Para
astronom yang melakukan penelitian menggunakan Teleskop Antariksa Hubble NASA, telah melewati ambang batas krusial untuk mengungkap selisih hasil dua
teknik utama pengukuran laju ekspansi alam semesta. Penelitian terbaru
memperkuat argumen dibutuhkan teori baru untuk
menjelaskan gaya yang membentuk kosmos.
Tinjauan Singkat
Setiap
detik alam semesta semakin meluas. Ruang antargalaksi semakin meregang seperti
adonan roti di dalam oven. Tetapi, seberapa cepat laju ekspansi alam semesta? Ketika Hubble dan jajaran teleskop lainnya berupaya menjawab
pertanyaan ini, hasil yang diperoleh selalu berbeda antara apa yang
diprediksi dan yang diamati oleh para ilmuwan.
Pengukuran Hubble menunjukkan laju ekspansi yang lebih cepat di alam
semesta modern, berdasarkan pada
bagaimana alam semesta muncul sekitar 13 miliar tahun yang lalu. Pengukuran terhadap alam semesta awal ini berasal dari data satelit Planck ESA (Badan
Antariksa Eropa). Selisih telah diidentifikasi dalam banyak makalah ilmiah selama beberapa tahun terakhir, tetapi belum bisa ditentukan apakah selisih hasil perhitungan disebabkan oleh teknik pengukuran.
Data
terbaru yang dihitung oleh Hubble telah menurunkan angka selisih laju ekspansi alam semesta dengan perhitungan yang dilakukan menggunakan teleskop lain, sekaligus mendukung gagasan dibutuhkan teori baru untuk
menjelaskan selisih hasil perhitungan.
“Perbedaan hasil perhitungan antara alam semesta awal dan akhir yang dilakukan oleh Hubble mungkin adalah salah satu hal paling menarik dalam kosmologi selama beberapa
dekade,” kata Adam Riess, peraih nobel dan penanggung jawab studi dari Space Telescope Science Institute
(STScI) dan Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland. “Perbedaan hasil telah memicu perdebatan dan tidak mungkin hanya dianggap sebagai kebetulan belaka.”
Mengencangkan Baut ‘Tangga Jarak Kosmik’
Para
ilmuwan memanfaatkan “tangga jarak kosmik” untuk menentukan jarak objek di alam semesta. Metode ini tergantung pada pengukuran jarak akurat ke galaksi terdekat untuk kemudian berpindah ke galaksi yang
lebih jauh, menggunakan bintang-bintang mereka sebagai batu penjuru. Para
astronom mengkombinasikan nilai ini dengan pengukuran cahaya dari galaksi
lain yang mengalami redshift (pergeseran
merah) ketika mengarungi kosmos yang terus meluas, untuk menghitung laju ekspansi kosmos seiring waktu, sebuah nilai yang dikenal sebagai Konstanta Hubble.
Riess
memimpin tim SH0ES (Supernovae H0 for the
Equation of State) sejak tahun 2005 untuk memperbaiki pengukuran jarak Teleskop Antariksa Hubble dan menyempurnakan Konstanta
Hubble. Dalam penelitian terbaru, tim menggunakan Hubble untuk
mengamati 70 bintang denyut yang disebut variabel Cepheid di galaksi Awan
Magellan Besar.
Observasi membantu tim untuk “membangun kembali” tangga jarak kosmik dengan
meningkatkan perbandingan antara bintang variabel Cepheid dengan ‘sepupu’
mereka yang terletak lebih jauh di galaksi yang menjadi induk supernova. Tim
Riess menurunkan persentase selisih Konstanta Hubble menjadi 1,9%
dari 2,2%.
Ketika
pengukuran tim SH0ES semakin akurat, hasil perhitungan Konstanta
Hubble tetap berbeda dengan nilai yang diperoleh dari pengamatan ekspansi awal
alam semesta. Pengukuran ekspansi awal alam semesta ini dilakukan oleh Planck,
yang memetakan latar belakang gelombang mikro kosmik, sisa-sisa radiasi dari 380.000
tahun setelah Big Bang.
Pengukuran
telah dievaluasi secara menyeluruh, sehingga para astronom tidak dapat
mengabaikan kesenjangan antara dua hasil perhitungan karena kesalahan dalam
pengukuran atau metode. Kedua nilai tersebut telah diuji dalam berbagai cara.
“Tak sekadar selisih hasil perhitungan dari dua metode,” jelas Riess. “Kami
mengukur sesuatu yang secara fundamental berbeda. Yang satu adalah pengukuran laju ekpansi kosmos seperti yang kita amati hari ini. Yang
lain adalah prediksi berdasarkan fisika alam semesta awal dan pada pengukuran
seberapa cepat seharusnya kosmos meluas. Jika terjadi selisih pada nilai-nilai ini,
ada kemungkinan kita telah kehilangan sesuatu dalam model kosmologis yang
menghubungkan dua era.”
Bagaimana Penelitian Terbaru Digelar
Tim telah menggunakan variabel Cepheid sebagai tolok ukur kosmik untuk
mengukur jarak antara galaksi-galaksi terdekat selama lebih dari satu abad. Tetapi ‘memungut’
sekelompok bintang ini sangat menyita waktu sehingga hampir tidak bisa dilakukan.
Jadi tim menggunakan DASH (Drift And Shift), metode baru yang dianggap lebih
efektif untuk menggunakan Hubble sebagai kamera “point-and-shoot” demi mengambil gambar bintang-bintang denyut yang sangat terang dengan akurat, sekaligus mengeliminir faktor konsumsi waktu dalam akurasi target.
“Ketika
mengunci bintang penjuru, Hubble hanya dapat mengamati satu bintang variabel Cepheid
setiap 90 menit, waktu yang dibutuhkan Hubble untuk satu kali mengorbit Bumi.
Jadi, biayanya akan sangat mahal agar Hubble dapat mengamati setiap Cepheid,” kata anggota tim Stefano Casertano, sesama astronom dari STScI dan Universitas Johns Hopkins. “Sebagai
gantinya, kami mencari kelompok Cepheid yang relatif saling berdekatan agar kami dapat bergerak di antara mereka tanpa harus mengkalibrasi ulang
teleskop. Kelompok Cepheid ini sangat cerah, kita hanya perlu
mengamati mereka selama dua detik. Teknik ini memungkinkan kami untuk mengamati
puluhan Cepheid setiap satu kali orbit. Jadi, kami selalu mengendalikan giroskop
dan DASHing dengan sangat cepat.”
Para
astronom Hubble kemudian menggabungkan hasil terbaru dengan serangkaian observasi lainnya yang dihitung oleh Araucaria
Project, sebuah kolaborasi antara para astronom dari Chili, AS, dan Eropa. Mereka mengukur jarak Awan Magellan
Besar dengan mengamati penurunan skala kecerahan cahaya saat sebuah bintang melintas di depan pengiringnya dalam fenomena gerhana sistem biner (ganda).
Kombinasi
pengukuran ini membantu tim SH0ES untuk memperbaiki tingkat kecerahan tulen Cepheid.
Dengan hasil yang lebih akurat, tim dapat “mengencangkan baut”
dari sisa “tangga jarak kosmik” yang memanjang lebih jauh ke ruang angkasa.
Lantas, Bagaimana Cara Menjelaskan Selisih Konstanta Hubble?
Satu penjelasan untuk selisih hasil perhitungan Konstanta Hubble secara tidak terduga melibatkan
energi gelap di alam semesta muda. Saat ini energi gelap diperkirakan membentuk
70% komposisi alam semesta. Teori yang diajukan oleh tim disebut “energi gelap awal” yang menggagas evolusi alam
semesta terjadi dalam tiga tahap.
Tim berhipotesis bahwa energi gelap eksis pada detik-detik pertama
setelah Big Bang dan bertanggung jawab atas penyebaran materi ke seluruh ruang yang memulai ekspansi awal alam semesta. Energi gelap mungkin juga bertanggung jawab atas akselerasi laju ekspansi kosmos saat ini. Teori baru juga menggagas ada episode energi gelap ketiga tidak lama setelah Big Bang
yang memperluas alam semesta lebih cepat dari yang diperkirakan para astronom. “Energi gelap awal” ini dapat menjelaskan selisih antara dua
nilai konstanta Hubble, pungkas Riess.
Penjelasan
alternatif lain adalah alam semesta mengandung
partikel subatomik baru yang bergerak hampir secepat cahaya yang secara kolektif disebut “radiasi gelap”, termasuk partikel
yang telah dikenal seperti neutrino yang dihasilkan dalam reaksi nuklir
dan peluruhan radioaktif.
Namun
penjelasan lain yang dianggap lebih menarik adalah materi gelap (wujud materi
tak kasat mata yang tidak terdiri dari proton, neutron, dan elektron) yang diduga lebih kuat berinteraksi dengan materi normal atau radiasi.
Namun
penjelasan yang sebenarnya masih menjadi misteri.
Riess
tidak memiliki jawaban untuk selisih hasil perhitungan yang dianggap menjengkelkan ini, tetapi tim
yang ia pimpin akan terus menggunakan Teleskop Antariksa Hubble untuk memangkas selisih Konstanta Hubble. Mereka ingin mengurangi selisih hingga 1%, yang diharapkan membantu para astronom untuk mengidentifikasi
penyebab perbedaan perhitungan.
Makalah ilmiah yang merinci hasil penelitian tim SH0ES telah diterima untuk dipublikasikan di The Astrophysical Journal.
Ditulis
oleh: Staf www.nasa.gov, editor: Rob Garner
Artikel
terkait: Ekspansi Alam Semesta Kita: Usia, Sejarah, dan Fakta-Fakta Lain
Komentar
Posting Komentar