Konstanta Hubble adalah parameter kosmologis untuk menentukan
skala, ukuran dan usia alam semesta. Selain itu, Konstanta Hubble adalah salah
satu cara untuk menghitung secara langsung bagaimana alam semesta berevolusi. Saat ini, laju ekspansi alam semesta dilambangkan sebagai Konstanta Hubble
(H0). Pengukuran menggunakan berbagai
teknik, menentukan konstanta Hubble sekitar 70-76 kilometer per detik untuk
setiap satu megaparsec (Mpc, sekitar 3,26 juta tahun cahaya).
Jadi sebuah objek yang terletak pada jarak 1 Mpc, akan menjauhi kita dengan
kecepatan 70-76 km/detik, objek yang berjarak 2 Mpc akan menjauh dengan
kecepatan 140-152 km/dtk, dan seterusnya.
Astronom Edwin Hubble.
Kredit: NASA
Sejarah
Sejak awal tahun 1900-an, umat manusia telah mengubah cara pandangnya terhadap alam semesta. Kita telah memahami bahwa galaksi kita hanyalah satu dari tak terhitung banyaknya galaksi yang saling menjauh satu sama lain, dan laju ekspansi alam semesta justru semakin cepat. Wawasan ini bergantung terhadap penemuan penting yang dihasilkan astronom Amerika Henrietta Leavitt.
Pada tahun 1908, Leavitt mempublikasikan hasil studi tentang tipe bintang tertentu yang disebut variabel Cepheid. Skala kecerahan bintang variabel Cepheid ternyata meningkat dan menurun secara periodik, Leavitt kemudian memperhatikan hubungan antara kecerahan dan seberapa cepat bintang berfluktuasi. Relasi antara keduanya memungkinkan perhitungan jarak dalam skala kosmik, karena para astronom dapat membandingkan skala kecerahan sejati bintang dengan seberapa terang bintang terlihat dari Bumi.
Menggunakan informasi ini, astronom Amerika Edwin Hubble menentukan jarak ke beberapa bercak redup di langit yang sebelumnya dianggap nebula, awan gas dan debu raksasa yang ditemukan di antara bintang-bintang. Hubble menyimpulkan beberapa di antaranya terletak jauh di luar galaksi Bima Sakti kita, sekaligus membuktikan bahwa mereka bukanlah nebula, melainkan keseluruhan struktur dari galaksi-galaksi lain.
Hubble kemudian mempublikasikan penemuannya pada tahun 1924, disusul prediksi lain yang sama mengejutkannya pada tahun 1929, galaksi-galaksi yang saling menjauh satu sama lain. Fenomena ini sebenarnya telah diprediksi oleh astronom dan ahli matematika Georges Lemaître dari Belgia pada tahun 1927, meskipun belum ada bukti observasi yang mendukung prediksi.
Sementara saat itu hampir semua orang meyakini bahwa alam semesta statis, Hubble menunjukkan kebalikannya, alam semesta sebenarnya terus meluas, melalui penemuan hubungan antara jarak galaksi dengan pergeseran merah. Cahaya bergeser ke warna merah dalam spektrum elektromagnetik jika sumber bergerak menjauhi pengamat. Dari pergeseran merah ini kita mengetahui seberapa cepat sumber menjauh, jadi konstanta Hubble ternyata tidak konstan dan berubah seiring waktu.
Selisih antara prediksi dan pengukuran konstanta Hubble mengindikasikan
kelemahan dalam teknik pengukuran atau model alam semesta kita. WFIRST akan
membantu kita menemukan jawabannya.
Kredit: Pusat Penerbangan Antariksa Goddard
NASA
Nilai Konstanta Hubble
Hasil terbaik nilai Konstanta Hubble saat ini diperoleh menggunakan bintang variabel Cepheid yang diukur oleh tim SH0ES menggunakan Teleskop Antariksa Hubble NASA. Tim SH0ES memperoleh nilai sekitar 73,5 km/detik/Mpc. Namun, pengukuran terbaru menggunakan bintang raksasa merah menunjukkan nilai 70-72 km/detik/Mpc.
Satu hal yang sama dari semua studi yang mengukur Konstanta Hubble adalah hasilnya secara signifikan lebih tinggi daripada prediksi model bagaimana alam semesta muncul lebih dari 13 miliar tahun yang lalu. Pengukuran alam semesta awal memprediksi nilai konstanta Hubble sekitar 67,4 km/detik/Mpc.
Nilai Konstanta Hubble yang diprediksi dari alam semesta awal berasal dari model kosmologi standar dan pengukuran satelit Planck Badan Antariksa Eropa (ESA). Model ini sudah mapan dan didukung oleh banyak penelitian selama beberapa dekade, sedangkan prediksi Konstanta Hubble dari alam semesta modern sebenarnya didukung oleh hasil pengukuran Planck, namun pengukuran menunjukkan bahwa alam semesta meluas lebih cepat dari yang diperkirakan. Perbedaan hasil ini telah membingungkan para ilmuwan dalam beberapa tahun terakhir.
Jadi, entah ada yang salah dengan teknik pengukuran atau model teoritis tentang evolusi alam semesta, atau mungkinkah keduanya hanya perlu sedikit penyesuaian.
Pertentangan dalam Konstanta Hubble
Berkat Edwin Hubble dan para astronom lainnya, sejak tahun 1929 kita mengetahui alam semesta terus meluas. Saat ini, laju ekspansi alam semesta dilambangkan sebagai Konstanta Hubble (H0). Ada dua cara terdepan untuk mengukur H0, dan selama lima belas tahun telah terjadi pertentangan di antara kedua cara tersebut.
Inilah alasannya!
Dalam “Model Standar Kosmologi,” H0 adalah unsur terpenting, tepat di atas kecepatan cahaya. Faktor H0 dapat diterjemahkan ke segala sesuatu yang kita ketahui tentang alam semesta: seperti berapa umurnya, seberapa besar dan komponen penyusunnya. Jika H0 ‘di-tweak’ atau sedikit dirubah, maka kita akan mendapatkan usia alam semesta yang berbeda, jumlah materi yang relatif berbeda, materi gelap, energi gelap, dan sebagainya.
Tak seperti kecepatan cahaya, para ilmuwan tidak dapat mengukur H0 di laboratorium. H0 harus disimpulkan melalui pengamatan alam semesta.
Salah satu cara yang digunakan oleh para ilmuwan untuk mengukur H0 adalah melalui observasi supernova tipe Ia yang dikombinasikan dengan pergeseran merah galaksi induknya. Jumlah cahaya yang dihasilkan supernova tipe Ia selalu sama saat meledak. Pengukuran jumlah cahaya supernova tipe Ia menyediakan informasi tentang jarak akurat. Pergeseran merah atau peningkatan panjang gelombang sebuah objek, mengungkap seberapa cepat ia bergerak menjauhi Bumi. Para periset kerap memanfaatkan supernova tipe Ia sebagai penanda jarak kosmik, mengukur jarak objek di lingkungan alam semesta lokal, kemudian dilanjutkan untuk memperoleh pengukuran laju ekspansi alam semesta.
Teknik pengukuran H0 lainnya adalah dengan mengamati Latar Belakang Gelombang Mikro Kosmik (CMB), sisa-sisa cahaya dari Big Bang. Alam semesta awal sangat panas dan padat, cahaya tidak bisa merambat dengan bebas melintasi ruang angkasa. Saat alam semesta mendingin, foton terlepas. Radiasi ini meninggalkan jejak dan memberikan wawasan tentang komposisi alam semesta saat itu. CMB dapat digunakan untuk melakukan pengukuran alam semesta awal, seperti kepadatan materi gelap dan energi gelap. Setelah dikombinasikan dengan model evolusi alam semesta, para peneliti dapat menyimpulkan laju ekspansi alam semesta atau Konstanta Hubble.
Karena kedua kubu dari masing-masing metode pengukuran H0 telah meningkatkan tingkat akurasi perhitungan, tentu saja mereka enggan menyetujui hasil perhitungan satu sama lain. Studi terbaru menggunakan metode pertama menghasilkan laju ekspansi 8% lebih besar daripada hasil yang diperoleh menggunakan metode kedua.
Sekarang para ilmuwan mengajukan pertanyaan: Apakah ada yang terlewat?
Wendy Freedman, profesor astronomi dan astrofisika dari Universitas Chicago mengatakan, “Barangkali kita belum terlalu memahami tentang ‘ketidakpastian’, untuk mengetahui mengapa kedua metode memberikan hasil yang berbeda.”
Pada tahun 2001, Freedman memimpin penelitian menggunakan Teleskop Antariksa Hubble NASA untuk mengukur H0 dengan metode pertama, dan saat ini ia tengah memimpin proyek baru untuk mengukurnya secara lebih akurat.
Pertanyaan menarik lainnya adalah apakah salah mengharapkan kesepakatan dalam pengukuran H0 dari kedua metode? Mungkinkah Model Standar Kosmologi, yang memprediksi kesepakatan di antara kedua metode, salah. Jawabannya akan membawa para peneliti terlibat lebih jauh dalam upaya yang lebih menarik untuk mencari model terbaru kosmologi.
“Apakah kita benar-benar mengetahui tentang apa yang membentuk semua radiasi Big Bang?” Freedman heran. “Apakah ada jenis partikel baru yang tidak kita hitung? Atau apakah karena sifat energi gelap atau materi gelap selalu berubah dari waktu ke waktu?”
Selama beberapa tahun ke depan, para periset seperti Freedman akan mendorong analisis setiap metode sampai batas maksimal, sebelum menerapkan model revisi kosmologi.
Citra galaksi NGC 4603 yang diabadikan oleh Teleskop Antariksa Hubble pada
tahun 1996 dan 1997. Para astronom menggunakan hampir 50 bintang variabel
Cepheid di dalamnya untuk menentukan jarak NGC 4603 yang terletak 108 juta
tahun cahaya dari Bumi. NGC 4603 adalah galaksi terjauh yang digunakan oleh
Hubble untuk menentukan nilai konstanta Hubble.
Kredit: Jeffrey Newman (UC
Berkeley) dan NASA
Konstanta Hubble, Ekstrapolasi Kembali ke Big Bang
Salah satu cara untuk memperkirakan usia alam semesta adalah dengan menghitung “konstanta Hubble” atau (H0), nilai laju ekspansi alam semesta saat ini. Para kosmolog menggunakan konstanta Hubble untuk melakukan ekstrapolasi kembali ke Big Bang, yang bergantung pada tingkat kerapatan dan komposisi alam semesta saat ini.
Jika alam semesta berbentuk datar dan didominasi oleh materi, maka usia alam semesta adalah 2/(3 H0). Jika tingkat kerapatan alam semesta sangat rendah, maka usia ekstrapolasinya lebih besar, yaitu 1/H0. Jika teori relativitas umum dimodifikasi demi memasukkan konstanta kosmologis, maka usia alam semesta bisa lebih tua.
Banyak astronom yang bekerja keras untuk menghitung konstanta Hubble menggunakan berbagai teknik. Perkiraan terbaik H0 saat ini berkisar antara 50-100 kilometer/detik/Megaparsec. 1/H0 adalah 10-20 miliar tahun.
Jika kedua hasil perhitungan usia alam semesta dibandingkan, maka berpotensi merusak tatanan konsep kosmologi yang telah dianggap cukup mapan. Jika 1/H0 memang 10 miliar tahun, maka usia alam semesta justru akan lebih muda daripada usia bintang-bintang tertua. Kontradiksi ini menyiratkan kesalahan pada teori Big Bang, atau para astronom harus memodifikasi relativitas umum dengan menambahkan konstanta kosmologis.
Beberapa astronom percaya selisih hasil perhitungan konstanta Hubble dapat diselesaikan seiring kemajuan teknologi. Jika 1/H0 ternyata lebih besar daripada 10 miliar tahun dan lebih kecil daripada usia gugus bintang globular, maka akan semakin memperkuat teori Big Bang sebagai permulaan kosmos.
Galaksi-galaksi ini dipilih dari program Teleskop Antariksa Hubble untuk
mengukur laju ekspansi kosmos atau Konstanta Hubble. Nilai Konstanta Hubble
dihitung dengan membandingkan jarak antara galaksi dengan tingkat resesi semu
dari Bumi (karena efek relativistik dari perluasan ruang). Dengan membandingkan
magnitudo semu bintang-bintang raksasa merah antara galaksi satu dengan galaksi
lainnya yang jaraknya diukur dengan metode lain, para astronom dapat menentukan
jarak setiap galaksi yang menjadi induk bintang raksasa merah. Bintang raksasa
merah adalah penanda jarak yang andal, mengingat mereka mencapai puncak skala
kecerahan yang sama dalam tahap evolusi terakhir. Mereka bisa dimanfaatkan
sebagai “lilin standar” untuk menghitung jarak. Ketajaman dan kepekaan luar
biasa Hubble memudahkan penemuan raksasa merah di lingkaran halo galaksi induk. Baris tengah menampilkan bidang pandang penuh Hubble. Baris bawah
menampilkan close-up bidang pandang Hubble. Raksasa merah diidentifikasi oleh
lingkaran kuning.
Kredit: NASA, ESA, W. Freedman (Universitas Chicago), ESO,
dan the Digitizes Sky Survey
Cara Mengukur Ekspansi Kosmos
Tantangan utama dalam mengukur laju ekspansi kosmos adalah tingkat kesulitan untuk menghitung jarak objek kosmik jauh secara akurat. Pada tahun 2001, Freedman memimpin tim The Hubble Space Telescope Key Project untuk menghitung Konstanta Hubble menggunakan bintang variabel Cepheid sebagai penanda jarak kosmik. Hasil perhitungan mereka jatuh pada angka 72 km/detik/Mpc.
Tetapi, belum lama ini para ilmuwan menggunakan pendekatan yang sangat berbeda, yaitu membangun model berdasarkan struktur dari riak-riak sisa cahaya Big Bang yang disebut latar belakang gelombang mikro kosmik. Menggunakan satelit Planck, para ilmuwan bisa memprediksi bagaimana alam semesta awal berevolusi dan menerjemahkannya ke laju ekspansi kosmos yang dapat dikonfirmasi oleh para astronom. Para ilmuwan memperoleh nilai 67,4 km/detik/Mpc, yang secara signifikan berbeda dari hasil perhitungan 74,0 km/detik/Mpc.
Para astronom telah menelusuri penyebab selisih nilai Konstanta Hubble. “Secara alami, muncul pertanyaan apakah selisih berasal dari beberapa aspek yang belum kita pahami terkait bintang-bintang yang kita gunakan, atau apakah model kosmologis kita masih belum lengkap,” kata Freedman. “Atau mungkin keduanya harus diperbaiki.”
Tim Freedman berusaha untuk memeriksa hasil yang mereka peroleh dengan membuat jalur baru yang sepenuhnya independen terhadap Konstanta Hubble menggunakan tipe bintang yang sama sekali berbeda.
Menjelang akhir kehidupannya, beberapa bintang menjalani tahap evolusi raksasa merah, tahap evolusi yang juga harus dijalani oleh Matahari kita miliaran tahun dari sekarang. Pada titik tertentu, bintang harus mengalami fenomena bencana yang disebut helium flash, yaitu kenaikan suhu sekitar 100 juta derajat dan pengaturan ulang struktur bintang. Helium flash berujung pada penurunan drastis luminositas bintang. Para astronom dapat mengukur magnitudo semu raksasa merah pada tahap ini di galaksi lain, sekaligus memanfaatkan mereka untuk mengukur jarak.
Konstanta Hubble dihitung dengan cara membandingkan nilai jarak dengan kecepatan resesi semu dari galaksi target, yakni seberapa cepat galaksi bergerak menjauh. Perhitungan tim Freedman menghasilkan nilai Konstanta Hubble sebesar 69,8 km/detik/Mpc, lebih kecil daripada hasil perhitungan tim Planck dan Riess.
“Prediksi awal kami adalah ada permasalahan yang harus diselesaikan terlebih dahulu antara Cepheid dan latar belakang gelombang mikro kosmik, jadi metode raksasa merah layaknya tie-breaker,” pungkas Freedman.
Tetapi hasil perhitungan tampaknya tidak mendukung salah satu hasil yang diperoleh peneliti lain, meskipun selisihnya tidak terlalu jauh berbeda dari perhitungan tim Planck.
Tiga Langkah untuk Menghitung Konstanta Hubble
Kredit: NASA, ESA, A. Feild (STScI), dan A. Riess (STScI/JHU)
Ilustrasi tiga langkah yang digunakan oleh para astronom untuk mengukur laju ekspansi alam semesta secara akurat, yang mengurangi 2,3 % tingkat kesalahan perhitungan. Para astronom menghitung konstanta Hubble dengan merampingkan dan memperkuat konstruksi “tangga jarak” kosmik, untuk mengukur jarak galaksi-galaksi yang terletak di dekat dan jauh dari Bumi.
Dimulai dari kiri, para astronom menggunakan Teleskop Antariksa Hubble NASA untuk mengukur jarak tipe bintang denyut yang disebut variabel Cepheid, dengan metode paralaks, metode dasar geometri. Paralaks adalah pergeseran posisi suatu objek karena perubahan sudut pandang pengamat. Kotak di kiri atas menunjukkan bagaimana para astronom menggunakan Hubble untuk mengukur paralaks bintang variabel Cepheid. Para astronom harus mengukur goyangan semu lemah variabel Cepheid karena pergerakan orbit Bumi mengitari Matahari. Goyangan semu yang lemah ini sulit dideteksi, karena seperti melihat sebutir pasir dari jarak 160 km.
Hasil terbaru yang diperoleh Hubble didasarkan pada pengukuran paralaks terhadap delapan bintang variabel Cepheid yang baru dianalisis di galaksi Bima Sakti kita. Jarak mereka sekitar 10 kali lebih jauh daripada variabel Cepheid yang dipelajari sebelumnya, terletak sekitar 6.000-12.000 tahun cahaya dari Bumi.
Setelah mengkalibrasi skala kecerahan nyata varibel Cepheid, para astronom dapat memanfaatkan mereka sebagai tolak ukur kosmik untuk mengukur jarak ke galaksi yang lebih jauh daripada yang dapat diukur oleh para astronom dengan teknik paralaks. Periode denyut variabel Cepheid menyediakan hasil perhitungan skala kecerahan nyata, dengan denyut yang lebih lambat adalah variabel Cepheid yang lebih terang. Para astronom membandingkan nilai luminositas yang telah dikalibrasi dengan kecerahan semu sebagaimana terlihat dari Bumi untuk menentukan jarak secara akurat.
Setelah dikalibrasi, para astronom beralih ke galaksi-galaksi terdekat (ditunjukkan di tengah ilustrasi). Para astronom kemudian mencari bintang-bintang variabel Cepheid di galaksi-galaksi terdekat yang baru-baru ini menggelar perhelatan langit akbar sebagai tolak ukur kosmik andal lainnya, yaitu ledakan supernova Tipe Ia. Ledakan bintang yang memicu supernova tipe Ia memiliki skala kecerahan yang setara. Para astronom memanfaatkan variabel Cepheid untuk mengukur luminositas supernova di setiap galaksi induk.
Selanjutnya, para astronom mencari fenomena supernova serupa lainnya di galaksi-galaksi yang terletak lebih jauh dari Bumi. Tidak seperti Cepheid, supernova Tipe Ia cukup terang untuk dilihat dari jarak yang relatif lebih jauh. Para astronom membandingkan luminositas dan kecerahan semu supernova-supernova jauh untuk mengukur jarak yang mengarah ke ekspansi alam semesta. Para astronom lalu membandingkan pengukuran jarak dengan bagaimana cahaya supernova direntangkan ke panjang gelombang yang lebih panjang karena ekspansi ruang. Dua nilai tersebut digunakan untuk menghitung laju ekspansi alam semesta, sebuah nilai yang disebut konstanta Hubble.
V1, bintang variabel Cepheid yang mengubah arah astronomi modern
melalui pengukuran jarak kosmik. V1 terletak 2,5 juta tahun cahaya di galaksi
Andromeda.
Kredit: NASA, ESA, dan the Hubble Heritage Team (STScI/AURA)
Upaya Menentukan Nilai Konstanta Hubble dengan WFIRST NASA
Perbedaan perhitungan nilai konstanta Hubble, yang menggambarkan seberapa cepat alam semesta mengembang, telah mengesalkan para astronom selama bertahun-tahun. Nilai yang diprediksi dari observasi alam semesta awal tidak cocok dengan pengukuran alam semesta modern. Misteri ini semakin membingungkan, karena banyak pula tim ilmuwan yang memperoleh nilai konstanta Hubble menggunakan berbagai metode dengan hasil yang berbeda. Kini konstanta Hubble telah menjadi salah satu topik yang paling sering dibicarakan dalam sains kosmologi.
Dengan bidang pandang WFIRST yang lebih luas, namun kualitas resolusinya setara Teleskop Antariksa Hubble, para ilmuwan berharap dapat mengumpulkan data krusial. WFIRST akan menerapkan beberapa teknik pengukuran untuk menguji model kosmologi standar antara periode alam semesta awal dan modern, dengan masing-masing metode saling menguji silang. Upaya ini bisa mengungkap apakah perbedaan timbul dari pengukuran yang kurang sempurna, atau setidaknya menjelaskan mengapa metode yang berbeda menghasilkan nilai yang berbeda.
Melalui survei supernova dan pergeseran merah galaksi, WFIRST akan melacak ekspansi alam semesta di hampir semua sejarah kosmik, yang mengisi kesenjangan antara alam semesta awal (yang mengarah ke model teoritis yang menghasilkan prediksi nilai Konstanta Hubble) dan alam semesta modern (yang menjadi sumber pengukuran).
Selain itu, WFIRST akan membantu para astronom untuk mempelajari secara mendetail materi gelap dan energi gelap, dua komponen utama model kosmologi yang belum terlalu dipahami. Mengungkap misteri ini dapat mengarah ke penyesuaian model alam semesta yang dapat meredakan tensi nilai Konstanta Hubble.
Meskipun perbedaan antara prediksi dan pengukuran konstanta Hubble bisa saja diabaikan, mereka sebenarnya menyorot kesenjangan besar dalam pemahaman kita tentang alam semesta. Saat WFIRST menyelidiki sejarah ekspansi dan pertumbuhan alam semesta serta mengungkap beberapa misteri terbesar yang pernah diketahui, misi kosmologis yang diemban WFIRST akan membawa kita untuk lebih memahami kosmos dan tempat kita di dalamnya.
Kredit: imagine.gsfc.nasa.gov
Penemuan akselerasi laju ekspansi alam semesta pada tahun 1998 benar-benar mengejutkan para astronom. Penemuan yang kontra intuitif, sangat bertentangan dengan akal sehat, tapi bukti-buktinya begitu meyakinkan.
Bukti akselerasi laju ekspansi kosmos berasal dari supernova Tipe Ia jauh, tipe ledakan supernova yang dihasilkan oleh bintang katai putih dalam sistem biner. Material dari pasangan bintang normal dihisap oleh katai putih hingga mencapai ambang batas massa Chandrasekhar dan memicu ledakan termonuklir. Karena semua katai putih meledak jika mencapai ambang batas massa Chandrasekhar, luminositas mereka dapat dimanfaatkan oeh para astronom sebagai “lilin standar”. Jadi dengan mengamati kecerahan semu katai putih, para astronom dapat menentukan jarak mereka menggunakan hukum 1/r2.
Jika jarak supernova Tipe Ia diketahui, para astronom dapat menentukan kapan ledakan terjadi. Selain itu, cahaya yang bersumber dari supernova telah mengalami pergeseran merah karena ekspansi alam semesta. Dengan mengukur pergeseran merah dari spektrum supernova, para astronom dapat menentukan laju ekspansi alam semesta sejak ledakan. Melalui observasi terhadap supernova pada jarak yang berbeda, para astronom dapat mengumpulkan sejarah ekspansi jagad raya.
Pada tahun 1990-an, dua tim penelitian internasional yang terdiri dari berbagai negara, the Supernova Cosmology Project dari Lawrence Berkeley National Laboratory dan the High-Z Supernova Search, mencari supernova Tipe Ia jauh untuk mengukur laju ekspansi kosmos. Mereka berharap ekspansi kosmos melambat, berdasarkan ledakan supernova yang lebih terang, bukannya karena pergeseran merah mereka. Sebaliknya, para astronom justru mengamati ledakan supernova yang lebih redup. Oleh karena itu, laju ekspansi alam semesta tentunya terakselerasi!
Selain itu, pengukuran latar belakang gelombang mikro kosmik juga menunjukkan geometri jagad raya yang cenderung datar dalam skala besar. Karena tidak ada cukup materi di alam semesta, baik materi normal maupun materi gelap, geometri kosmos yang cenderung datar kemungkinan dihasilkan oleh sebuah energi yang disebut “energi gelap”. Energi gelap diduga bertanggung jawab atas akselerasi laju ekspansi alam semesta. Efek energi gelap tampaknya bervariasi, karena ekspansi kosmos yang melambat dan semakin cepat pada waktu yang berbeda.
Para astronom mengetahui bahwa materi gelap eksis melalui efek gravitasi yang mempengaruhi materi-materi normal yang kasat mata, dan para astronom juga memiliki gagasan tentang jenis partikel yang membentuk materi gelap. Namun, energi gelap tetap menjadi misteri yang kompleks. Istilah “energi gelap” mengacu pada fakta bahwa harus ada “sesuatu” yang memenuhi sebagian besar ruang hampa di alam semesta agar dapat mengakselerasi ekspansi ruang itu sendiri, yaitu “medan” seperti medan listrik atau medan magnet yang dihasilkan oleh energi elektromagnetik. “Medan” adalah anologi yang sejauh ini digunakan untuk menggambarkan energi gelap, karena kita dapat dengan mudah mengamati energi elektromagnetik melalui foton, partikel penghantar energi elektromagnetik.
Beberapa astronom mengidentifikasi energi gelap dengan Konstanta Kosmologis Einstein. Einstein memasukkan konstanta kosmologi ke dalam relativitas umum yang ia cetuskan, saat menduga teorinya memprediksi ekspansi kosmos, yang justru bertentangan dengan bukti alam semesta statis yang ia dan fisikawan lain kantongi pada awal abad ke-20. Konstanta ini menyeimbangkan ekspansi dan membuat alam semesta menjadi statis. Setelah astronom Edwin Hubble membuktikan ekspansi kosmos, Einstein kemudian menolak konstanta kosmologinya sendiri, yang selanjutnya diidentifikasi dengan apa yang disebut teori kuantum sebagai energi ruang hampa.
Dalam konteks energi gelap, konstanta kosmologis adalah reservoir yang menyimpan energi. Energi tersebut meningkat seiring dengan ekspansi jagad raya. Penerapannya ke data supernova memisahkan antara efek materi dan efek energi gelap. Sayangnya, jumlah deposit energi jauh lebih banyak daripada observasi dan akan menghasilkan laju ekspansi yang sangat cepat, sehingga tidak memungkinkan proses pembentukan bintang dan galaksi. Para fisikawan telah menggagas jenis materi baru untuk mengurai energi gelap, yaitu “intisari” yang mengisi alam semesta seperti fluida dengan massa gravitasi negatif. Namun, ambang batas terbaru yang diberlakukan pada parameter kosmologis oleh serangkaian data Teleskop Antariksa Hubble NASA, justru mengesampingkan setidaknya model sederhana intisari.
Kemungkinan lain yang sedang dieksplorasi untuk menjelaskan energi gelap adalah kepincangan topologi, variasi waktu bentuk energi gelap, atau energi gelap yang skalanya tidak seragam dengan ekspansi alam semesta.
Diolah dari berbagai sumber:
- Probing the Hubble Constant with NASA's WFIRST
- Hubble’s Contentious Constant
- How do we measure the size and the age of the Universe?
- New Hubble Constant Measurement Adds to Mystery of Universe’s Expansion Rate
- Three Steps to Measuring The Hubble Constant
- What is dark energy and why is the Universe expanding ever faster?
Komentar
Posting Komentar