Langsung ke konten utama

Upaya Menentukan Nilai Konstanta Hubble dengan WFIRST NASA

Perbedaan perhitungan nilai konstanta Hubble, yang menggambarkan seberapa cepat alam semesta mengembang, telah mengesalkan para astronom selama bertahun-tahun. Nilai yang diprediksi dari observasi alam semesta awal tidak cocok dengan pengukuran alam semesta modern. Misteri ini semakin membingungkan, karena banyak pula tim ilmuwan yang memperoleh nilai konstanta Hubble menggunakan berbagai metode dengan hasil yang berbeda. Kini konstanta Hubble telah menjadi salah satu topik yang paling sering dibicarakan dalam sains kosmologi.

upaya-menentukan-nilai-konstanta-hubble-dengan-wfirst-nasa-informasi-astronomi
V1, bintang variabel Cepheid yang mengubah arah astronomi modern melalui pengukuran jarak kosmik. V1 terletak 2,5 juta tahun cahaya di galaksi Andromeda.
Kredit: NASA, ESA, dan the Hubble Heritage Team (STScI/AURA)

Untuk menyelesaikan selisih nilai konstanta Hubble, Wide Field Infrared Survey Telescope (WFIRST) besutan NASA diharapkan mampu melacak sejarah ekspansi alam semesta, untuk membantu para ilmuwan melihat perubahan laju ekspansi dari beberapa tahap sejarah kosmik paling awal hingga saat ini.

Misi WFIRST juga akan menerapkan berbagai teknik untuk membantu menentukan apakah selisih nilai disebabkan oleh kesalahan pengukuran atau apakah para astronom yang harus menyesuaikan teori mereka. Bagaimanapun juga, teka-teki konstanta Hubble mengindikasikan ada sesuatu yang hilang dari gambaran kita tentang kosmos.

Konstanta Hubble

Sejak awal tahun 1900-an, umat manusia telah mengubah cara pandangnya terhadap alam semesta. Kita telah memahami bahwa galaksi kita hanyalah satu dari tak terhitung banyaknya galaksi yang saling menjauh satu sama lain, dan laju ekspansi alam semesta justru semakin cepat. Wawasan ini bergantung terhadap penemuan penting yang dihasilkan astronom Amerika Henrietta Leavitt.

Pada tahun 1908, Leavitt mempublikasikan hasil studi tentang tipe bintang tertentu yang disebut variabel Cepheid. Skala kecerahan bintang variabel Cepheid ternyata meningkat dan menurun secara periodik, Leavitt kemudian memperhatikan hubungan antara kecerahan dan seberapa cepat bintang berfluktuasi. Relasi antara keduanya memungkinkan perhitungan jarak dalam skala kosmik, karena para astronom dapat membandingkan skala kecerahan sejati bintang dengan seberapa terang bintang terlihat dari Bumi.

Menggunakan informasi ini, astronom legendaris Amerika Edwin Hubble menentukan jarak ke beberapa bercak redup di langit yang sebelumnya dianggap nebula, awan gas dan debu raksasa yang ditemukan di antara bintang-bintang. Hubble menyimpulkan beberapa di antaranya terletak jauh di luar galaksi Bima Sakti kita, sekaligus membuktikan bahwa mereka bukanlah nebula, melainkan keseluruhan struktur dari galaksi-galaksi lain.

upaya-menentukan-nilai-konstanta-hubble-dengan-wfirst-nasa-informasi-astronomi
Selisih antara prediksi dan pengukuran konstanta Hubble mengindikasikan kelemahan dalam teknik pengukuran atau model alam semesta kita. WFIRST akan membantu kita menemukan jawabannya.
Kredit: Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA

Hubble kemudian mempublikasikan penemuannya pada tahun 1924, disusul prediksi lain yang sama mengejutkannya pada tahun 1929, galaksi-galaksi yang saling menjauh satu sama lain. Fenomena ini sebenarnya telah diprediksi oleh astronom dan ahli matematika Georges Lemaître dari Belgia pada tahun 1927, meskipun belum ada bukti observasi yang mendukung prediksi.

Sementara saat itu hampir semua orang meyakini bahwa alam semesta statis, Hubble menunjukkan kebalikannya, alam semesta sebenarnya terus meluas, melalui penemuan hubungan antara jarak galaksi dengan pergeseran merah. Cahaya bergeser ke warna merah dalam spektrum elektromagnetik jika sumber bergerak menjauhi pengamat. Dari pergeseran merah ini kita mengetahui seberapa cepat sumber menjauh, jadi konstanta Hubble ternyata tidak konstan dan berubah seiring waktu.

Pengukuran menggunakan berbagai teknik, menentukan konstanta Hubble sekitar 70-76 kilometer per detik untuk setiap satu megaparsec (Mpc, sekitar 3,26 juta tahun cahaya). Jadi sebuah objek yang terletak pada jarak 1 Mpc, akan menjauhi kita dengan kecepatan 70-76 km/detik, objek yang berjarak 2 Mpc akan menjauh dengan kecepatan 140-152 km/dtk, dan seterusnya.

Para astronom berharap selisih nilai akan menyusut seiring pengukuran yang lebih akurat, tetapi masing-masing teknik menghasilkan nilai yang sedikit berbeda.

Misalnya, hasil terbaik nilai Konstanta Hubble saat ini diperoleh menggunakan bintang variabel Cepheid yang diukur oleh tim SH0ES menggunakan Teleskop Antariksa Hubble. Tim SH0ES memperoleh nilai sekitar 73,5 km/detik/Mpc. Namun, pengukuran terbaru menggunakan bintang raksasa merah menunjukkan nilai 70-72 km/detik/Mpc.

Satu hal yang sama dari semua studi yang mengukur Konstanta Hubble adalah hasilnya secara signifikan lebih tinggi daripada prediksi model bagaimana alam semesta muncul lebih dari 13 miliar tahun yang lalu. Pengukuran alam semesta awal memprediksi nilai konstanta Hubble sekitar 67,4 km/detik/Mpc.

“Kami tidak yakin apakah perbedaan hasil pengukuran alam semesta lokal dan data alam semesta awal disebabkan ketidakpastian yang memang saat ini tidak diketahui atau diabaikan, atau apakah mengindikasikan fisika baru di luar model standar kami,” ungkap Wendy Freedman dari Universitas Chicago. “Bagaimanapun juga selisih harus diselesaikan, sebab penting untuk kosmologi!”

Nilai Konstanta Hubble yang diprediksi dari alam semesta awal berasal dari model kosmologi standar dan pengukuran satelit Planck Badan Antariksa Eropa (ESA). Model ini sudah mapan dan didukung oleh banyak penelitian selama beberapa dekade, sedangkan prediksi Konstanta Hubble dari alam semesta modern sebenarnya didukung oleh hasil pengukuran Planck, namun pengukuran menunjukkan bahwa alam semesta meluas lebih cepat dari yang diperkirakan. Perbedaan hasil ini telah membingungkan para ilmuwan dalam beberapa tahun terakhir.

“Selisih nilai konstanta Hubble semakin meningkat, barangkali memang ada yang terlewat dalam pemahaman kita tentang alam semesta,” ujar Adam Riess, penanggung jawab tim SH0ES dari Universitas Johns Hopkins dan Space Telescope Science Institute di Baltimore.

Jadi, entah ada yang salah dengan teknik pengukuran atau model teoritis tentang evolusi alam semesta, atau mungkinkah keduanya hanya perlu sedikit penyesuaian.

WFIRST Segera Bergabung

Dengan bidang pandang WFIRST yang lebih luas, namun kualitas resolusinya setara Teleskop Antariksa Hubble, para ilmuwan berharap dapat mengumpulkan data krusial. WFIRST akan menerapkan beberapa teknik pengukuran untuk menguji model kosmologi standar antara periode alam semesta awal dan modern, dengan masing-masing metode saling menguji silang. Upaya ini bisa mengungkap apakah perbedaan timbul dari pengukuran yang kurang sempurna, atau setidaknya menjelaskan mengapa metode yang berbeda menghasilkan nilai yang berbeda.

Melalui survei supernova dan pergeseran merah galaksi, WFIRST akan melacak ekspansi alam semesta di hampir semua sejarah kosmik, yang mengisi kesenjangan antara alam semesta awal (yang mengarah ke model teoritis yang menghasilkan prediksi nilai Konstanta Hubble) dan alam semesta modern (yang menjadi sumber pengukuran).

Selain itu, WFIRST akan membantu para astronom untuk mempelajari secara mendetail materi gelap dan energi gelap, dua komponen utama model kosmologi yang belum terlalu dipahami. Mengungkap misteri ini dapat mengarah ke penyesuaian model alam semesta yang dapat meredakan tensi nilai Konstanta Hubble.

Meskipun perbedaan antara prediksi dan pengukuran konstanta Hubble bisa saja diabaikan, mereka sebenarnya menyorot kesenjangan besar dalam pemahaman kita tentang alam semesta. Saat WFIRST menyelidiki sejarah ekspansi dan pertumbuhan alam semesta serta mengungkap beberapa misteri terbesar yang pernah diketahui, misi kosmologis yang diemban WFIRST akan membawa kita untuk lebih memahami kosmos dan tempat kita di dalamnya.

Ditulis oleh: Staf Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA, roman.gsfc.nasa.gov


#terimakasihgoogle dan #terimakasihnasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diameter Bumi

Kredit: NASA, Apollo 17, NSSDC   Para kru misi Apollo 17 mengambil citra Bumi pada bulan Desember 1972 saat menempuh perjalanan dari Bumi dan Bulan. Gurun pasir oranye-merah di Afrika dan Arab Saudi terlihat sangat kontras dengan samudera biru tua dan warna putih dari formasi awan dan salju antartika.   Diameter khatulistiwa Bumi adalah  12.756 kilometer . Lantas bagaimana cara para ilmuwan menghitungnya? Kredit: Clementine,  Naval Research Laboratory .   Pada tahun 200 SM, akurasi perhitungan ukuran Bumi hanya berselisih 1% dengan perhitungan modern. Matematikawan, ahli geografi dan astronom Eratosthenes menerapkan gagasan Aristoteles, jika Bumi berbentuk bulat, posisi bintang-bintang di langit malam hari akan terlihat berbeda bagi para pengamat di lintang yang berbeda.   Eratosthenes mengetahui pada hari pertama musim panas, Matahari melintas tepat di atas Syene, Mesir. Saat siang hari pada hari yang sama, Eratosthenes mengukur perpindahan sudut Matahari dari atas kota Al

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Berapa Lama Satu Tahun di Planet-Planet Lain?

Jawaban Singkat Berikut daftar berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap planet di tata surya kita untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari (dalam satuan hari di Bumi): Merkurius: 88 hari Venus: 225 hari Bumi: 365 hari Mars: 687 hari Jupiter: 4.333 hari Saturnus: 10.759 hari Uranus: 30.687 hari Neptunus: 60.190 hari   Satu tahun di Bumi berlalu sekitar 365 hari 6 jam, durasi waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari. Pelajari lebih lanjut tentang hal itu di artikel: Apa Itu Tahun Kabisat? Satu tahun diukur dari seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sebuah planet untuk mengorbit bintang induk. Kredit: NASA/Terry Virts Semua planet di tata surya kita juga mengorbit Matahari. Durasi waktu satu tahun sangat tergantung dengan tempat mereka mengorbit. Planet yang mengorbit Matahari dari jarak yang lebih dekat daripada Bumi, lama satu tahunnya lebih pendek daripada Bumi. Sebaliknya planet yang