Kredit: Shutterstock |
Suatu
malam sekitar 60 tahun yang lalu, fisikawan Enrico Fermi menatap langit dan
bertanya, “Di mana mereka?”
Mereka
dalam pertanyaan ini adalah kehidupan di luar Bumi (ekstraterestrial).
Saat
ini, para ilmuwan menyadari ada miliaran planet di alam semesta yang berpotensi
menopang kehidupan. Jadi, dalam sejarah panjang kosmik, mengapa spesies berakal
di dalamnya tidak pernah saling bersalaman, berkomunikasi atau sekadar
melakukan kontak? Atau, barangkali alam semesta itu sendiri yang terlalu besar
untuk dijelajahi.
Mungkin
peradaban asing sengaja mengabaikan kita atau mungkin setiap peradaban maju
berakhir dengan menghancurkan dirinya sendiri sebagai imbas kemajuan teknologi,
bencana yang juga berpotensi dialami oleh para penghuni Bumi karena perang
antar sesama manusia, pemanasan global, polusi, perubahan iklim dll.
Atau,
karena alasan-alasan lain yang aneh. Sebagaimana dilansir dari situs Live
Science, berikut 9 alasan ilmiah aneh yang digagas oleh para ilmuwan untuk
menjawab paradoks Fermi.
Alien Bersembunyi di Lautan
Bawah Tanah
Kredit: JPL-Caltech/SETI Institute/NASA |
Jika
kita berharap untuk menjalin komunikasi dengan peradaban ekstraterestrial,
mungkin kita membutuhkan alat pemecah es. Ya, karena bisa jadi bentuk kehidupan
asing terperangkap di lautan bawah tanah permukan planet beku.
Beberapa
bulan (satelit alami) di tata surya kita menampung lautan di bawah permukaan,
yang kemungkinan juga umum di seluruh alam semesta, kata para astronom.
Fisikawan Alan Stern dari NASA memprediksi dunia-dunia air tersembunyi semacam
ini, dapat menjadi lokasi sempurna untuk tahap evolusi kehidupan, walaupun
permukaan sangat tidak bersahabat terhadap kehidupan tanaman. “Tumbukan
asteroid, suar surya, ledakan supernova, lingkungan orbit, magnestofer dan
atmosfer beracun, semuanya itu tidak berpengaruh terhadap kehidupan di bawah
permukaan, jelas Stern kepada Space.com.
Memang
ideal bagi alien untuk bertahan hidup dan berkembang biak, tetapi kita tidak
akan pernah bisa mendeteksi mereka hanya dengan menatap planet mereka
menggunakan teleskop. Lalu, bisakah kita berharap mereka akan menghubungi kita?
Mustahil, jawab Stern, mereka hidup jauh di dasar laut, bahkan mereka tidak pernah
tahu ada langit di atas kepala mereka.
Alien Terperangkap di Planet
Bumi-super
Kredit: JPL-Caltech/NASA |
Dalam
astronomi, istilah Bumi-super mengacu pada jenis planet dengan rentang massa
hingga 10 kali Bumi. Studi terhadap eksoplanet (planet di luar tata surya)
telah menemukan banyak sekali dunia semacam ini yang berpotensi menampung air
cair di permukaan. Berarti kehidupan asing dapat berevolusi di planet
Bumi-super yang tersebar di seluruh alam semesta.
Sayangnya,
kita mungkin tidak akan pernah bertemu dengan mereka. Menurut sebuah penelitian
yang diterbitkan di jurnal ilmiah pada bulan April, sebuah planet dengan massa
10 kali Bumi memiliki kecepatan lepas 2,4 kali lebih besar dibandingkan Bumi.
Gaya gravitasi sebesar ini menyulitkan peluncuran roket dan perjalanan
antariksa.
“Di
planet yang lebih masif, pesawat antariksa tentunya menghabiskan anggaran yang
lebih mahal,” kata penulis makalah ilmiah Michael Hippke dari Sonneberg Observatory, Jerman, kepada
Live Science. “Seolah mereka terperangkap di planet yang mereka tinggali.”
Semua Alien adalah Robot
Kredit: Shutterstock |
Manusia
menemukan gelombang radio sekitar tahun 1900, membuat komputer pertama pada
tahun 1945 dan sekarang tengah memasuki era perangkat genggam yang diproduksi
secara massal. Kecerdasan buatan mungkin tak lama lagi mengambil alih, dan
futuris Seth Shostak menggagas kemajuan pesat teknologi dirasa cukup untuk
membingkai ulang upaya pencarian peradaban ekstraterestrial. Secara sederhana,
kita harus mencari mesin, bukan makhluk hijau kecil.
"Peradaban [alien] apa pun yang bisa menemukan gelombang radio, agar kita dapat mendengar
mereka, hanya dalam waktu beberapa abad kemajuan teknologi akan meningkat
pesat," kata Shostak saat konferensi Dent: Space di San Francisco pada tahun
2016. "Dan saya pikir itu penting, karena penerus mereka adalah mesin.
"
Peradaban
asing yang benar-benar maju mungkin sepenuhnya dihuni oleh robot super-cerdas,
kata Shostak. Alih-alih memfokuskan semua sumber daya untuk menemukan planet
lain yang layak huni, mungkin kita juga harus melihat ke tempat-tempat yang
lebih menarik bagi mesin, katakanlah tempat-tempat dengan banyak energi seperti
di pusat galaksi.
Psikologi Alien
Kredit: NASA |
Berkat
budaya populer fiksi ilmiah, kata “alien” mungkin membuat semua orang
membayangkan sesosok makhluk menyeramkan dengan kepala botak berukuran besar.
Gambaran ini memang bagus bagi Hollywood, tetapi citra tentang ekstraterestrial
yang telah terbentuk di masyarakat dapat menyabotase upaya pencarian kita,
tulis tim psikolog dari Spanyol awal tahun ini.
Dalam
sebuah studi kecil, para peneliti meminta 137 orang untuk mengamati
gambar-gambar planet lain dan mencari tanda-tanda struktur alien. Sosok manusia
mungil yang mengenakan setelan gorila, sengaja disembunyikan di antara beberapa
gambar dan hanya sekitar 30 persen yang berhasil menemukannya.
Secara
sains, ras alien mustahil terlihat seperti primata, bahkan mungkin mereka tidak
dapat dideteksi oleh gelombang cahaya dan suara, tulis para peneliti. Jadi, apa
yang ingin ditunjukkan oleh penelitian ini kepada kita? Pada dasarnya,
imajinasi dan rentang perhatian kita justru membatasi upaya pencarian
ektraterestrial. Jika kita tidak memperluas bingkai referensi, maka kita bisa
saja kehilangan “gorila” di depan mata.
Tumbal Ekspansi Peradaban
Asing
Kredit: Shutterstock |
Semakin
dekat keberhasilan upaya kita untuk menemukan kehidupan ekstraterestrial, maka
semakin dekat pula kita untuk memusnahkan mereka. Meskipun gagasan ini sekadar
satu kemungkinan, kata fisikawan teoretis Alexander Berezin. Setiap peradaban
yang mampu menjelajah keluar sistem planetnya sendiri, harus berada di jalur
pertumbuhan dan perluasan tak terbatas. Sebagaimana telah kita ketahui di Bumi,
ekspansi sering kali terjadi dengan mengorbankan organisme kecil yang tak
berdaya.
“Bagaimana
jika peradaban maju pertama yang mampu melakukan perjalanan antarbintang, harus
mengeliminasi semua kompetitor untuk mendorong ekspansi peradaban?” tulis
Berezin dalam sebuah makalah ilmiah yang diposting pada bulan Maret di jurnal
pracetak arXiv.org. “Saya tidak menggagas setiap peradaban canggih akan dengan
sadar menghapus kehidupan lain. Kemungkinan besar, mereka tidak sengaja
melakukannya, sama seperti kru konstruksi yang menghancurkan sarang semut untuk
membangun real estate, hanya karena koloni semut tidak berdaya.
Dalam
konsep ini, apakah manusia berperan sebagai buldozer atau semut, masih belum
bisa dipastikan.
Perubahan Iklim di Planet
Alien
Kredit: Shutterstock |
Ketika
suatu peradaban mengkonsumsi sumber daya lebih cepat daripada yang disediakan
oleh planet, maka malapetaka telah menantinya. Kita cukup memahami konsekuensi
ini dari krisis perubahan iklim yang sedang berlangsung di Bumi. Jadi,
mungkinkah peradaban asing yang memboroskan energi menghadapi permasalahan serupa?
Menurut
astrofisikawan Adam Frank, hal itu bisa saja terjadi. Awal tahun
ini, Frank telah menjalankan serangkaian model matematis untuk mensimulasikan
bagaimana peradaban asing hipotetis muncul dan jatuh seiring konversi sumber
daya planet menjadi energi. Tiga dari empat skenario yang dijalankan, peradaban
mengalami kehancuran dan sebagian besar penghuninya binasa.
Hanya
ketika sebuah peradaban menyadari risiko ini sejak awal dan segera beralih ke
energi yang dapat diperbarui dan berkelanjutan, barulah mereka mampu bertahan.
Dari skenario ini, jika memang peradaban ekstraterestial eksis, besar
kemungkinan mereka akan menghancurkan diri mereka sendiri sebelum sempat
bertemu dengan kita.
“Di
seluruh jalinan ruang dan waktu, tentunya akan ada yang keluar sebagai pemenang,
yaitu mereka yang berhasil menyadari apa yang sedang terjadi dan segera
menemukan solusi terbaik. Sedangkan pecundang adalah peradaban yang jatuh
karena tidak bisa hidup harmonis dengan planet,” ungkap Frank. “Pertanyaannya
adalah, kita ada di golongan mana?”
Terlindas Roda Evolusi
Kredit: Shutterstock |
Alasan
lain yang diajukan adalah karena “kehidupan asing sudah mati”. Alam
semesta mungkin melimpah dengan planet yang ramah terhadap kehidupan, tetapi
tidak ada jaminan makhluk hidup dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama
untuk memulai tahap evolusi.
Para
peneliti dari Universitas Nasional Australia pernah melakukan studi tentang
planet-planet berbatu basah mirip Bumi yang cenderung tidak stabil setelah
terbentuk. Jika ada organisme yang berharap untuk berkembang biak dan
berevolusi di dunia-dunia seperti itu, maka kesempatannya sangat terbatas
mengingat evolusi membutuhkan waktu beberapa ratus juta tahun.
“Menghadapi
kondisi ekstrem planet muda yang panas atau membeku dan molekul gas yang mudah
menguap (efek rumah kaca), mempertahankan kehidupan di planet berbatu yang
awalnya basah di zona layak huni bintang mungkin seperti menunggangi banteng
liar, dan sebagian besar kehidupan jatuh,” tulis studi tersebut. “Kehidupan
mungkin relatif langka di alam semesta, bukan karena faktor kesulitan dalam
memulainya, tetapi justru lingkungan yang layak huni sulit dipertahankan selama
miliaran tahun pertama sejarah planet.
Energi Gelap Memisahkan Kita
Kredit: Shutterstock |
Alam
semesta terus meluas. Perlahan tapi pasti, galaksi-galaksi bergerak semakin
menjauh dan bintang-bintang jauh tampak lebih redup dari sudut pandang kita.
Semua ini karena substansi misterius tak kasat mata yang disebut energi gelap
oleh para ilmuwan. Dalam waktu beberapa triliun tahun, para ilmuwan memprediksi
energi gelap akan membentangkan alam semesta sedemikian rupa sehingga penduduk
Bumi tidak bisa lagi melihat cahaya apapun yang bersumber dari luar lingkungan
kosmik terdekat.
Pemikiran
ini cukup menakutkan. Jika kita tidak segera menjelajahi sudut-sudut alam
semesta, upaya SETI mungkin akan gagal untuk selamanya. “Bukan hanya tak bisa
diamati, bintang-bintang jauh tidak akan bisa diakses,” tulis Dan Hooper,
astrofisikawan dari Fermi National
Accelerator Laboratory di Illinois, dalam sebuah makalah ilmiah.
Berarti
kita berada pada tenggat waktu untuk segera menemukan atau melakukan kontak
dengan peradaban ekstraterestrial di luar sana. Dan untuk mengantisipasi
pengaruh energi gelap, kita harus memperluas peradaban kita di alam semesta
sebelum jarak galaksi menjadi semakin jauh. Tentu saja, mewujudkan perkembangan
semacam itu tidak akan pernah mudah, jelas Hooper.
Kita adalah Alien
Kredit: Shutterstock |
Bagaimana
jika saat keluar dari rumah hari ini, kamu justru bertemu dengan alien. Dan
ternyata mereka adalah tetanggamu sendiri, orangtua, saudara kandung atau
setiap orang yang kamu temui.
Setidaknya,
itulah salah satu implikasi hipotesis astrobiologi yang disebut “hipotesis
panspermia”. Secara sederhana, panspermia menggagas bahwa sebagian besar
kehidupan yang kita lihat di Bumi saat ini berasal dari bakteri yang dibawa
oleh meteor yang jatuh ke Bumi miliaran tahun lalu.
Para
penggagas hipotesis ini menyatakan semua makhluk hidup di Bumi merupakan benih
kehidupan dari luar angkasa, meskipun tidak ada bukti nyata yang mendukung
hipotesis ini. Bantahan terhadap hipotesis panspermia adalah mengapa kita tidak
menemukan jejak kehidupan di planet tata surya lainnya.
Meskipun akhirnya semua hipotesis aneh ini
ternyata masuk akal, tetap saja belum menjawab pertanyaan Fermi, di mana
mereka?
Ditulis
oleh: Brandon Specktor, Penulis Senior
www.livescience.com
Komentar
Posting Komentar