Pada tahun 1936, bintang muda FU Orionis
mulai melahap material dari cakram gas dan debu di sekitarnya dengan sangat
rakus. Selama acara pesta kolosal yang berlangsung selama tiga bulan, material yang
dikonsumsi berubah menjadi energi, sehingga skala kecerahan bintang meningkat 100
kali lipat dan memanaskan cakram yang mengitarinya hingga mencapai suhu 12.000
derajat Fahrenheit (7.000 Kelvin). FU Orionis masih melahap gas sampai hari
ini, meskipun sudah tidak terlalu rakus.
Inilah fenomena paling ekstrem dari benda
langit sejenis, yang telah dikonfirmasi terjadi di sekitar bintang seukuran
Matahari dan mungkin memiliki implikasi tentang bagaimana bintang dan
planet terbentuk. Proses pemanasan intens terhadap cakram yang mengitari
bintang, diperkirakan akan mengubah unsur kimiawi cakram, mengubah material yang suatu hari nanti bisa menjadi planet secara permanen.
“Dengan mempelajari FU Orionis, seolah kita melihat
tahun-tahun pertama bayi tata surya,” kata ilmuwan Joel Green dari Space Telescope Science Institute di Baltimore Maryland. “Matahari kita sendiri mungkin pernah mengalami peningkatan skala kecerahan serupa, yang sangat memengaruhi pembentukan Bumi dan
planet-planet lain di tata surya kita.”
Observasi FU Orionis dalam panjang gelombang
cahaya kasat mata yang terletak 1.500 tahun cahaya dari Bumi di rasi Orion,
menunjukkan kecerahan ekstrem bintang yang secara perlahan memudar setelah tahun
1936. Namun Green dan para kolega ingin mengetahui secara mendetail hubungan
antara bintang dan cakram di sekitarnya. Apakah FU Orionis masih sering menjangkaunya?
Apakah komposisinya berubah? Dan kapan kecerahan bintang akan kembali ke skala
sebelum terjadinya ledakan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini,
para ilmuwan perlu mengamati kecerahan bintang pada panjang gelombang
inframerah untuk mengukur suhu.
Green memimpin tim untuk membandingkan data
inframerah yang diperoleh pada tahun 2016 menggunakan Stratospheric Observatory for Infrared Astronomy (SOFIA) NASA,
dengan observasi yang dilakukan menggunakan Teleskop Antariksa Spitzer NASA
pada tahun 2004. SOFIA adalah observatorium udara terbesar di dunia yang dioperasikan
oleh NASA bekerja sama dengan German
Aerospace Center dan menyediakan observasi pada panjang gelombang yang tak
mampu dicapai Spitzer. Data SOFIA diambil menggunakan instrumen FORCAST (Faint Object infrared Camera for SOFIA
Telescope).
“Dengan menggabungkan data yang dikumpulkan
selama interval waktu 12 tahun oleh dua teleskop, kami dapat memperoleh
perspektif unik tentang perilaku bintang dari waktu ke waktu,” kata Green.
Melalui observasi inframerah, ditambah data
historis lainnya, para peneliti menemukan FU Orionis yang terus “ngemil” tanpa
henti setelah peningkatan drastis skala kecerahan. FU Orionis telah melahap
material setara dengan 18 planet Jupiter dalam waktu 80 tahun terakhir.
Pengukuran terbaru SOFIA
menyediakan informasi kepada para peneliti tentang jumlah total energi cahaya kasat
mata dan inframerah yang dipancarkan sistem FU Orionis, yang telah menurun
sekitar 13% selama 12 tahun sejak diamati Spitzer. Para peneliti menyimpulkan
penurunan ini disebabkan meredupnya bintang pada panjang gelombang inframerah
pendek, tetapi tidak pada panjang gelombang yang lebih panjang. Hal itu berarti
sebanyak 13% material terpanas cakram telah menghilang, sementara material
yang lebih dingin tetap utuh.
“Penurunan jumlah molekul di gas terpanas mengindikasikan
bintang yang sedang memakan wilayah terdalam cakram, tetapi wilayah lain cakram
pada dasarnya tidak berubah dalam waktu 12 tahun terakhir,” kata Green. “Hasil
ini konsisten dengan model komputer, tetapi untuk pertama kalinya kami dapat
mengkonfirmasi teori dengan pengamatan.”
Berdasarkan hasil studi terbaru, para astronom memprediksi FU Orionis akan kehabisan “cemilan” material
panas dalam beberapa ratus tahun ke depan. Pada saat itu, bintang akan kembali
ke keadaan semula sebelum peningkatan drastis skala kecerahan tahun 1936. Para
ilmuwan belum bisa memastikan wujud asli bintang sebelumnya atau apa yang
memicu kegilaan nafsu makannya.
“Material yang jatuh ke bintang seperti air
dari selang yang perlahan-lahan dijepit,” kata Green. “Pada akhirnya air akan
berhenti mengalir.”
Jika Matahari kita mengalami peningkatan
kecerahan yang lebih dramatis seperti yang terjadi di FU Orionis pada tahun
1936, fenomena ini dapat menjelaskan mengapa unsur-unsur tertentu lebih
berlimpah di Mars daripada di Bumi. Peningkatan skala kecerahan hingga 100 kali
lipat secara mendadak, tentunya akan mengubah komposisi unsur kimia yang berada
dekat dengan bintang, tetapi tidak memengaruhi wilayah yang lebih jauh. Karena
Mars terbentuk lebih jauh dari Matahari, maka komponen materialnya tidak akan
memanas sebanyak Bumi.
Menginjak usia beberapa ratus ribu tahun, FU
Orionis bagaikan anak balita dalam usia rata-rata bintang. Peningkatan
kecerahan selama 80 tahun, untuk kemudian memudar sejak tahun 1936 hanya
mewakili sebagian kecil dari miliaran tahun kehidupan bintang, tetapi perubahan
ini terjadi hanya dalam beberapa dekade.
“Sungguh menakjubkan mengetahui perubahan seluruh
cakram protoplanet dalam skala waktu singkat, dalam rentang usia hidup manusia,” pungkas rekan penulis makalah ilmiah Luisa Rebull dari Infrared Processing and Analysis Center
(IPAC), yang berbasis di Caltech, Pasadena California.
Green berencana untuk memperoleh lebih
banyak informasi tentang fenomena “nafsu makan” FU Orionis menggunakan Teleskop Antariksa James Webb NASA, yang akan diluncurkan pada tahun 2021. SOFIA dipersenjatai
dengan spektrometer inframerah-tengah dalam resolusi tinggi, plus instrumen
sains inframerah-jauh, yang akan melengkapi kemampuan instrumen canggih
inframerah-dekat dan inframerah-tengah Webb. Sementara itu, Spitzer
diperkirakan akan terus menjelajahi alam semesta dalam cahaya inframerah demi upaya penelitian ilmiah inovatif.
Ditulis oleh: Elizabeth Landau, www.nasa.gov,
editor: Tony Greicius
Komentar
Posting Komentar