Langsung ke konten utama

Apa Itu Persamaan Drake?

apa-itu-persamaan-drake-informasi-astronomi
Astronom Frank Drake di depan Observatorium Astronomi Radio Green Bank di West Virginia pada pertengahan tahun 1960-an.
Kredit: Observatorium Astronomi Radio Nasional
 
Jika alam semesta dipenuhi oleh peradaban maju, lantas di mana mereka? Inilah pertanyaan legendaris yang diajukan oleh fisikawan Enrico Fermi yang kemudian dikenal sebagai paradoks Fermi.
 
Untuk menjawab paradoks Fermi, biasanya seseorang akan menggunakan Persamaan Drake. Persamaan bermula dari salah satu retret akademis di Observatorium Green Bank, West Virginia, pada tahun 1961, termasuk dihadiri oleh Frank Drake, Carl Sagan dan ilmuwan peneliti lumba-lumba (yang sekarang menjadi peneliti psychedelic) John Lilly. Selama sesi, Drake menceritakan renungannya tentang Paradoks Fermi, yang kemudian diformulasikan ke sebuah persamaan. Jika kita mulai memindai kosmos untuk mengetahui jejak peradaban asing, Drake bertanya, seberapa besar probabilitas kita untuk mendeteksinya? Persamaan Drake tidak pernah menghasilkan jawaban jelas, karena hampir semua variabel tidak diketahui saat itu dan sebagian besar tidak diketahui hingga setengah abad kemudian. Tapi persamaannya memiliki efek klarifikasi. Dalam bentuk matematis, terlihat seperti ini:
 
N= R*xƒpxnexƒlxƒixƒcxL
  • N = jumlah peradaban yang dapat dihubungi di galaksi kita.
  • R* = laju pembentukan bintang per tahun di galaksi kita.
  • fp = fraksi bintang yang mempunyai planet.
  • ne = jumlah rata-rata planet yang dapat mendukung kehidupan per bintang yang mempunyai planet.
  • fℓ = fraksi planet yang bisa mengembangkan kehidupan.
  • fi = fraksi planet yang bisa mengembangkan peradaban maju.
  • fc = fraksi peradaban yang telah mengembangkan teknologi untuk mengirim sinyal ke luar angkasa.
  • L = lama waktu yang diperlukan peradaban untuk mengirim sinyal ke luar angkasa.
N adalah jumlah peradaban komunikatif di galaksi Bima Sakti kita. Variabel awal R* sesuai dengan laju pembentukan bintang per tahun di galaksi kita, yang secara efektif menyediakan jumlah bintang yang berpotensi menopang kehidupan. Sisa variabel kemudian berfungsi sebagai semacam rangkaian filter di dalam variabel yang lebih besar: Dari jumlah bintang di Bima Sakti, berapa bintang yang memiliki planet, dan berapa banyak planet yang berada di zona layak huni? Dari jumlah planet zona layak huni, berapa banyak yang menopang kehidupan, lalu berapa yang berkembang menjadi peradaban, dan berapa peradaban yang akhirnya mampu mentrasmisikan sinyal ke luar angkasa? Di akhir persamaan, Drake menempatkan variabel penting L, yaitu rata-rata durasi waktu yang dibutuhkan oleh peradaban untuk memancarkan sinyal.
 
Yang membuat Persamaan Drake begitu memukau adalah cara yang digunakan untuk menghitungnya, memaksa pikiran untuk menggabungkan begitu banyak disiplin intelektual ke dalam kerangka tunggal. Saat berpindah dari kiri ke kanan dalam persamaan, kita dipaksa beralih dari astrofisika ke biokimia kehidupan, teori evolusi, hingga sains kognitif, sampai ke teori perkembangan teknologi. Dugaan kita tentang setiap nilai dalam Persamaan Drake mengungkap keseluruhan pandangan global: Mungkin kita menganggap kehidupan itu langka, tapi bila memang muncul, peradaban maju biasanya akan menyusul; atau mungkin kita berpikir kehidupan mikroba ada di seluruh kosmos, namun organisme yang lebih kompleks hampir tidak pernah terbentuk. Persamaan Drake rentan terhadap hasil yang sangat berbeda, tergantung pada jumlah yang ditetapkan untuk setiap variabel.
 
Nilai yang paling provokatif adalah yang terakhir: L, rata-rata rentang waktu yang dibutuhkan sebuah peradaban untuk mentransmisi sinyal. Kita tidak harus menjadi seorang Pollyanna (optimis) untuk mempertahankan nilai L yang relatif tinggi. Yang kita butuhkan adalah mempercayai kemungkinan sebuah peradaban untuk mandiri dan bertahan selama jutaan tahun. Bahkan jika satu dari seribu spesies berakal di alam semesta menghasilkan peradaban dalam waktu satu juta tahun, nilai L meningkat secara drastis. Tetapi jika nilai L rendah, berarti akan menjadi pertanyaan berantai: Apa yang membuatnya rendah? Apakah peradaban maju terus berkerlap-kerlip (tumbuh dan punah) di Bima Sakti, seperti kunang-kunang kosmik? Apakah mereka kehabisan sumber daya? Atau apakah mereka meledakkan diri?
 
Sejak Drake pertama kali membuat sketsa persamaan pada tahun 1961, dua perkembangan mendasar telah membentuk kembali pemahaman kita tentang masalah tersebut. Pertama, angka di sisi kiri persamaan (mewakili jumlah bintang dengan planet yang dapat dihuni) telah meningkat beberapa kali lipat. Dan kedua, kita telah mendengarkan sinyal di luar angkasa selama puluhan tahun tanpa hasil. Seperti yang dikatakan ilmuwan David Brin saat diwawancarai oleh reporter dan penulis artikel Steven Johnson dari New York Times Magazine: “Ada sesuatu yang menjaga Persamaan Drake tetap kecil. Dan perbedaan argumen antara semua orang dalam perdebatan SETI bukanlah apakah itu benar, tapi di bagian mana kesalahan dari keseluruhan persamaan Drake itu berada.”
 
Jika nilai kiri terus bertambah besar, pertanyaannya adalah di bagian mana variabel sisi kanan yang menjadi filter bagi munculnya kehidupan berakal. Menurut Brin, kita ingin filter tetap berada di belakang di setiap variabel, sementara variabel L, masih terbentang di depan kita. Kita tetap mengharapkan kehidupan berakal muncul meskipun sangat langka, namun jika sebaliknya, dan kehidupan berakal melimpah di Bima Sakti, maka nilai L mungkin rendah, mungkin saja diukur hanya dalam waktu berabad-abad dan tidak akan mencapai satu milenium sekalipun. Dalam hal ini, gaya hidup yang diadopsi peradaban berteknologi maju mungkin berujung ke kepunahan. Pertama, Anda menciptakan radio, kemudian Anda menciptakan teknologi yang mampu menghancurkan semua kehidupan di seluruh planet. Tak lama kemudian Anda menekan tombol dan peradaban lenyap.
 
Pertanyaan nilai L menjelaskan mengapa begitu banyak penentang METI, seperti Elon Musk dan Stephen Hawking, juga prihatin dengan ancaman kepunahan yang dipicu oleh ancaman potensial lainnya: superintelligent komputer, pengoperasian nanobot, senjata nuklir, asteroid. Di alam semesta ketika nilai L rendah, pemusnahan kehidupan di seluruh planet adalah kemungkinan yang akan terjadi. Sekalipun sebagian kecil peradaban asing di luar sana cenderung menembakkan peluru seberat dua kilogram yang melaju dengan 50% kecepatan cahaya, apakah layak mengirim pesan jika terdapat persentase kecil yang mengakibatkan musnahnya semua kehidupan di Bumi?
 
Ada penjelasan lain yang lebih halus untuk Paradoks Fermi. Drake sendiri pesimis dengan nilai L, tapi tidak bagi kelompok yang hidup dalam kekhawatiran. “Karena kita menjadi semakin lebih baik dalam teknologi,” katanya. Generasi penerus TV modern dan menara radio yang secara tidak sengaja mengirim siaran Elvis ke bintang-bintang jauh, lebih efisien dalam hal daya yang mereka gunakan, berarti 'bocoran' sinyal yang berasal dari Bumi jauh lebih redup daripada pada tahun 1950-an. Sebenarnya, kita semakin berbagi informasi melalui serat optik dan saluran permukaan lainnya yang tingkat kebocorannya nol di luar atmosfer kita. Mungkin masyarakat yang berteknologi maju memang seperti kunang-kunang, muncul dan punah, tapi juga bukan pertanda mereka memusnahkan diri mereka sendiri; dan hanya mengindikasikan bahwa mereka menguasai teknologi.
 
Tetapi bagi beberapa kritikus METI, bahkan interpretasi non-apokaliptik Paradoks Fermi tetap harus diwaspadai. Mungkin peradaban maju cenderung mencapai titik ketika mereka memutuskan, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, bahwa demi kepentingan terbaik secara kolektif mereka tidak mentransmisikan sinyal yang bisa dideteksi tetangga mereka di Bima Sakti. “Itulah jawaban lain untuk Paradoks Fermi,” ujar mantan ilmuwan SETI Douglas Vakoch kepada Johnson sambil tersenyum. “Mungkin ada Stephen Hawking di setiap planet dan karena itulah kita tidak pernah mendengar kabar dari mereka.”
 
Diolah dari artikel: Greetings, E.T. (Please Don't Murder Us.)
 
Pelajari lebih lanjut di: Salam E.T. (Tolong Jangan Bunuh Kami)
 
#terimakasihgoogle

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diameter Bumi

Kredit: NASA, Apollo 17, NSSDC   Para kru misi Apollo 17 mengambil citra Bumi pada bulan Desember 1972 saat menempuh perjalanan dari Bumi dan Bulan. Gurun pasir oranye-merah di Afrika dan Arab Saudi terlihat sangat kontras dengan samudera biru tua dan warna putih dari formasi awan dan salju antartika.   Diameter khatulistiwa Bumi adalah  12.756 kilometer . Lantas bagaimana cara para ilmuwan menghitungnya? Kredit: Clementine,  Naval Research Laboratory .   Pada tahun 200 SM, akurasi perhitungan ukuran Bumi hanya berselisih 1% dengan perhitungan modern. Matematikawan, ahli geografi dan astronom Eratosthenes menerapkan gagasan Aristoteles, jika Bumi berbentuk bulat, posisi bintang-bintang di langit malam hari akan terlihat berbeda bagi para pengamat di lintang yang berbeda.   Eratosthenes mengetahui pada hari pertama musim panas, Matahari melintas tepat di atas Syene, Mesir. Saat siang hari pada hari yang sama, Eratosthenes mengukur perpindahan sudut Matahari dari atas kota Al

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Berapa Lama Satu Tahun di Planet-Planet Lain?

Jawaban Singkat Berikut daftar berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap planet di tata surya kita untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari (dalam satuan hari di Bumi): Merkurius: 88 hari Venus: 225 hari Bumi: 365 hari Mars: 687 hari Jupiter: 4.333 hari Saturnus: 10.759 hari Uranus: 30.687 hari Neptunus: 60.190 hari   Satu tahun di Bumi berlalu sekitar 365 hari 6 jam, durasi waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari. Pelajari lebih lanjut tentang hal itu di artikel: Apa Itu Tahun Kabisat? Satu tahun diukur dari seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sebuah planet untuk mengorbit bintang induk. Kredit: NASA/Terry Virts Semua planet di tata surya kita juga mengorbit Matahari. Durasi waktu satu tahun sangat tergantung dengan tempat mereka mengorbit. Planet yang mengorbit Matahari dari jarak yang lebih dekat daripada Bumi, lama satu tahunnya lebih pendek daripada Bumi. Sebaliknya planet yang