Langsung ke konten utama

Kecepatan Cahaya

kecepatan-cahaya-informasi-astronomi
Teori relativitas khusus Einstein menetapkan kecepatan cahaya sekitar 300.000 km/detik. Tetapi beberapa ilmuwan tak pernah berhenti mengeksplorasi kemungkinan batas kecepatan kosmik ini dapat berubah.
Kredit: Iscatel/Shutterstock

Kecepatan cahaya merambat di ruang hampa adalah 299.792 kilometer per detik dan secara teori tidak ada yang dapat melampaui kecepatan cahaya. Dalam satuan km/jam, kecepatan cahaya adalah 1.079.252.848 km/jam. Jika dapat melaju secepat cahaya, seseorang bisa 7,5 kali mengelilingi Bumi dalam satu detik.

Di masa lalu, para ilmuwan belum mampu menentukan pergerakan cahaya dan hanya memperkirakan cahaya bergerak secara instan. Seiring waktu, pengukuran gerakan partikel gelombang semakin akurat. Berkat upaya Albert Einstein dan para ilmuwan lainnya, kita sekarang memahami kecepatan cahaya sebagai batas teoritis. Kecepatan cahaya, sebuah konstanta yang disebut “c”, dianggap tidak dapat dicapai oleh apa pun yang memiliki massa, untuk alasan yang akan dijelaskan di bawah ini. Namun batasan teoritis ini tidak menghentikan para penulis fiksi ilmiah dan beberapa ilmuwan yang dengan serius membayangkan teori alternatif agar kita dapat melakukan perjalanan melampaui kecepatan cahaya untuk menjelajahi alam semesta.

Sejarah Teori Kecepatan Cahaya

Tulisan pertama yang membahas kecepatan cahaya berasal dari Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Empedocles, ilmuwan Yunani lainnya. Empedocles berpendapat cahaya membutuhkan waktu untuk merambat. Aristoteles tidak menyetujui pendapat ini dan meyakini cahaya merambat secara instan.

Pada tahun 1667, astronom Italia Galileo Galilei menyuruh dua orang untuk berdiri di atas bukit yang terpisah dalam jarak kurang dari satu mil, masing-masing memegang sebuah lentera yang tertutup. Ketika orang pertama membuka penutup lentera, orang kedua mengamati sekaligus membuka penutup lentera yang dipegangnya. Dengan mengamati berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh cahaya agar dilihat oleh orang pertama (dan memperhitungkan waktu reaksi), Galileo mengira dapat menghitung kecepatan cahaya. Sayangnya, jarak eksperimental Galileo hanya kurang dari satu mil dan terlalu dekat untuk melihat perbedaannya, jadi dia hanya bisa menentukan kecepatan cahaya setidaknya 10 kali lebih cepat daripada kecepatan suara.

Pada tahun 1670-an, astronom Denmark Ole Römer menggunakan gerhana dari salah satu bulan Jupiter, Io, sebagai kronometer untuk kecepatan cahaya ketika ia melakukan pengukuran langsung pertama seberapa cepat cahaya merambat. Selama beberapa bulan, ketika Io melintas di belakang planet raksasa gas Jupiter, Römer menemukan gerhana Io berlangsung lebih lambat daripada perkiraan perhitungan sebelumnya. Romer lalu menyimpulkan cahaya membutuhkan waktu untuk merambat dari Io ke Bumi. Gerhana berlangsung lebih lambat ketika jarak antara Bumi dengan Jupiter berada di titik terjauh, dan sebaliknya berlangsung lebih cepat saat jarak antara Bumi dengan Jupiter berada di titik terdekat. 

Selisih waktu gerhana memberikan Römer bukti meyakinkan tentang cahaya yang merambat di ruang angkasa dengan kecepatan tertentu. Dia kemudian menyimpulkan cahaya membutuhkan waktu antara 10-11 menit untuk menempuh perjalanan dari Matahari ke Bumi dengan kecepatan 200.000 km/detik. Perkiraan yang terlalu tinggi, karena sebenarnya cahaya dari Matahari hanya membutuhkan waktu 8 menit 19 detik untuk mencapai Bumi. Namun, pada akhirnya komunitas ilmuwan memperoleh sebuah acuan untuk menindaklanjuti penelitian Römer. 

Pada tahun 1728, fisikawan Inggris James Bradley mendasarkan perhitungan kecepatan cahaya dari perubahan posisi bintang yang diakibatkan oleh pergerakan orbit Bumi mengitari Matahari. Dia menentukan kecepatan cahaya 301.000 km/detik, sangat akurat dengan margin error hanya sekitar 1%.

Dua eksperimen lainnya pada pertengahan tahun 1800, justru kembali melebarkan persentase margin error kecepatan cahaya. Fisikawan Prancis Hippolyte Fizeau menyalakan seberkas cahaya di roda bergigi yang berputar cepat, dengan sebuah cermin yang dipasang sejauh 5 mil untuk memantulkannya kembali ke sumber cahaya. Variasi kecepatan roda memungkinkan Fizeau untuk menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan cahaya untuk tiba ke cermin. Dia lalu membandingkan selisih dari tiap putaran kecepatan roda. Sementara fisikawan Prancis lainnya, Leon Foucault, malah menggunakan sebuah cermin yang dapat berputar. Dua metode yang tidak saling terkait ini menyimpulkan kecepatan cahaya sekitar 1.000 mil/detik.

Fisikawan Prusia Albert Michelson yang dibesarkan di Amerika Serikat, berusaha meniru metode Foucault pada tahun 1879, tetapi dengan jarak yang lebih jauh dan menggunakan cermin dan lensa berkualitas tinggi. Dia memperoleh hasil 299.910 km/detik. Perhitungan Michelson diterima sebagai pengukuran kecepatan cahaya paling akurat selama 40 tahun, hingga dia mengukurnya kembali.

Catatan kaki yang menarik dari eksperimen Michelson adalah ia mencoba mendeteksi medium yang dilalui cahaya, atau luminiferous aether. Sebaliknya, eksperimen yang dilakukannya mengungkap aether tidak ada.

“Eksperimen dan karya Michelson sangat revolusioner, ia menjadi satu-satunya orang dalam sejarah yang memenangkan Hadiah Nobel karena menemukan sesuatu yang tidak tepat,” tulis astrofisikawan Ethan Siegal di blog ilmiah Starts With a Bang situs Forbes. “Eksperimen itu sendiri mungkin merupakan kegagalan total, tetapi apa yang bisa kita pelajari darinya adalah sebuah anugerah bagi umat manusia dan pemahaman baru tentang alam semesta dibandingkan keberhasilan apa pun yang pernah diraih!”

Einstein dan Relativitas Khusus

Pada tahun 1905, Albert Einstein menulis makalah ilmiah pertamanya tentang relativitas khusus. Di dalam makalah, ia menetapkan laju kecepatan cahaya selalu sama, tidak peduli seberapa cepat pengamat bergerak. Bahkan menggunakan pengukuran yang paling akurat sekalipun, kecepatan cahaya tetap sama bagi seorang pengamat yang hanya berdiri di permukaan Bumi dengan seseorang yang terbang menggunakan jet supersonik. Demikian pula, meskipun Bumi mengitari Matahari, yang juga bergerak mengelilingi Bima Sakti, perhitungan kecepatan cahaya yang bersumber dari Matahari akan tetap sama bagi seseorang yang berdiri di dalam atau di luar galaksi Bima Sakti. Einstein menghitung kecepatan cahaya tidak bervariasi dan tidak tergantung pada waktu atau tempat.

Meskipun kecepatan cahaya sering disebut sebagai batas kecepatan kosmik, laju ekspansi alam semesta sebenarnya melampaui kecepatan cahaya. Menurut astrofisikawan Paul Sutter, alam semesta meluas sekitar 68 kilometer per detik per megaparsec. 3,26 juta tahun cahaya adalah 1 megaparsec. Jadi, sebuah galaksi yang jaraknya 1 megaparsec akan bergerak menjauhi Bima Sakti dengan kecepatan 68 km/detik, sementara galaksi yang jaraknya 2 megaparsec bergerak dengan kecepatan 136 km/detik, dan seterusnya.

“Pada titik tertentu, di beberapa jarak paling ekstrem, petunjuk kecepatan di atas skala akan melampaui kecepatan cahaya, disebabkan oleh ekspansi ruang yang terjadi secara alami dan teratur,” Sutter menulis.

Dia juga menambahkan, sementara relativitas khusus menetapkan batas kecepatan mutlak, relativitas umum lebih mungkin diterapkan untuk jarak yang lebih jauh.

“Sebuah galaksi di sisi jauh alam semesta? Itulah domain relativitas umum. Dan relativitas umum mengatakan: Siapa yang peduli! Galaksi jauh tersebut dapat memiliki kecepatan sesuai keinginannya, selama ia tetap jauh dan tidak berada di dekat kita,” tulisnya.

“Relativitas khusus bukan domain bagi kecepatan sebuah galaksi jauh.”

Tahun Cahaya

Jarak perjalanan yang ditempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun disebut tahun cahaya. Tahun cahaya adalah satuan waktu dan jarak. Sebenarnya cukup mudah untuk memahaminya. Anggap saja seperti ini: Cahaya merambat dari Bulan ke mata kita dalam waktu 1 detik, berarti jarak Bulan adalah 1 detik cahaya. Cahaya Matahari membutuhkan waktu sekitar 8 menit untuk mencapai mata kita, sehingga jarak Matahari adalah sekitar 8 menit cahaya. Cahaya dari sistem bintang terdekat, Alpha Centauri, membutuhkan waktu sekitar 4,3 tahun untuk sampai di Bumi, sehingga sistem bintang ini dikatakan berjarak 4,3 tahun cahaya.

Bintang dan objek lain di luar tata surya kita terletak pada jarak dari beberapa tahun cahaya hingga beberapa miliar tahun cahaya. Jadi saat mempelajari benda-benda yang berjarak satu tahun cahaya atau lebih, para astronom melihat mereka seperti pada waktu cahaya meninggalkannya. Dalam pengertian ini, secara harfiah semua yang kita lihat di alam semesta jauh adalah masa lalu.

Prinsip ini memungkinkan para astronom untuk melihat bagaimana wujud alam semesta setelah Big Bang, yang terjadi sekitar 13,8 miliar tahun lalu. Meneliti objek-objek yang katakanlah berjarak 10 miliar tahun cahaya, berarti kita melihat mereka sebagaimana terlihat 10 miliar tahun yang lalu di masa lampau, bukan bagaimana mereka terlihat hari ini.

Apakah Kecepatan Cahaya Konstan?

Cahaya merambat dalam gelombang, dan seperti suara, dapat diperlambat tergantung pada apa yang dilaluinya. Tidak ada yang bisa melampaui kecepatan cahaya dalam ruang hampa. Namun, jika sebuah wilayah di ruang angkasa mengandung materi, bahkan materi seperti debu, cahaya dapat terdistorsi ketika berinteraksi dengan partikel debu sehingga kecepatannya menurun.

Cahaya yang melalui atmosfer Bumi merambat hampir secepat cahaya di ruang hampa, sementara cahaya yang melalui sebuah berlian, kecepatannya akan melambat hingga separuhnya.

Bisakah Kita Melampaui Kecepatan Cahaya?

Fiksi ilmiah sangat suka berspekulasi tentang hal ini, “warp speed”, kecepatan yang melampaui kecepatan cahaya sangat populer di masyarakat dan memungkinkan kita untuk menempuh perjalanan di antara bintang-bintang dalam waktu singkat. Meskipun secara teori tidak mungkin, melaju lebih cepat dari kecepatan cahaya secara mudah adalah gagasan yang cukup aneh.

Menurut teori relativitas umum Einstein, seiring bertambahnya kecepatan, massa sebuah objek akan meningkat dan panjangnya menyusut. Pada kecepatan cahaya, objek semacam itu harus memiliki massa yang tak terbatas, sementara panjangnya adalah 0, berarti adalah kemustahilan. Dengan demikian, secara teori tidak ada objek yang dapat melaju secepat cahaya.

Tetapi, kemustahilan sains tidak otomatis menghentikan munculnya teori kreatif dan kompetitif. Menurut beberapa ilmuwan, gagasan warp speed mungkin dapat terwujud. Mungkin suatu hari nanti kita mampu berpindah dari satu bintang ke bintang lainnya seperti melakukan perjalanan antar kota saat ini. Salah satu gagasan warp speed melibatkan sebuah pesawat antariksa yang bisa melipat gelembung ruang dan waktu di sekitarnya untuk melampaui kecepatan cahaya. Terdengar bagus, namun hanya dalam teori.

“Jika Kapten Kirk dibatasi hanya untuk melaju dengan kecepatan roket tercepat kita saat ini, ia membutuhkan waktu seratus ribu tahun hanya untuk mencapai sistem bintang berikutnya,” kata astronom senior Seth Shostak dari Institut Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) di Mountain View, California. “Jadi fiksi ilmiah telah lama mendalilkan sebuah cara untuk melampaui batas mutlak kecepatan cahaya, agar alur ceritanya bisa bergerak sedikit lebih cepat.”

Cari tahu lebih dalam di artikel:
Ditulis oleh: Nola Taylor Redd, kontributor www.space.com


#terimakasihgoogle

Komentar

  1. dari semua yg diceritakan oleh Ilmu Pengetahuan khususnya tentang alam semesta, hanya satu saja pertanyaan saya, yaitu : Bagaimana cara ilmuwan mendapatkan Photo bentuk dan informasi lainnya Glaksi Bima Sakti ini sendiri?, apakah teleskop Hubble atau yg lainnya pergi keluar dari galaksi Bima Sakti ini untuk memotret galaksi Bima Sakti ini?. kalau Photo planet, Matahari, Nebula dan galaksi lain bisa di ambil sebab teleskop berada di luar.

    BalasHapus
  2. Terima kasih untuk komentarnya gan.

    Tentu saja kita tidak bisa keluar dari galaksi rumah kita Bima Sakti dan memotretnya dari luar. Tetapi para astronom dapat memprediksi struktur Bima Sakti dengan mengamati pusat, dan sisi-sisinya. Para astronom mendapati tonjolan dan cakram galaksi yang merupakan ciri dari galaksi spiral.

    Setelah dibandingkan dengan galaksi-galaksi lainnya, setidaknya itulah prediksi gambaran dari galaksi yang menjadi rumah kita.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Inti Galaksi Aktif

Ilustrasi wilayah pusat galaksi aktif. (Kredit: NASA/Pusat Penerbangan Antariksa Goddard) Galaksi aktif memiliki sebuah inti emisi berukuran kecil yang tertanam di pusat galaksi. Inti galaksi semacam ini biasanya lebih terang daripada kecerahan galaksi. Untuk galaksi normal, seperti galaksi Bima Sakti, kita menganggap total energi yang mereka pancarkan sebagai jumlah emisi dari setiap bintang yang ada di dalamnya, tetapi tidak dengan galaksi aktif. Galaksi aktif menghasilkan lebih banyak emisi energi daripada yang seharusnya. Emisi galaksi aktif dideteksi dalam spektrum inframerah, radio, ultraviolet, dan sinar-X. Emisi energi yang dipancarkan oleh inti galaksi aktif atau active galaxy nuclei (AGN) sama sekali tidak normal. Lantas bagaimana AGN menghasilkan output yang sangat energik? Sebagian besar galaksi normal memiliki sebuah lubang hitam supermasif di wilayah pusat. Lubang hitam di pusat galaksi aktif cenderung mengakresi material dari wilayah pusat galaksi yang b

Messier 73, Asterisme Empat Bintang yang Membentuk Huruf Y

Asterisme Messier 73. Kredit gambar: Wikisky Messier 73 adalah asterisme (pola bintang) yang disusun oleh empat bintang di rasi selatan Aquarius yang terletak sekitar 2.500 tahun cahaya dari Bumi. Dengan magnitudo semu 9, nama lain bagi Messier 73 adalah NGC 6994 di New General Catalogue . Keempat bintang yang menyusun asterisme mirip huruf Y tidak memiliki hubungan secara fisik satu sama lain, mereka hanya tampak berdekatan di langit karena berada di satu garis pandang ketika diamati dari Bumi. Messier 73 cukup redup dan tidak mudah diamati menggunakan teropong 10×50, dibutuhkan setidaknya teleskop 4 inci untuk mengungkap pola huruf Y secara mendetail. Menduduki area 2,8 busur menit, keempat bintang Messier 73 memiliki magnitudo semu 10,48, 11,32, 11,90 dan 11,94. Musim panas adalah waktu terbaik untuk mengamatinya. Messier 73 dapat ditemukan di sebelah selatan Aquarius, tepatnya di dekat perbatasan dengan Capricornus. Messier 73 juga bisa dilokalisir hanya 1,5 der