Anda
pasti pernah mendengar alam semesta telah eksis selama 13,8 miliar tahun
sejak Big Bang dan para ilmuwan sangat yakin dengan perkiraan ini. Sebenarnya, margin eror usia alam semesta hanya di bawah angka 100 juta tahun, atau kurang
dari 1% usia alam semesta itu sendiri. Tapi sains sudah pernah salah di masa lalu. Lantas, apakah sains kembali salah dalam penentuan usia alam semesta? Itulah yang ingin diketahui oleh user John
Deer, yang bertanya: "Lord Kelvin memprediksi usia Matahari di antara 20-40 juta tahun karena pemodelannya tidak mencakup mekanika kuantum dan relativitas. Apakah kesalahan serupa juga bisa terjadi jika diterapkan ke usia alam semesta?
Mari
kita kembali ke sejarah masa lalu dulu, sebelum beralih ke sains modern untuk lebih memahaminya!
Pada akhir abad ke-19, timbul kontroversi pelik mengenai usia alam semesta. Berdasarkan bukti dari biologi dan geologi, Charles Darwin menyimpulkan usia
Bumi, jika tidak milyaran tahun, setidaknya ratusan juta
tahun. Tapi Lord Kelvin yang melihat proses yang terjadi pada bintang, justru menyimpulkan usia Matahari yang jauh lebih muda.
Satu-satunya reaksi yang dia ketahui adalah reaksi kimia, seperti pembakaran dan kontraksi gravitasi. Ternyata kontraksi gravitasi adalah proses bagaimana
bintang katai putih mendapatkan energinya, tapi dengan mengeluarkan energi yang setara dengan energi Matahari, maka usia Matahari hanya puluhan juta tahun saja.
Kedua gambaran teori Charles Darwin dan Lord Kevin ini tidak masuk akal.
Tentu
saja, perhitungan ini baru bisa dipecahkan beberapa dekade kemudian, melalui penemuan reaksi fusi nuklir dan penerapan teori Einstein, E=mc2 ke fusi hidrogen yang terjadi di
Matahari. Dengan metode baru ini kita mengetahui bahwa rentang hidup Matahari bisa mencapai 10-12 miliar tahun, sementara usia Matahari dan tata surya saat ini sekitar
4,5 miliar tahun. Usia Matahari (dari astronomi), Bumi (dari geologi), dan
kehidupan (dari biologi) semuanya berbaris sejajar dalam garis yang konsisten dan
koheren.
Para ilmuwan modern memiliki dua cara untuk menghitung usia alam semesta, melalui pengamatan galaksi dan bintang di dalamnya dan melalui fisika ekspansi alam semesta yang terus meluas. Bintang dianggap sebagai metrik yang kurang tepat, karena kita hanya bisa melihat mereka pada satu
waktu saja, kemudian melakukan ekstrapolasi evolusi bintang di masa lalu.
Cara ini berguna saat kita memiliki populasi besar bintang, seperti gugus
bintang globular, tapi akan lebih sulit diterapkan untuk bintang tunggal.
Metodenya sederhana: ketika populasi besar bintang dilahirkan bersamaan, mereka hadir
dalam berbagai ukuran dan warna, mulai dari panas, masif, dan biru, hingga
dingin, kecil, dan merah. Seiring berlalunya waktu, bintang yang lebih
besar mengkonsumsi bahan bakar hidrogen untuk reaksi fusi nuklir lebih cepat, karena itu tahap evolusi dijalani lebih cepat, kemudian mati.
Jika bisa mengamati bintang-bintang yang berhasil bertahan, maka kita bisa
menentukan usia populasi bintang. Banyak gugus bintang globular yang usianya melampaui 12 miliar tahun, beberapa di antaranya bahkan melebihi
usia 13 miliar tahun. Dengan kemajuan teknik dan kemampuan observasi, kita tak sekadar mampu mengukur kandungan karbon, oksigen, atau besi dari bintang tunggal, namun juga melalui kelimpahan uranium dan peluruhan radioaktif,
bersama unsur-unsur yang diciptakan saat Big Bang, kita bisa menentukan usia mereka secara langsung.
Bintang
HE 1523-0901, dengan sekitar 80% massa Matahari, hanya mengandung 0,1% kandungan besi Matahari. Setelah kelimpahan unsur radioaktifnya diukur, usianya diperkirakan sekitar 13,2 miliar
tahun. Pada tahun 2015, sembilan bintang di
dekat pusat Bima Sakti, diperkirakan terbentuk 13,5 miliar tahun yang lalu,
hanya 300 juta tahun setelah Big Bang, bahkan sebelum Bima Sakti terbentuk. Salah satu dari mereka memiliki kurang dari 0,001 % kandungan besi
Matahari, bintang paling murni yang pernah ditemukan. Dan yang lebih kontroversial, bintang Metusalah diperkirakan berusia 14,46 miliar
tahun, meskipun dengan margin eror sekitar 800 juta tahun.
Tapi, ada cara yang lebih baik dan lebih tepat untuk mengukur umur alam semesta,
yaitu melalui ekspansi kosmik.
Dengan
mengukur apa yang ada di alam semesta hari ini, bagaimana objek-objek yang jauh bergerak dan bagaimana cahaya mereka berperilaku di sekitar objek yang lebih dekat, dan untuk jarak terjauh yang dapat diamati, kita dapat
merekonstruksi sejarah ekspansi alam semesta. Sekarang kita mengetahui komposisi alam semesta terdiri dari sekitar 68% energi gelap, 27% materi gelap, 4,9% materi
normal, 0,1% neutrino, dan 0,01% radiasi. Kita juga tahu bagaimana
komponen-komponen ini berkembang pada waktunya, termasuk alam semesta yang mematuhi
hukum-hukum Relativitas Umum. Jika potongan-potongan informasi ini dikombinasikan, maka akan membentuk gambaran menarik tentang asal usul kosmik kita itu sendiri.
Selama
beberapa detik pertama, alam semesta adalah kekacauan partikel dan antipartikel yang
terionisasi, yang akhirnya mendingin dan memungkinkan pembentukan inti atom setelah beberapa menit. Setelah 380.000 tahun, atom netral pertama terbentuk. Lebih dari puluhan sampai ratusan juta tahun, gaya gravitasi membentuk atom-atom netral menjadi bintang kemudian galaksi. Miliaran tahun kemudian, galaksi tumbuh dan bergabung untuk memberi alam semesta yang kita lihat sekarang. Melalui data yang dikumpulkan dari
berbagai sumber, termasuk latar belakang gelombang mikro kosmik, pengelompokan
galaksi berskala besar, supernova jauh, dan osilasi akustik barion, kita
tiba pada sebuah gambaran tunggal yang menarik: alam semesta yang berusia 13,8
miliar tahun.
Ilustrasi sejarah kosmik selama 13,8 miliar tahun. ESA dan Kolaborasi Planck/E. Siegel (koreksi). |
Memang ada margin eror untuk perkiraan usia alam semesta, sebaimana tertuang di banyak situs, seperti Wikipedia, yang mengutip alam semesta berusia 13.799 ± 0.021 miliar tahun. Margin eror 21 juta
tahun dapat melambung hingga lima kali lipat jika ada kesalahan sistematis dalam perhitungan. Saat ini masih terjadi kontroversi mengenai tingkat ekspansi alam semesta (konstanta Hubble). Latar belakang mikro kosmik menetapkan nilai konstanta Hubble mendekati 67 km/d/Mpc (kilometer per detik per
megaparsec), sementara bintang dan supernova sekitar 74
km/d/Mpc. Demikian pula rasio antara materi gelap dan energi gelap. Beberapa ilmuwan menghitung rasio terendah 1: 2, sementara yang lain lebih menyukai
rasio 1: 3 atau berada di antara kedua rasio tersebut. Tergantung bagaimana teka-teki ini diselesaikan, alam semesta diprediksi berusia antara 13,6-14 miliar tahun.
Angka 13,8 miliar tahun tidak akan terlalu banyak mengalami revisi. Meskipun ada teori fisika yang lebih fundamental daripada gaya, partikel, dan interaksi yang telah kita ketahui, kemungkinan besar tidak
akan mengubah fisika tentang sifat bintang, gravitasi, ekspansi kosmik, atau
bagaimana radiasi, materi gelap dan energi gelap membentuk alam semesta kita. Semua hal ini telah diukur dengan baik, terkoordinasi dengan baik, dipahami dengan baik dan cukup masuk akal. Bahkan jika energi gelap berevolusi, konstanta fundamental
fisika seperti G (konstata gravitasi) atau c (kecepatan cahaya) atau h
(konstata listrik) berubah dari waktu ke waktu, atau partikel Model Standar
dapat dipecah lagi, usia alam semesta tidak akan mengalami banyak perubahan sejak Big Bang
sampai sekarang.
Revisi
dan kejutan pasti akan terjadi, tapi ketika sampai ke usia alam semesta,
setelah ribuan tahun mengajukan pertanyaan, umat manusia akhirnya memiliki sebuah
jawaban yang dapat dipercaya.
Ditulis oleh: Ethan Siegel, kontributor
www.forbes.com
Selain astrofisikawan dan penulis,
Ethan Siegel adalah pendiri dan penulis utama Starts With A Bang! Dapatkan kedua bukunya yang berjudul "Treknology" dan "Beyond The Galaxy".
#terimakasihgoogle
Komentar
Posting Komentar