![]() |
Observatorium Terrestrial Planet Finder yang dirancang untuk mendeteksi planet seukuran Bumi di luar tata surya. Kredit: NASA |
Disiplin
ilmu baru sering menerima apresiasi yang kurang positif. Mekanika Kuantum dan
Studi Wanita diremehkan oleh kalangan akademis saat pertama kali muncul di
katalog universitas. Demikian pula manuskrip yang ditulis oleh Grote Reber pada
tahun 1930-an yang menggambarkan emisi frekuensi rendah dari Bima Sakti,
perintis yang membuka bidang astronomi radio ditolak oleh rekan sejawat di Journal Astrophysical. Untungnya, editor
memutuskan untuk menerbitkan makalah Reber.
Setali
tiga uang dengan astrobiologi, bidang sains yang tergolong baru ini tetap ada
yang mengkritik, khususnya mereka yang mengusung konsep bahwa astrobiologi
tidak lebih dari sebuah harapan untuk menemukan kehidupan di luar Bumi suatu
hari nanti.
Memang
benar belum ada bukti kehidupan ekstraterestrial, meskipun hanya ada dua
alternatif masa depan yang harus dipilih, apakah kita akan menemukan organisme biologis
di tempat lain atau tidak. Jika seorang ilmuwan tergolong di antara mereka yang
berpikir bahwa kehidupan hanya ada di planet Bumi, maka ia bisa menggunakan
astrobiologis sebagai kambing hitam kegagalan hipotesis. Tetapi, jika tergolong
di antara mereka yang mendasarkan fakta bahwa ada 10 ribu miliar sistem bintang
di alam semesta dan berpotensi menjadi tempat di mana interaksi kimiawi yang
memunculkan kehidupan berlangsung, maka astrobiologi dapat mempercepat penemuannya.
Hanya
ada sekitar 50 ahli astrobiologi di Insitut SETI, sementara Institut
Astrobiologi di Pusat Penelitian Ames NASA hanya memiliki sekitar 75 astrobiologis. Jumlah mereka sangat sedikit, layaknya “kondensasi” lokal
di antara “awan” penelitian yang jauh lebih besar. Secara nasional,
diperkirakan ada sekitar seribu ilmuwan yang menekuni bidang astrobiologi.
Apakah
mereka berhasil dalam studi yang mereka lakukan, atau sekadar mengejar harapan
agar bidang yang mereka tekuni diterima dengan baik oleh komunitas sains.
Hingga saat ini memang jauh dari kata terwujud, karena tentu saja sulit untuk
menyelesaikan studi tentang mekanisme habitat dan sejarah kehidupan. Tetapi
mereka telah menghasilkan beberapa penemuan sains paling menarik selama satu
dekade terakhir.
Kehidupan di Alam Semesta
Pada
pertengahan tahun 1990-an, kita masih belum mengetahui apakah planet layak huni
tergolong langka atau berlimpah. Sepuluh tahun berselang, para astronom telah
menemukan hampir 200 planet yang mengorbit bintang-bintang terdekat. Jumlah
pasti planet yang mengorbit bintang selain Matahari (eksoplanet) hanya bisa
diprediksi, yang pasti jumlah planet seharusnya lebih banyak daripada bintang.
Beberapa
eksoplanet telah dilihat secara langsung, tetapi salah satu eksperimen
astrobiologi paling menantang adalah meluncurkan teleskop inframerah berbasis antariksa,
seperti Terrestrial Planet Finder besutan
NASA, yang tak sekadar mampu menggambarkan planet redup, tetapi juga menganalisis
jejak spektral cahaya bintang untuk mengetahui kehadiran molekul gas (seperti
oksigen dan metana) yang mengindikasikan kehidupan mikroba. Sama seperti para
ilmuwan SETI yang mengarahkan antena ke sistem bintang terdekat untuk menemukan
peradaban ekstraterestrial, para ahli astrobiologi menyusun rencana untuk
mendeteksi kehidupan dari jauh di planet yang terpisah puluhan tahun cahaya
dari Bumi.
Kondisi Ideal yang
Dibutuhkan Kehidupan
Penemuan
banyak eksoplanet telah merevolusi pemahaman kita tentang betapa kondusifnya
alam semesta terhadap kehidupan. Planet tempat tinggal kita dianggap sebagai
prototipe dunia layak huni dengan lapisan atmosfer tebal dan lautan cair di
permukaan yang dihangatkan oleh cahaya bintang induk. Sedangkan planet yang
tidak mirip Bumi dianggap tidak layak huni.
Namun,
para astrobiologis mempelajari mekanisme lain yang secara substansial dibutuhkan untuk menghangatkan sebuah planet. Interaksi resonansi bulan dalam sistem multi
satelit mengarah pada gaya pasang surut gravitasi tanpa henti yang menghasilkan
panas untuk menjaga reservoir air agar tetap dalam wujud cair dan menyediakan
sumber energi lokal (seperti ventilasi hidrotermal di dasar lautan) yang berpotensi memicu reaksi biologis.
Bulan-bulan
tata surya seperti Europa, Callisto, Ganymede, dan Enceladus, yang sebelumnya
dianggap tak lebih dari batuan angkasa mati, kini dianggap sebagai lokasi
potensial yang menampung kehidupan. Bahkan Titan (bulan terbesar Saturnus) juga
memiliki lautan cair di permukaan, meskipun berbasis metana. Memang daya tarik
bulan-bulan terbesar tata surya sebagai tempat yang menampung kehidupan baru
saja diminati oleh para ilmuwan.
Dengan
kata lain, dunia yang tidak terlalu mirip Bumi juga bisa menampung air cair,
sehingga memenuhi persyaratan utama yang dibutuhkan kehidupan, meskipun bukan
kehidupan kompleks seperti yang ada di Bumi. Selain itu, para astrobiologis terus menghasilkan penemuan mengejutkan tentang bagaimana kehidupan mampu
bertahan di tengah lingkungan ekstrem. Organisme mikro extremophile mampu beradaptasi di lingkungan seperti Yellowstone Park, termasuk organisme
yang mampu berkembang biak satu mil di bawah permukaan atau di kegelapan dasar
laut.
Extremophile yang
dianggap sebagai organisme paling tangguh di Bumi, bisa saja eksis di
lingkungan ekstrem planet atau bulan yang tersebar di alam semesta.
Evolusi Kehidupan
Menemukan
kehidupan di luar planet kita bisa menawarkan wawasan baru tentang proses
biologis di Bumi. Sangat penting untuk memahami titik akhir kehidupan kompleks
di daratan yang mengarah ke evolusi kecerdasan. Investigasi terbaru oleh para astrobiologis dari Australia dan Norwegia menggagas kehidupan di Bumi
muncul sekitar 3,5 miliar tahun lalu dari laut. Mereka mencoba menjawab
bagaimana hal ini terjadi dan meneliti peran yang dimainkan oleh awan di
lapisan atmosfer yang menghujani senyawa karbon saat Bumi terbentuk.
Apakah
senyawa karbon adalah faktor utama atau hanya suplemen? Mengingat DNA dan
RNA adalah molekul yang sangat kompleks dan bagi sebagian ilmuwan hanya
dianggap kebetulan menjadi faktor kunci building
block kehidupan. Struktur alami seperti tanah liat juga dapat berperan
sebagai katalis yang mempercepat munculnya kehidupan. Kita masih belum bisa
memastikan bagaimana kehidupan pertama kali bangkit di Bumi, tetapi bidang
penelitian ini bisa berdampak positif bagi astrobiologi dan menyediakan
informasi apakah proses yang memunculkan kehidupan merupakan keajaiban atau
hanya fenomena yang lumrah terjadi.
Yang
tak kalah menarik adalah studi tentang bagaimana evolusi dalam beberapa ratus
ribu tahun terakhir menghasilkan spesies yang berakal budi. Apakah hanya terjadi secara kebetulan
di planet kita? Termasuk beberapa investigasi astrobiologi paling menantang untuk
menjawab apakah kehidupan di alam semesta langka atau melimpah?
Implikasi
eksplorasi untuk mengungkap rahasia kehidupan di Bumi tentunya mengarah ke
upaya pencarian kehidupan di tempat lain. Astrobiologi adalah basis pencarian
peradaban ekstraterestrial oleh Institut SETI, termasuk pencarian kehidupan
mikroba di tata surya. Mengapa kita lebih menaruh perhatian terhadap Mars, Europa
dan Titan daripada Venus, Io, atau Rhea? Itu karena mereka memiliki kondisi
yang berpotensi menumbuhkan dan memelihara aktivitas paling menarik di alam
semesta: kehidupan itu sendiri.
![]() |
Kredit: NASA |
Selama
ribuan tahun manusia telah menatap langit malam dan selalu merasa penasaran
apakah ada kehidupan di tempat lain, baik di tata surya kita sendiri maupun di
planet biru lain yang mengorbit bintang selain Matahari? Pemikiran semacam itu
telah diekspresikan dalam fiksi ilmiah dan misi sains. Para filsuf dan orang
awam juga telah cukup lama merenungkan asal-usul kehidupan di planet kita.
Demikian pula para astronom yang mengusung konsep berdasarkan sains tentang
asal usul alam semesta yang berawal dari big bang. Namun, sains belum bisa
menawarkan definisi lengkap tentang kehidupan, juga belum bisa menunjukkan
waktu, kondisi, dan mekanisme yang memicu bagaimana bahan organik pertama kali
berubah dari benda mati menjadi organisme hidup.
50 tahun
yang lalu, manusia mulai memperluas kehadirannya di luar angkasa, pertama
dengan robot yang kemudian disusul dengan misi berawak. Seiring upaya ekspansi
spesies kita ke dunia-dunia lain, pertanyaan mendasar tentang adaptasi jangka
panjang organisme hidup dengan lingkungan lain di luar Bumi tetap belum
terjawab. Sebagai contoh, kita tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan jika
manusia hidup selama bertahun-tahun di Mars, yang gaya gravitasinya hanya
sepertiga Bumi.
Astrobiologi
membahas semua misteri klasik ini dengan merangkul studi tentang asal usul,
evolusi, distribusi dan masa depan kehidupan di alam semesta.
Program
astrobiologi yang digelar NASA saat ini membahas tiga pertanyaan fundamental:
- Bagaimana kehidupan muncul dan berkembang biak?
- Apakah ada kehidupan di luar Bumi, dan jika memang ada bagaimana cara kita mendeteksinya?
- Bagaimana masa depan kehidupan di Bumi dan di alam semesta?
Sementara
pertanyaan tentang asal mula kita telah dibahas selama ribuan tahun, NASA baru
menetapkan kebijakan untuk menjawabnya pada tahun 1995, dengan
mendefinisikan program sains baru yang menjembatani dan menghubungkan berbagai
disiplin ilmu, yaitu astrobiologi.
Sejarah
Astrobiologi
Pada tahun
1953, dua orang ilmuwan dari Universitas Chicago, Stanley Miller dan Harold
Urey, melakukan eksperimen legendaris untuk membentuk beberapa senyawa yang
dianggap sebagai building blocks kehidupan. Program antariksa
terbaru Amerika Serikat mencakup bidang studi kehidupan di alam semesta ini
(eksobiologi). NASA mengucurkan dana untuk proyek eksobiologi pertamanya pada
tahun 1959, dengan membuat instrumen yang dirancang untuk mendeteksi kehidupan
mikroba di lingkungan luar Bumi.
Diawaki oleh
beberapa pakar, salah satunya Dr. Harold “Chuck” Klein, NASA mendirikan program
sains kehidupan yang memasukkan eksobiologi sebagai bagian dari bidangnya.
Ketika peran dan tanggung jawab yang baru ditetapkan, nama Ames
Aeronautical Laboratory kemudian diubah menjadi Ames Research
Center (ARC) dan mengemban dua tugas, meliputi manajemen wahana
antariksa seri Pioneer dan sains kehidupan antariksa. Penelitian ARC yang
disponsori oleh program eksobiologi NASA, meletakkan dasar bagi pendekatan yang
lebih luas untuk mempelajari kehidupan di alam semesta yang pada akhirnya mengarah
ke astrobiologi.
Pada tahun
1970-an, NASA berusaha menjawab pertanyaan tentang keunikan kehidupan di tata
surya melalui misi pendarat Viking yang dikembangkan dan dikelola oleh Langley
Research Center, untuk mencari tanda-tanda kehidupan mikroba di permukaan
Mars. Eksperimen deteksi kehidupan ini dirancang untuk “mengembangbiakkan”
mikroba dan mendeteksi tanda-tanda aktivitas metaboliknya menggunakan sampel
tanah Mars. Viking gagal memberikan bukti kehidupan di luar Bumi. Para ilmuwan
menentukan faktor kimiawi dan radiasi di permukaan Mars, menghasilkan
lingkungan yang sama sekali tidak bersahabat dengan kehidupan yang kita kenal.
Selain itu,
para ilmuwan mengetahui bahwa kurang dari 1% mikroba di Bumi dapat
dikembangbiakkan di laboratorium. Sebagai konsekuensi kegagalan ilmiah ini,
NASA menyisihkan eksperimen eksobiologis untuk misi antariksa, terutama misi ke
Mars, selama bertahun-tahun. Komunitas ilmiah kemudian menggodok kembali
pendekatan untuk mendeteksi biosignatures, atau tanda-tanda kehidupan.
Lahirlah konsep pencarian lingkungan kosmik layak huni, bukannya deteksi
langsung organisme.
Meskipun
disisihkan, NASA tetap melanjutkan program eksobiologis melalui hibah dan
menyandang dana yang menggerakkan banyak penelitian untuk menjawab pertanyaan
kunci tentang kehidupan di alam semesta. Penelitian eksobiologi NASA membawa
kemajuan pesat bagi sains, di antaranya identifikasi kelas baru organisme,
archaea, gambaran ulang pohon kehidupan dan bidang studi baru tentang
ekstrimofil, organisme yang berkembang di lingkungan ganas dengan struktur
dasar kehidupan yang familiar.
Seiring
kemajuan eksobiologi, bidang sains antariksa lainnya seperti astrofisika dan
sains keplanetan juga tak mau ketinggalan. Pada tahun 1995, kemajuan sains
ditambah perubahan dalam lanskap politik nasional, membangkitkan studi tentang
kehidupan di alam semesta, dan inilah awal program astrobiologi NASA.
Astrobiologi,
Sains dan Politik
Pada awal
tahun 1990-an, Ames memiliki organisasi ilmiah yang berkembang pesat dengan
penelitian top kelas dunia dalam ilmu Bumi, sains antariksa, dan sains
kehidupan antariksa. Salah satu aspek khusus dari organisasi ini adalah
interaksi interdisipliner yang dibina oleh para peneliti. Ilmuwan Ames seperti
Jim Pollack secara rutin mempublikasikan hasil penelitian di jurnal ilmu Bumi dan
sains antariksa. Demikian pula beberapa ilmuwan seperti Chuck Klein, dengan
gigih menggabungkan disiplin ilmu di bidang eksobiologi dan sains kehidupan
antariksa. Upaya lintas disiplin ilmu ini sebenarnya belum bisa diterima dengan
baik. Dalam salah satu latihan “peran dan misi” berkala yang digelar
pusat-pusat lembaga sains NASA, Ames ditantang untuk membuktikan kebenaran
metodenya terhadap sains antariksa.
Sebuah
koalisi di Markas Besar NASA mulai terbentuk, yang didedikasikan untuk
menyelamatkan kemampuan sains berkualitas tinggi di Ames. Tiga tokoh koalisi
berikut adalah kuncinya: France Córdova, Wesley Huntress, dan Charles Kennel.
Pada bulan Maret 1995, Huntress menyarankan agar NASA menggunakan istilah
“astrobiologi” untuk menggambarkan studi kehidupan yang semakin luas di alam
semesta. Pada tanggal 19 Mei 1995, Administrator NASA Dan Goldin mengadakan
konferensi pers di Ames dan secara resmi mendeklarasikan Ames sebagai pusat
utama NASA untuk bidang baru astrobiologi.
Sepanjang
tahun 1990-an, misi antariksa menghasilkan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong minat terhadap astrobiologi. Teleskop Antariksa Hubble NASA beberapa kali
memecahkan rekor sebagai instrumen pertama dalam hal penemuan sains antariksa,
mulai dari bukti lubang hitam hingga eksistensi bintang "gagal" katai
coklat. Pada tahun 1994, the Human Genome Project menyatakan
telah memenuhi target untuk membangun peta genetika manusia secara terperinci
dan komprehensif, satu tahun lebih cepat dari jadwal. Pada bulan Desember 1995,
penemuan yang benar-benar mengejutkan adalah deteksi pertama dari sebuah
ekosplanet yang mengorbit bintang mirip Matahari.
Pada bulan
Agustus 1996, sekelompok peneliti termasuk ilmuwan NASA Dr. David McKay,
menerbitkan artikel kontroversial di jurnal Science tentang
kemungkinan tanda-tanda kehidupan di meteorit Mars. Meteorit Mars menunjukkan
bukti tentang sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai fosil mikroskopis dari
organisme primitif, seperti bakteri, klaim penulis utama makalah studi.
Sementara komunitas sains belum bisa menerimanya, makalah tersebut
memprovokasi sebuah diskusi ilmiah tentang batasan organisme biologis untuk
pertama kalinya.
Pada saat
yang hampir bersamaan, pesawat antariksa Galileo besutan NASA mulai mengirim
gambar-gambar menarik dari Europa, salah satu bulan Jupiter. Gambar-gambar
Europa menunjukkan bukti kuat tentang lapisan es yang kemungkinan mengambang di
atas lautan cair. Temuan ini menembus spektrum upaya ilmiah dan menyediakan
bahan yang menjadi fokus antar disiplin ilmu. Pada bulan September 1996,
Lokakarya Astrobiologi NASA untuk pertama kalinya diselenggarakan di Ames,
dihadiri oleh lebih dari 250 ilmuwan dari tiga disiplin ilmu, sains antariksa,
ilmu Bumi dan sains kehidupan alam semesta. Komunitas ilmuwan dari ketiga
disiplin ilmu ini kemudian menyepakati upaya baru untuk memahami kehidupan di
alam semesta, dan lokakarya menghasilkan peta jalan ambisius yang
mendefinisikan tiga pertanyaan fundamental, sekaligus mengarahkan studi.
Institut
Astrobiologi NASA
Upaya
advokasi Córdova, Huntress dan Kennel mengarah ke kelahiran astrobiologi,
platform baru studi multi disiplin. Sebuah lembaga virtual bagi mereka yang
gemar berbagi karya dan pemikiran dibentuk, yaitu Institut Astrobiologi NASA
(NAI). Pada bulan Oktober 1997, NASA mengajukan proposal sains astrobiologi
sebagai langkah pertama yang menggambarkan NAI sebagai percobaan dalam penelitian
lintas disiplin ilmu dan kolaborasi virtual.
Pada bulan
Mei 1998, Earl Huckins diminta untuk menjadi direktur sementara NAI demi mengelola
manajemen institut. Huckins membentuk sebuah institut virtual terdiri dari tim
yang diseleksi oleh NASA. Selama fase awal enam bulan, teknik dan peralatan
penelitian manajemen portofolio dan komunikasi antar kelompok dibentuk. Selain
itu, tujuan original penelitian astrobiologi didefinisikan dan diperluas,
mencakup tidak hanya sains dasar, tetapi juga instrumentasi dan kampanye
lapangan yang bertujuan untuk memahami batas-batas kehidupan berbasis Bumi.
Setahun
berlalu, Goldin mencetuskan persyaratan untuk merekrut direktur tetap NAI yang
merupakan seorang ahli biologi. Baruch Blumberg, seorang dokter dan ahli biologi
pemenang Hadiah Nobel, diangkat sebagai direktur pertama NAI. Direktur-direktur
berikutnya termasuk profesor UCLA Bruce Runnegar dan Carl Pilcher, seorang
astronom dan mantan ilmuwan senior astrobiologi di Markas Besar NASA.
Lebih dari
50 lembaga penelitian di Amerika Serikat menanggapi permintaan pertama NASA dan
bidang astrobiologi segera memiliki basis. Proyek-proyek yang diusulkan adalah
sains dasar yang diprakarsai oleh para peneliti dalam batasan strategis yang
diberlakukan oleh NASA, termasuk penekanan pada penelitian kolaboratif lintas
disiplin ilmu. Pada tahun pertama, 11 tim dipilih, bersama satu lembaga dari
Spanyol, yang membentuk NAI. Anggota dari masing-masing tim berasal dari
lembaga utama dan lembaga tambahan. Pola ini terus diterapkan hingga hari ini.
Kemajuan dan
dampak ilmiah yang dihasilkan NAI dianggap sangat berperan dalam beragam
penelitian, termasuk studi dan definisi lingkungan layak huni, memahami
batas-batas kehidupan, penelitian biosignature, biosfer awal Bumi,
dan asal-usul kehidupan. Pada tahun 2003, Dewan Riset Nasional melakukan
tinjauan terhadap program-program internasional di bidang astrobiologi dan
menyatakan apresiasi atas kemajuan sains baru ini.
Seperti
disebutkan sebelumnya, NAI adalah percobaan dalam kolaborasi virtual. Untuk
mencapai tujuan ini, staf NAI, direktur dan para peneliti menggunakan alat
kolaboratif canggih, termasuk konferensi video, “smart boards” terhubung
ke internet untuk berbagi data secara simultan dan peralatan modern yang
tersedia di “Collaborative Engineering Environment.” Situs server yang
mudah diakses, awalnya dikembangkan dan dihosting oleh Ames, tetapi sekarang
telah tersedia secara komersial, mendorong pertukaran dokumen dan informasi
lainnya secara lebih mudah dan aman. Webcam juga mengalirkan video dari
laboratorium ke laboratorium yang menghubungkan para peneliti. Kolaborasi
berbasis internet seperti itu dianggap hal yang lumrah saat ini, namun satu
dekade yang lalu masih merupakan pioner.
ASTID, ASTEP
dan Portofolio Program Astrobiologi
Sementara
unsur programatik baru astrobiologi NAI diwujudkan dalam multi institusi, para
pejabat NASA sejak awal mengakui adanya kebutuhan untuk mempertahankan
portofolio penelitian, termasuk peneliti individu. Unsur utama peneliti
berbasis program astrobiologi kini dikenal sebagai Exobiology and
Evolutionary Biology Program, yang saat ini mendanai sekitar 150 peneliti
individu.
Tujuan awal
inisiatif astrobiologi NASA adalah untuk menciptakan instrumentasi, alat, dan
teknik untuk mengeksplorasi “sidik jari kehidupan” di lingkungan ekstrem Bumi
dan misi ke dunia-dunia lain. Untuk menggapai tujuan, NASA menciptakan dua
inisiatif baru bagi program astrobiologi: program Astrobiology Science,
Technology and Instrument Development (ASTID) pada tahun 1998
dan Astrobiology Science, Technology for Exploring Planets (ASTEP)
pada tahun 2001.
Investigasi
astrobiologi membutuhkan pengembangan miniatur instrumentasi yang mampu
melakukan operasi secara otonom di permukaan planet. Program ASTEP NASA
mensponsori penjelajahan lingkungan ekstrem di Bumi untuk mengembangkan teknik
dan sains dasar untuk mencari kehidupan di planet lain.
Melalui
program ASTID, instrumen miniatur difraksi sinar-X dipilih sebagai eksperimen
di Mars Science Laboratory. Sebagaimana dicatat dalam berbagai
ulasan dan penilaian, investasi dalam sensor pendeteksian biosignature sangat
penting untuk mencapai tujuan misi Program Eksplorasi Mars.
Edukasi dan
Penjangkauan
Berbagai
penemuan telah dipahami sebagai persyaratan mendasar sejak awal pengembangan
bidang astrobiologi. Untuk mencapai hal ini, Konferensi Sains Astrobiologi
digelar setiap dua tahun sekali, yang menarik minat lebih dari 800 ilmuwan dari
berbagai disiplin ilmu. Demikian pula publikasi makalah studi di jurnal ilmiah
untuk ditinjau oleh rekan sejawat, yaitu jurnal Astrobiology yang
diterbitkan Mary Ann Liebert, Inc., dan International
Journal of Astrobiology yang diterbitkan oleh Cambridge
University Press.
Sepuluh
tahun lalu, hampir tidak ada universitas yang memiliki program gelar sarjana di
bidang astrobiologi dan hanya segelintir yang menawarkan kursus di bidang ini.
Saat ini, hampir setiap universitas ternama di Amerika Serikat memiliki
setidaknya mata kuliah astrobiologi dan banyak yang telah memiliki program
gelar sarjana.
Masa Depan
Astrobiologi
Hanya dalam
satu dekade, astrobiologi telah meletakkan dasar untuk memahami asal-usul dan
evolusi kehidupan di alam semesta. Penelitian lapangan telah menyediakan fosil,
organisme, dan ekosistem yang semuanya mengarah ke wawasan tentang Bumi purba,
model yang memperluas batas-batas kehidupan. Studi laboratorium, ditambah
observasi astronomi, telah menyusun kepingan puzzle yang terus memberikan
petunjuk untuk perbaikan model. Langkah awal astrobiologi baru saja dimulai
untuk membawa kita ke level pemahaman yang lebih tinggi. Mengingat daya tarik
abadi pertanyaan asal-usul dan prevalensi kehidupan, astrobiologi akan tetap
bertahan jauh di masa depan.
Ditulis
oleh: Seth Shostak, www.space.com dan G. Scott Hubbard, mantan Direktur Pusat
Penelitian Ames NASA, www.nasa.gov, editor: Brian Dunbar
Sumber:
The Big Picture: Astrobiology dan What is Astrobiology?
Komentar
Posting Komentar