan'' gelombang radio dalam bentuk siaran radio dan televisi selama beberapa dekade, dan mengingat peradaban lain mungkin cenderung jauh lebih maju, maka mereka mampu mendeteksi sinyal yang lemah sekalipun, sehingga nampaknya kita sudah terlihat oleh peradaban ekstraterestrial. Dengan kata lain, mereka tahu kita ada di sini, tapi mereka belum menganggap kita layak untuk diajak bicara. “Mungkin ada lebih banyak peradaban di luar sana, bahkan planet-planet terdekatpun berpenghuni, tapi mereka hanya mengamati kita,” Vakoch beragumen. “Seolah-olah kita berada di kebun binatang galaksi, dan jika mereka mengawasi kita, rasanya seperti menonton zebra yang saling berbicara satu sama lain. Tapi bagaimana jika salah satu dari zebra itu tiba-tiba berbalik ke arahmu dengan kuku-kuku kaki mulai menggaruk bilangan-bilangan prima. Anda akan menganggap zebra itu berbeda!”

Brin menganggap argumen Vakoch mengabaikan perbedaan antara transmisi METI yang berdaya tinggi dan sengaja ditargetkan dengan kebocoran sinyal media yang pasif, yang jauh lebih sulit untuk dideteksi. “Pikirkan seperti ini: Jika Anda ingin berkomunikasi dengan sebuah perkemahan pramuka di sisi lain danau, Anda bisa berlutut di ujung danau dan menampar air dengan kode Morse,” katanya. “Dan jika para peserta perkemahan pramuka di sisi lain danau secara spektakuler berteknologi maju, dan mereka juga kebetulan sedang mencari Anda, mungkin akan membangun instrumen yang bisa mengurai kode Morse Anda. Tapi, Anda justru menggunakan pointer laser dan mengarahkannya ke perkemahan mereka. Analogi ini menggambarkan besarnya perbedaan argumen Vakoch, antara kebocoran sinyal siaran radio dan televisi dengan transmisi berdaya tinggi yang dengan sengaja diarahkan.

Para pendukung METI juga berpendapat bahwa ancaman invasi gaya Klingon tidak masuk akal, mengingat jarak yang harus ditempuh. Sebenarnya jika peradaban-peradaban asing maju telah mampu melesat mengelilingi galaksi dalam kecepatan cahaya, kita pasti sudah menjumpai mereka. Situasi yang jauh lebih mungkin adalah hanya transmisi komunikasi yang bisa dilakukan dalam kecepatan tinggi, sehingga peradaban asing yang tidak bersahabat di beberapa planet jauh hanya bisa mengirimi kita surat-surat kebencian dan tidak mungkin mendatangi kita. Namun kritikus METI berpikir pertimbangan keamanan Bumi harus di atas segala-galanya. John Gertz, mantan pimpinan SETI menulis pendapatnya di jurnal Scientific American, “jika sebuah peradaban memiliki maksud jahat dan hanya sedikit lebih maju daripada kita, mereka dapat memusnahkan Bumi dengan mudah hanya menggunakan proyektil kecil yang dipenuhi racun yang bisa mereplika diri, atau dengan racun nano gray goo; dengan misil kinetik hampir secepat cahaya; atau persenjataan di luar imajinasi kita.”

Brin juga melihat imbas kemajuan teknologi kita sendiri sebagai pertanda peradaban yang lebih maju mungkin juga mempersiapkan diri untuk menghadapi perang antar bintang: “Mungkin hanya dalam waktu 50 tahun, kita bisa menciptakan roket antimateri yang dapat mendorong beberapa kilogram peluru substansial dengan 50% kecepatan cahaya untuk mencegat orbit planet-planet yang berjarak 10 tahun cahaya dari kita. Dengan kecepatan itu, bahkan hanya dengan objek beberapa kilogram menghasilkan ledakan yang jauh lebih besar daripada gabungan Hiroshima dan Nagasaki. Dan jika kita bisa melakukannya dalam waktu 50 tahun, bayangkan apa yang peradaban lain bisa lakukan.”

Menariknya, Frank Drake sendiri bukanlah pendukung METI, meskipun ia tidak berbagi ketakutan terhadap penakluk antarbintang sebagaimana dipikirkan oleh Hawking dan Musk. “Kami mengirim pesan setiap saat, secara gratis” katanya. “Ada real estate besar di luar sana, yang terletak 80 tahun cahaya dari kita. Sebuah peradaban yang hanya sedikit lebih maju dari kita dapat menerima sinyal yang kita transimisikan. Intinya kita sudah mengirim banyak informasi.” Drake percaya peradaban maju lainnya di luar sana juga akan melakukan hal yang sama, jadi para ilmuwan seperti Vakoch harus mengabdikan diri untuk menerima pesan yang kemungkinan mereka kirim daripada mencoba menjalin komunikasi dengan mereka. METI akan membutuhkan banyak sumber daya, Drake berkata, “akan lebih baik jika hanya digunakan untuk mendengarkan saja dan tidak mengirim pesan.”

Tentu saja, para kritikus METI mungkin benar tentang kecanggihan teknologi peradaban lain, yang mungkin lebih tua daripada kita, tapi mungkin salah tentang bagaimana mereka merespons kita. Ya, mereka bisa saja menembakkan proyektil ke galaksi dengan 25% kecepatan cahaya. Tapi, peradaban mereka yang berumur panjang justru mengindikasikan bagaimana mereka telah menemukan cara untuk menghindari penghancuran diri dalam skala planet. Seperti yang dikatakan Steven Pinker, manusia menjadi semakin tidak berdaya selama 500 tahun terakhir; kematian per kapita dari konflik militer kemungkinan besar berada di titik terendah sepanjang waktu. Mungkinkah pola ini juga berulang di alam semesta dan dimainkan dalam skala waktu yang jauh lebih lama. Semakin tua sebuah peradaban, maka semakin sedikit perang terjadi? Dalam hal ini, jika kita mendapat pesan dari peradaban asing, barangkali mereka benar-benar ingin datang dengan damai.

Pertanyaan semacam ini pasti berputar kembali ke dua konsep SETI dan METI yang berbasis pada Paradoks Fermi dan Persamaan Drake. Paradoks Fermi, yang pertama kali dirumuskan oleh fisikawan Italia peraih Penghargaan Nobel, Enrico Fermi, dimulai dengan anggapan bahwa alam semesta terdiri dari tak terhitung banyaknya bintang, mereka diorbit oleh sistem planet di zona layak huni bintang. Jika peradaban maju muncul bahkan di sebagian kecil planet itu, maka alam semesta seharusnya dipenuhi dengan peradaban maju. Sampai saat ini, kita tidak pernah menemukan bukti eksistensi mereka, bahkan setelah beberapa dekade memindai langit melalui penelusuran SETI. Pertanyaan Fermi, yang tampaknya muncul saat percakapan makan siang di Los Alamos awal tahun 1950-an, adalah pertanyaan yang sederhana: “Di mana mereka?”
 
Persamaan Drake adalah usaha untuk menjawab pertanyaan itu. Persamaan bermula dari salah satu retret akademis pada tahun 1961 di Observatorium Green Bank, West Virginia, termasuk Frank Drake, Carl Sagan yang saat itu berusia 26 tahun dan ilmuwan peneliti lumba-lumba (yang sekarang menjadi peneliti psychedelic) John Lilly. Selama sesi, Drake menceritakan renungannya tentang Paradoks Fermi, yang kemudian diformulasikan ke sebuah persamaan. Jika kita mulai memindai kosmos untuk mengetahui jejak peradaban asing, Drake bertanya, seberapa besar probabilitas kita untuk mendeteksinya?
 
Persamaan Drake tidak pernah menghasilkan jawaban jelas, karena hampir semua variabel tidak diketahui saat itu dan sebagian besar tidak diketahui hingga setengah abad kemudian. Tapi persamaannya memiliki efek klarifikasi. Dalam bentuk matematis, terlihat seperti ini: 

N= R* x Æ’p x ne x Æ’l x Æ’i x Æ’c x L

N = jumlah peradaban yang dapat dihubungi di galaksi kita
R* = laju pembentukan bintang per tahun di galaksi kita
fp = fraksi bintang yang mempunyai planet
ne = jumlah rata-rata planet yang dapat mendukung kehidupan per bintang yang memiliki planet
fâ„“ = fraksi planet yang bisa mengembangkan kehidupan
fi = fraksi planet yang bisa mengembangkan peradaban maju
fc = fraksi peradaban yang telah mengembangkan teknologi untuk mengirim sinyal ke luar angkasa
L = lama waktu yang diperlukan peradaban untuk mengirim sinyal ke luar angkasa.
 
N adalah jumlah peradaban komunikatif di galaksi Bima Sakti kita. Variabel awal R* sesuai dengan laju pembentukan bintang per tahun di galaksi kita, yang secara efektif menyediakan jumlah bintang yang berpotensi menopang kehidupan. Sisa variabel kemudian berfungsi sebagai semacam rangkaian filter di dalam variabel yang lebih besar: Dari jumlah bintang di Bima Sakti, berapa bintang yang memiliki planet, dan berapa banyak planet yang berada di zona layak huni? Dari jumlah planet zona layak huni, berapa banyak yang menopang kehidupan, lalu berapa yang berkembang menjadi peradaban, dan berapa peradaban yang akhirnya mampu mentrasmisikan sinyal ke luar angkasa? Di akhir persamaan, Drake menempatkan variabel penting L, yaitu rata-rata durasi waktu yang dibutuhkan oleh peradaban untuk memancarkan sinyal. 

Ada banyak real estate yang bisa dihuni.
 
Yang membuat Persamaan Drake begitu memukau adalah cara yang digunakan untuk menghitungnya, memaksa pikiran untuk menggabungkan begitu banyak disiplin intelektual ke dalam kerangka tunggal. Saat berpindah dari kiri ke kanan dalam persamaan, kita dipaksa beralih dari astrofisika ke biokimia kehidupan, teori evolusi, hingga sains kognitif, sampai ke teori perkembangan teknologi. Dugaan kita tentang setiap nilai dalam Persamaan Drake mengungkap keseluruhan pandangan global: Mungkin kita menganggap kehidupan itu langka, tapi bila memang muncul, peradaban maju biasanya akan menyusul; atau mungkin kita berpikir kehidupan mikroba ada di seluruh kosmos, namun organisme yang lebih kompleks hampir tidak pernah terbentuk. Persamaan Drake rentan terhadap hasil yang sangat berbeda, tergantung pada jumlah yang ditetapkan untuk setiap variabel.

Nilai yang paling provokatif adalah yang terakhir: L, rata-rata rentang waktu yang dibutuhkan sebuah peradaban untuk mentransmisi sinyal. Kita tidak harus menjadi seorang Pollyanna (optimis) untuk mempertahankan nilai L yang relatif tinggi. Yang kita butuhkan adalah mempercayai kemungkinan sebuah peradaban untuk mandiri dan bertahan selama jutaan tahun. Bahkan jika satu dari seribu spesies berakal di alam semesta menghasilkan peradaban dalam waktu satu juta tahun, nilai L meningkat secara drastis. Tetapi jika nilai L rendah, berarti akan menjadi pertanyaan berantai: Apa yang membuatnya rendah? Apakah peradaban maju terus berkerlap-kerlip (tumbuh dan punah) di Bima Sakti, seperti kunang-kunang kosmik? Apakah mereka kehabisan sumber daya? Atau apakah mereka meledakkan diri?

Sejak Drake pertama kali membuat sketsa persamaan pada tahun 1961, dua perkembangan mendasar telah membentuk kembali pemahaman kita tentang masalah tersebut. Pertama, angka di sisi kiri persamaan (mewakili jumlah bintang dengan planet yang dapat dihuni) telah meningkat beberapa kali lipat. Dan kedua, kita telah mendengarkan sinyal di luar angkasa selama puluhan tahun tanpa hasil. Seperti yang dikatakan Brin: “Ada sesuatu yang menjaga Persamaan Drake tetap kecil. Dan perbedaan argumen antara semua orang dalam perdebatan SETI bukanlah apakah itu benar, tapi di bagian mana kesalahan dari keseluruhan persamaan Drake itu berada.”


Jika nilai kiri terus bertambah besar, pertanyaannya adalah di bagian mana variabel sisi kanan yang menjadi filter bagi munculnya kehidupan berakal. Seperti yang dikatakan Brin, kami ingin filter tetap berada di belakang di setiap variabel, sementara variabel L, masih terbentang di depan kita. Kita tetap mengharapkan kehidupan berakal muncul meskipun sangat langka, namun jika sebaliknya, dan kehidupan berakal melimpah di Bima Sakti, maka nilai L mungkin rendah, mungkin saja diukur hanya dalam waktu berabad-abad dan tidak akan mencapai satu milenium sekalipun. Dalam hal ini, gaya hidup yang diadopsi peradaban berteknologi maju mungkin berujung ke kepunahan. Pertama, Anda menciptakan radio, kemudian Anda menciptakan teknologi yang mampu menghancurkan semua kehidupan di seluruh planet. Tak lama kemudian Anda menekan tombol dan peradaban lenyap.


Pertanyaan nilai L menjelaskan mengapa begitu banyak penentang METI, seperti Musk dan Hawking, juga prihatin dengan ancaman kepunahan yang dipicu oleh ancaman potensial lainnya: superintelligent komputer, pengoperasian nanobot, senjata nuklir, asteroid. Di alam semesta ketika nilai L rendah, pemusnahan kehidupan di seluruh planet adalah kemungkinan yang akan terjadi. Sekalipun sebagian kecil peradaban asing di luar sana cenderung menembakkan peluru seberat dua kilogram yang melaju dengan 50% kecepatan cahaya, apakah layak mengirim pesan jika terdapat persentase kecil yang mengakibatkan musnahnya semua kehidupan di Bumi?


Ada penjelasan lain yang lebih halus untuk Paradoks Fermi. Drake sendiri pesimis dengan nilai L, tapi tidak bagi kelompok yang hidup dalam kekhawatiran. “Karena kita menjadi semakin lebih baik dalam teknologi,” katanya. Generasi penerus TV modern dan menara radio yang secara tidak sengaja mengirim siaran Elvis ke bintang-bintang jauh lebih efisien dalam hal daya yang mereka gunakan, berarti 'bocoran' sinyal yang berasal dari Bumi jauh lebih redup daripada pada tahun 1950-an. Sebenarnya, kita semakin berbagi informasi melalui serat optik dan saluran permukaan lainnya yang tingkat kebocorannya nol di luar atmosfer kita. Mungkin masyarakat yang berteknologi maju memang seperti kunang-kunang, muncul dan punah, tapi juga bukan pertanda mereka memusnahkan diri mereka sendiri; dan hanya mengindikasikan bahwa mereka menguasai teknologi.


Tetapi bagi beberapa kritikus METI, bahkan interpretasi non-apokaliptik Paradoks Fermi tetap harus diwaspadai. Mungkin peradaban maju cenderung mencapai titik ketika mereka memutuskan, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, bahwa demi kepentingan terbaik secara kolektif mereka tidak mentransmisikan sinyal yang bisa dideteksi tetangga mereka di Bima Sakti. “Itulah jawaban lain untuk Paradoks Fermi,” kata Vakoch sambil tersenyum. “Mungkin ada Stephen Hawking di setiap planet dan karena itulah kita tidak pernah mendengar kabar dari mereka.” 


Ada sesuatu di dalam pertanyaan terkait METI yang memaksa pikiran untuk meregang melampaui batas normal. Kita harus membayangkan beberapa bentuk kecerdasan yang sangat radikal dan sangat berbeda daripada kecerdasan kita. Kita harus membayangkan skala waktu ketika sebuah keputusan yang dibuat pada tahun 2017 dapat memicu konsekuensi penting 10.000 tahun dari sekarang. Besarnya konsekuensi menantang perhitungan sebab dan akibat lebih dari biasanya. Apakah kita yakin alien mungkin adalah seorang pejuang atau seperti Zen master, jika kita berpikir METI memiliki kesempatan untuk melakukan kontak dengan peradaban asing di suatu tempat di Bima Sakti, maka kita harus menerima fakta bahwa terdapat kelompok kecil yang terdiri dari para astronom dan penulis fiksi ilmiah dan seorang miliarder penyandang dana di berbagai tempat, tengah memperdebatkan bilangan semi prima dan kecerdasan visual. Mungkin fakta yang sebenarnya tengah bergulat dengan sebuah keputusan yang barangkali terbukti paling transformatif dalam sejarah peradaban manusia.

frank-drake-observatorium-radio-astronomi-nasional-green-bank-astronomi
Frank Drake di depan Observatorium Radio Astronomi Nasional Green Bank di West Virginia pada pertengahan tahun 1960-an.
Kredit: Observatorium Astronomi Radio Nasional

Kesemuanya itu membawa kita kembali ke pertanyaan yang jauh lebih sederhana, tapi tidak kalah menantang: Siapa yang harus memutuskan? Setelah bertahun-tahun berdebat, komunitas SETI membuat prosedur untuk diikuti oleh para ilmuwan dan instansi pemerintah jika penyelidik SETI benar-benar menemukan sinyal dari luar angkasa. Protokol tersebut secara khusus merumuskan “untuk tidak menanggapi sinyal atau bukti peradaban ekstraterestrial maju hingga konsultasi tingkat internasional telah dilakukan." Namun, hingga saat ini belum ada seperangkat aturan untuk mengatur hal tersebut.

Salah satu peserta yang paling bijaksana dalam debat METI, Kathryn Denning, seorang antropolog dari Universitas York di Toronto, berpendapat bahwa keputusan kita tentang kontak yang terjadi dengan peradaban ekstraterestrial pada akhirnya lebih bersifat politis daripada ilmiah. “Jika saya harus mengambil posisi, saya akan mengatakan konsultasi luas mengenai METI sangat penting dan saya sangat menghormati upaya ke arah itu,” kata Denning. “Tapi tidak peduli seberapa banyak konsultasi dilakukan, tidak dapat dipungkiri akan ada perselisihan tentang kelayakan transmisi. Dan saya rasa bukanlah sejenis pemungutan suara terbanyak atau bahkan suara super mayoritas (suara yang mewakili Bumi) yang harus dilakukan pada hari itu. . . jadi hal ini akan terus membawa kita kembali ke pertanyaan kunci yang sama: Apakah tidak apa-apa bagi beberapa orang untuk mengirimkan pesan dengan daya yang signifikan ketika orang lain tidak menginginkannya?”

Dalam arti tertentu, debat METI berjalan paralel dengan keputusan eksistensial lainnya yang akan kita hadapi dalam beberapa dekade mendatang, seiring kemajuan teknologi dan sains. Haruskah kita membuat mesin superintelligent yang melampaui kemampuan intelektual kita sehingga kita tidak lagi mengerti bagaimana kecerdasan mereka bekerja? Haruskah kita 'menyembuhkan' kematian, seperti yang disarankan banyak teknolog? Seperti METI, hal ini juga berpotensi menjadi salah satu keputusan paling penting yang akan dibuat manusia, namun jumlah orang yang berpartisipasi aktif dalam keputusan tersebut, atau bahkan menyadari bahwa keputusan semacam itu telah dibuat, sangatlah kecil.

“Saya pikir kita perlu memikirkan kembali hal ini, sehingga kita dapat mengirimkan serangkaian pesan yang semakin inklusif,” kata Vakoch. “Setiap pesan yang awalnya kami kirim terlalu sederhana dan tidak lengkap. Tapi hal itu bukanlah masalah. Justru yang seharusnya kita lakukan adalah memikirkan bagaimana membuat pesan berikutnya menjadi lebih baik dan lebih inklusif. Idealnya kami menginginkan untuk menggabungkan keahlian teknis, para ahli yang memikirkan masalah ini dari berbagai disiplin ilmu dan juga mendapatkan masukan dari publik. Salah satu cara agar kita bisa mendapatkan masukan dari publik sebagai sebuah cara untuk membuat perbedaan dalam hal konten pesan, adalah dengan mensurvei publik tentang hal-hal macam apa yang ingin mereka katakan. Penting untuk melihat tema-tema umum terkait apa yang publik ingin katakan dan kemudian menerjemahkannya menjadi pesan seperti Lincos.”

Ketika saya mengajukan pertanyaan kepada Denning di pihak mana dia berdiri, dia menjawab: “Saya harus menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan: Mengapa Anda bertanya kepada saya? Mengapa pendapat saya lebih penting daripada seorang gadis berusia 6 tahun di Namibia? Kami sama-sama memiliki jumlah taruhan yang sama, boleh dibilang, dia bahkan lebih berharga dari saya, karena kemungkinan untuk menuju kepunahan sebelum konsekuensi transmisi terjadi, mungkin taruhannya menjadi sedikit lebih tinggi untuk saya, dengan asumsi dia memiliki akses terhadap air bersih dan perawatan kesehatan yang layak dan tidak terbunuh terlalu muda dalam perang.” Dia melanjutkan: “Saya pikir debat METI mungkin menjadi salah satu topik langka bagi sains yang sangat relevan dengan diskusi, namun hubungannya dengan kebijakan jelas sangat lemah, karena dalam analisis terakhir, semua adalah tentang seberapa besar risiko yang harus ditoleransi oleh umat manusia di Bumi. . . . Dan mengapa para astronom, ahli kosmologi, fisikawan, antropolog, psikolog, sosiolog, ahli biologi, penulis fiksi ilmiah atau siapapun juga, tidak bisa memutuskan seperti apa toleransi itu seharusnya?

Bergulat dengan pertanyaan tentang METI menunjukkan, setidaknya bagi saya, bahwa satu penemuan bagi seluruh umat manusia lebih dibutuhkan secara konseptual daripada teknologi: Kita perlu mendefinisikan tingkatan keputusan khusus yang berpotensi menciptakan risiko tingkat kepunahan. Teknologi baru (seperti komputer superintelligent) atau intervensi (seperti METI) yang bahkan menimbulkan sekecil apapun risiko yang berpotensi mengakibatkan kepunahan umat manusia memerlukan beberapa bentuk pengawasan global baru. Dan bagian dari proses itu memerlukan penetapan, seperti yang disarankan oleh Denning, beberapa ukuran tingkat toleransi risiko di planet ini. Jika tidak, maka karena keteledoran para penjudi dalam menetapkan agenda, mengakibatkan kita semua harus hidup dengan konsekuensi taruhan mereka.

Pada tahun 2017, gagasan tentang pengawasan global terhadap isu apapun, yang menimbulkan ancaman eksistensi terhadap kehidupan, mungkin terdengar naif. Mungkin teknologi juga memiliki keniscayaannya sendiri, dan kita tetap bisa mengendalikannya begitu lama: Jika kontak dengan alien secara teknis mungkin terjadi, maka seseorang, entah di mana akan segera meresponsnya. Tidak banyak preseden historis bagi manusia untuk secara sukarela melepaskan kemampuan teknologi baru, atau memilih untuk tidak melakukan kontak dengan masyarakat lain, karena beberapa ancaman yang mungkin tidak muncul dari generasi ke generasi. Tapi mungkin sudah saatnya manusia belajar bagaimana membuat pilihan seperti itu. Dan inilah salah satu hadiah mengejutkan dari perdebatan METI, baik di sisi manapun yang kita inginkan. Berpikir keras tentang jenis peradaban apa yang mungkin bisa kita bicarakan akhirnya membuat kita berpikir lebih keras lagi tentang peradaban seperti apa yang kita inginkan bagi diri kita sendiri.

Menjelang akhir percakapan saya dengan Frank Drake, saya kembali ke pertanyaan tentang planet kita yang semakin sunyi karena hingga saat ini belum ditemukan sinyal dari peradaban maju lainnya. Bahkan semua sinyal radio dan televisi yang tidak efisien (bocor) telah memberi jalan kepada transmisi yang tidak terdeteksi saat era internet. Mungkin pertanyaan saya adalah argumen jangka panjang untuk mengirim pesan secara sengaja, bahkan jika gagal dalam era hidup kita, kita akan menciptakan sebuah sinyal yang memungkinkan koneksi antarbintang ribuan tahun dari sekarang.

Drake mencondongkan tubuh ke depan dan mengangguk. “Pertanyaan yang Anda ajukan menimbulkan pertanyaan baru menarik yang bersifat non scientific: Apakah peradaban di luar Bumi bersifat altruistik? Apakah mereka mengenal konsep ini dan membuat “lampu suar” untuk kepentingan peradaban lain di luar sana? Jawaban saya adalah: Saya pikir akan benar-benar menjadi Darwinian; Saya pikir evolusi menguntungkan masyarakat altruistik. Jadi dugaan saya adalah ya. Dan hal itu berarti mungkin ada satu sinyal kuat untuk setiap peradaban.” Mengingat waktu transit di seluruh alam semesta, sinyal mungkin bisa bertahan lebih lama dibandingkan kita sebagai spesies, yang pada akhirnya dapat berfungsi sebagai peringatan sebanyak pesan yang telah ditransmisikan, layaknya Piramida Besar versi antarbintang: bukti bahwa organisme berteknologi maju berevolusi di planet ini, apa pun nasib akhir organisme itu.

Saat aku menatap pesan Arecibo yang dibuat oleh Drake yang terpatri di sebuah kaca dan digantung di tengah tembok dari rumpun kayu merah, bagiku peradaban altruistik yang ingin menciptakan kedamaian di alam semesta, seharusnya menjadi sesuatu yang dicita-citakan, terlepas dari potensi untuk risiko bagi kehidupan di Bumi. Apakah kita ingin menjadi semacam peradaban yang menutup jendela rumah dan berpura-pura tidak ada orang di rumah, karena takut terhadap ancaman tidak dikenal yang mengintai di langit yang gelap? Atau apakah kita ingin menjadi “lampu suar”?

Ditulis oleh Steven Johnson, nytimes.com. Ia telah menulis 10 buku. Buku terbarunya berjudul “Wonderland: How Play Made the Modern World”.


#terimakasihgoogle

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diameter Bumi

Kredit: NASA, Apollo 17, NSSDC   Para kru misi Apollo 17 mengambil citra Bumi pada bulan Desember 1972 saat menempuh perjalanan dari Bumi dan Bulan. Gurun pasir oranye-merah di Afrika dan Arab Saudi terlihat sangat kontras dengan samudera biru tua dan warna putih dari formasi awan dan salju antartika.   Diameter khatulistiwa Bumi adalah  12.756 kilometer . Lantas bagaimana cara para ilmuwan menghitungnya? Kredit: Clementine,  Naval Research Laboratory .   Pada tahun 200 SM, akurasi perhitungan ukuran Bumi hanya berselisih 1% dengan perhitungan modern. Matematikawan, ahli geografi dan astronom Eratosthenes menerapkan gagasan Aristoteles, jika Bumi berbentuk bulat, posisi bintang-bintang di langit malam hari akan terlihat berbeda bagi para pengamat di lintang yang berbeda.   Eratosthenes mengetahui pada hari pertama musim panas, Matahari melintas tepat di atas Syene, Mesir. Saat siang hari pada hari yang sama, Eratosthenes mengukur perpindahan sudut Matahari dari atas kota Al

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Berapa Lama Satu Tahun di Planet-Planet Lain?

Jawaban Singkat Berikut daftar berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap planet di tata surya kita untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari (dalam satuan hari di Bumi): Merkurius: 88 hari Venus: 225 hari Bumi: 365 hari Mars: 687 hari Jupiter: 4.333 hari Saturnus: 10.759 hari Uranus: 30.687 hari Neptunus: 60.190 hari   Satu tahun di Bumi berlalu sekitar 365 hari 6 jam, durasi waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari. Pelajari lebih lanjut tentang hal itu di artikel: Apa Itu Tahun Kabisat? Satu tahun diukur dari seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sebuah planet untuk mengorbit bintang induk. Kredit: NASA/Terry Virts Semua planet di tata surya kita juga mengorbit Matahari. Durasi waktu satu tahun sangat tergantung dengan tempat mereka mengorbit. Planet yang mengorbit Matahari dari jarak yang lebih dekat daripada Bumi, lama satu tahunnya lebih pendek daripada Bumi. Sebaliknya planet yang