Jawabannya mungkin tergantung pada sosiologi
eksoplanet
Ilustrasi asteroid antarbintang Oumuamua, yang bentuknya aneh dan memunculkan pertanyaan apakah mungkin ia produk dari sebuah kecerdasan. Kredit: ESO/M. Kornmesser |
Ketika menemukan banyak planet layak huni yang mengorbit bintang lain di galaksi Bima Sakti, termasuk di
bintang terdekat, Proxima Centauri, kita mulai bertanya: Mengapa kita belum juga mendeteksi jejak peradaban ekstraterestrial? Inilah pertanyaan legendaris yang diajukan oleh fisikawan Enrico Fermi, “Di mana mereka?” Karena asteroid antarbintang pertama yang ditemukan melintas di tata surya kita, Oumuamua, memiliki bentuk memanjang aneh, sebagian kecil ilmuwan menduganya sebagai wahana peneliti produk peradaban asing. Namun Oumuamua sama sekali tidak bermanuver dan tidak memancarkan sinyal radio.
Benar, bisa saja sinyal dari peradaban asing tidak kentara karena sangat canggih, namun keheningan langit turut menunjukkan bahwa peradaban ekstraterestrial (jika ada) tidak menggunakan teknologi yang dapat kita deteksi.
Berdasarkan pengalaman sejarah yang telah kita jalani, kita
berharap peradaban yang terlebih dulu muncul daripada kita, akan lebih cerdas dan teknologinya lebih maju. Tetapi, terbersit kemungkinan bahwa gaya hidup
yang lebih sederhana telah mendominasi lanskap
politik di planet-planet lain, sehingga peradaban yang lebih tua justru teknologinya tetap primitif.
Bisakah politik eksoplanet menjelaskan
paradoks Fermi?
Sejarah umat manusia dapat membawa kita untuk membayangkan kemungkinan bagaimana di bawah skenario politik yang berbeda, planet
kita bisa saja didominasi oleh pola pikir anti ilmiah, seperti pada abad
pertengahan. Skenario serupa dapat terjadi dalam rentang waktu ribuan tahun. Lantas, bagaimana jika berlaku selama jutaan atau miliaran tahun? Mungkin Bumi agak beruntung sebab mengalami kebangkitan teknologi (dalam semangat novel Origin karya Dan Brown).
Bencana alam atau bencana politik berpotensi mereset jam
evolusioner.
Atau mungkin usia peradaban di
Bumi akan lebih singkat jika teknologi umat manusia tetap primitif. Teknologi juga membawa risiko jangka panjang bagi masa depan kita, dalam wujud perubahan iklim dan non konvensional (perang nuklir,
biologis atau kimia). Dalam kasus ini, permukaan planet-planet lain tentunya akan meninggalkan relik dari peradaban berteknologi maju yang menghancurkan peradaban mereka sendiri akibat malapetaka, demikian pula dengan peradaban yang kurang maju.
Kita bisa mencari jejak peradaban maju dari jauh. Tetapi jika kita tidak mendeteksi apa pun melalui
teleskop kita, satu-satunya cara untuk mengetahui eksistensi peradaban yang kurang maju adalah dengan mengunjungi planet mereka. Astrososiologi berpotensi menjadi bidang eksplorasi khusus
yang sangat menarik saat kita memasuki kosmos.
Para astronom konvensional mengganggap jauh lebih murah untuk mengamati planet-planet jauh menggunakan teleskop daripada meluncurkan pesawat antariksa untuk mengunjungi mereka. Tapi, observasi jarak jauh hanya bisa mendeteksi peradaban yang mentransmisikan
sinyal elektromagnetik, atau yang mengubah atmosfer karena pencemaran
industri, atau yang meninggalkan artefak di permukaan planet seperti sel
fotovoltaik, infrastruktur industri, pemanas dan pencahayaan artificial.
Jika peradaban asing tidak secara dramatis memodifikasi habitat alami atau
menyiarkan sinyal elektromagnetik, tentunya kita harus ke sana untuk mengungkap eksistensi mereka.
Peradaban di planet-planet lain sangat tergantung dengan lingkungan alami mereka karena berbagai alasan. Barangkali kamuflase adalah taktik bertahan hidup alami dan peradaban asing lebih suka untuk tidak berbeda dengan organisme biologis lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan. Tak salah jika kita membayangkan sebuah peradaban maju yang dengan sengaja menjaga profil teknologi sederhana
untuk mempertahankan biosfer, mempertahankan gaya hidup yang mengingatkan
kita terhadap Henry Thoreau di Walden Pond. Satu-satunya cara untuk menemukan mereka adalah dengan mengirim pesawat peneliti ke sana yang akan melaporkan hasil temuannya kepada kita.
Breakthrough Starshot adalah proyek pertama yang diresmikan pada tahun 2016 dan secara signifikan didanai
untuk mengunjungi sistem planet lain. Proyek ambisius ini menargetkan untuk mencapai
bintang terdekat dalam beberapa dekade. Karena meskipun Proxima Centauri hanya berjarak 4,24 tahun cahaya, tetap dibutuhkan teknologi untuk mengakselerasi pesawat antariksa setidaknya hingga seperlima kecepatan cahaya.
Satu-satunya konsep yang sesuai adalah dengan menggunakan instrumen ringan yang didorong oleh berkas cahaya kuat. Kendala Breakthrough Starshot terletak pada pengereman di dekat planet yang menjadi target, yang tidak mudah dilakukan tanpa pendorong berkas cahaya serupa yang ditempatkan di sana.
Kecepatan yang lebih lambat tentunya membutuhkan waktu tempuh yang lebih lama. Roket konvensional akan mencapai bintang terdekat dalam waktu ratusan ribu tahun, meskipun tetap menarik dalam perspektif teoretis,
mengingat skala waktu sangat singkat dibandingkan usia alam semesta. Miliaran tahun adalah waktu yang tersedia bagi peradaban kita untuk menjelajahi Bima Sakti dan kita dapat mengumpulkan sensus
sosiologis miliaran eksoplanet. Bahkan jika kita menemukan peradaban asing yang sebagian besar berbasis religi, bukannya infrastruktur canggih yang akan
mempercepat perkembangan teknologi kita, pastinya sangat menyenangkan mengeksplorasi keragaman interpretasi galaksi tentang konsep religi.
Ditulis oleh: Abraham Loeb,
blogs.scientificamerican.com
#terimakasihgoogle
terimakasih infonya, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2OCfQmP
BalasHapus