Menggunakan data yang dikumpulkan oleh Transit Exoplanet Survey Satellite
(TESS) milik NASA, para astronom di Universitas Maryland (UMD), berhasil mengolah
rangkaian gambar lengkap dalam resolusi tinggi dari peristiwa emisi letusan
debu, es dan gas komet 46P/Wirtanen yang berada di titik terdekat dari Matahari
pada akhir 2018. Inilah studi terperinci yang mempelajari saat letusan komet dan setelah letusan menghilang.
Anggota tim telah melaporkan hasil studi di The
Astrophysical Journal Letters edisi 22 November.
“Total waktu observasi yang dihabiskan TESS mencapai
hampir satu bulan untuk mencitrakan satu sektor langit. Karena ditempatkan di
luar angkasa, TESS sama sekali tak terpengaruh gangguan atmosfer Bumi, dan
mampu melakukan serangkaian observasi seragam berdurasi panjang, kata penulis utama makalah ilmiah Tony
Farnham dari Departemen Astronomi Universitas Maryland. “Saat mengorbit Matahari, komet dapat melewati
bidang pandang TESS. Wirtanen merupakan prioritas utama kami karena berada di
titik terdekat dari Matahari pada akhir 2018, jadi kami menganalisisnya dari
data TESS untuk melihat apa yang bisa didapatkan darinya. Dan, hasilnya membuat
kami sangat terkejut!”
“Meskipun TESS didesain sebagai instrumen
untuk menemukan planet yang mengorbit bintang-bintang terdekat, strategi observasi
TESS memungkinkan begitu banyak tambahan sains yang menarik,” kata Padi Boyd, ilmuwan
proyek TESS dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt,
Maryland. “Karena kecepatan publikasi data TESS di Mikulski Archive for Space Telescopes (MAST) NASA, para ilmuwan
bisa segera mengidentifikasi data yang dianggap menarik dan melakukan
semua jenis sains tambahan di luar eksoplanet.”
Aktivitas komet biasanya digerakkan oleh
paparan sinar Matahari yang menguapkan es permukaan di dekat inti komet, dan
molekul gas yang dilepaskan komet menarik debu dari inti sehingga membentuk
koma. Namun, ada banyak komet yang diketahui sesekali mengalami letusan spontan,
yang secara signifikan meningkatkan aktivitas komet untuk sementara. Belum
diketahui apa penyebab letusan, tetapi diduga terkait erat dengan kondisi di
permukaan komet.
Sejumlah mekanisme pemicu potensial telah
diusulkan, termasuk peristiwa termal, saat gelombang panas menembus kantong es
yang mudah menguap dan menghasilkan letusan, serta peristiwa mekanis runtuhnya
tebing komet yang mengekspos molekul es segar ke sinar Matahari. Dengan
demikian, studi tentang perilaku letusan, terutama pada tahap awal meningkatnya
skala kecerahan komet yang sulit diamati, dapat membantu para ilmuwan untuk memahami
sifat termal dan fisik komet.
Meskipun jarak terdekat komet Wirtanen dengan
Bumi berlangsung pada tanggal 16 Desember 2018, letusan dimulai sejak 26 September
2018. Peningkatan skala kecerahan awal terjadi dalam dua fase yang berbeda, yakni
kilatan cahaya berdurasi satu jam, disusul tahap kedua yang skala kecerahannya terus meningkat secara bertahap selama 8 jam. Tahap kedua kemungkinan
disebabkan oleh penghamburan debu komet yang menyebabkan awan debu memantulkan
lebih banyak cahaya Matahari secara keseluruhan. Setelah mencapai skala
puncak, kecerahan komet mulai memudar
selama lebih dari dua minggu. Karena TESS mengambil gambar komposit dalam
resolusi tinggi setiap 30 menit, tim ilmuwan mampu melihat setiap tahap secara
mendetail.
“Melalui gambar-gambar resolusi tajam yang
dikumpulkan TESS, kami dapat menilai
perubahan skala kecerahan dengan sangat mudah. Seperti itulah TESS dirancang,
untuk melakukan penelitian utama sebagai pemburu eksoplanet,” kata Farnham. “Kami
tidak dapat memprediksi kapan letusan komet akan terjadi. Meskipun kita bisa
menjadwalkan waktu observasi, timing
adalah faktor penghambat utama, sebab letusan biasanya berlangsung beberapa
hari sebelum observasi dimulai.”
Tim telah menghasilkan perhitungan kasar
berapa banyak material yang telah dilepaskan selama letusan, sekitar satu juta
kilogram, yang bisa membentuk kawah komet berukuran sekitar 20 meter. Analisis tindak
lanjut terhadap perkiraan ukuran partikel di ekor debu dapat membantu
meningkatkan perhitungan ini. Observasi lebih banyak komet juga akan membantu
menentukan apakah tahapan skala kecerahan jarang atau biasa terjadi saat komet
meletus.
TESS juga telah mendeteksi jejak debu komet
Wirtanen. Tak seperti ekor komet pada umumnya, semburan gas dan debu halus yang
mengekor di belakang komet, muncul saat mendekati Matahari. Jejak komet adalah puing-puing debu yang ditinggalkan oleh komet pada jalur orbit
mengitari Matahari. Tidak seperti ekor komet yang berubah arah karena dihembuskan
angin surya, orientasi jejak komet tetap konstan dari waktu ke waktu.
“Jejak komet mengikuti jalur orbit, sementara
ekor mengimbanginya karena didorong tekanan radiasi Matahari. Hal terpenting
dari jejak adalah mengandung material terbesar,” pungkas rekan penulis makalah ilmiah Michael Kelley dari Departemen Astronomi Universitas Maryland.
“Debu di ekor sangat halus dan mirip asap, sedangkan debu di jejak komet lebih
mirip pasir dan kerikil. Kami menduga sebagian besar massa komet hilang melalui
jejak debu. Saat jalur orbit Bumi menabrak jejak debu komet, kita memperoleh hujan meteor.”
Studi komet Wirtanen oleh tim hanya
menggambarkan hasil awal, oleh karena itu Farnham, Kelley, bersama para kolega
menantikan studi analisis lebih lanjut dari Wirtanen, termasuk komet-komet lain
di bidang pandang TESS. “Kami belum mengetahui penyebab letusan komet, dan
itulah yang ingin kami temukan,” kata Farnham. “Setidaknya ada empat komet lain
di satu area langit yang diamati TESS, dengan sekitar 50 komet yang diharapkan mampu
dianalisis dalam data yang dikumpulkan oleh TESS selama dua tahun pertama misi.
Tentunya ada banyak yang dapat kami peroleh dari data ini.”
Ditulis oleh: Staf www.nasa.gov, editor: Lynn
Jenner
Artikel terkait: TESS Bidik Komet C/2018 N1 Selama Misi Uji Coba
Komentar
Posting Komentar