Kredit: ESA/Hubble
& NASA; Acknowledgement: Gilles Chapdelaine
Gugus
bintang globular adalah salah satu ikatan benda langit tertua di galaksi kita.
Keindahan mereka bisa diamati dengan mudah menggunakan teleskop amatir yang
mampu mengatasi kilau kerumunan bintang yang tergantung di langit malam
layaknya ornamen Natal. Sekitar 150 gugus bintang globular telah ditemukan
menetap di galaksi Bima Sakti kita. Setiap gugus bisa mengandung ratusan ribu
hingga satu juta bintang yang menempati volume ruang relatif sempit sekitar
10-30 tahun cahaya.
Pada tahun
1918, astronom Harlow Shapley menyadari eksistensi dan struktur gugus bintang
globular. Dengan mempelajari distribusi gugus dan mengukur jarak mereka,
Shapley dapat menyimpulkan lokasi pusat Bima Sakti dan jarak Matahari dari
pusat galaksi. Pada tahun 1930-an, astronom Edwin Hubble menemukan gugus
bintang globular di galaksi tetangga Andromeda. Sejak saat, itu gugus bintang
globular telah ditemukan mengelilingi galaksi-galaksi lain.
Gugus
bintang globular menempati wilayah “galactic halo” yang mengelilingi
cakram galaksi kita. Gugus mengorbit pusat galaksi dan membutuhkan waktu jutaan
tahun untuk menyelesaikan lintasan orbit yang sangat elips dengan orientasi
acak. Sebagian besar gugus bintang globular mengembara sejauh 90.000-120.000
tahun cahaya dari pusat galaksi, beberapa di antaranya bahkan terpisah hingga
300.000 tahun cahaya dari pusat galaksi.
Pergerakan
mereka dipengaruhi oleh gaya gravitasi dari seluruh struktur galaksi,
memungkinkan para astronom untuk menghitung total massa Bima Sakti. Beberapa
perhitungan terbaru menghasilkan angka 500 miliar massa Matahari untuk total
massa Bima Sakti. Hasil perhitungan terlalu tinggi jika massa Bima Sakti hanya
berasal dari bintang, nebula dan materi yang kasat mata, mengindikasikan ada
sejumlah besar materi gelap tak kasat mata yang misterius di Bima Sakti.
Dibandingkan
dengan Matahari dan bintang-bintang lain di cakram galaksi, gugus bintang
globular tampaknya kekurangan unsur-unsur berat, sekaligus menunjukkan status
mereka sebagai benda langit purba yang hanya terbuat dari gas murni
terkondensasi yang menyusun struktur galaksi sejak awal. Meskipun komposisi
kimiawi setiap gugus berbeda, namun kemiripan komposisi setiap bintang di dalam
gugus mengindikasikan mereka dilahirkan dari satu awan molekuler.
Para
astronom dapat mengukur usia gugus bintang globular dengan cara mengamati
cahaya bintang di dalam gugus. Unsur kimiawi bisa diperoleh melalui cahaya yang
dipancarkan bintang, dan mereka berhasil mengungkap bahwa bintang di dalam
gugus biasanya hanya mengandung lebih sedikit unsur berat (lebih berat daripada
hidrogen dan helium), seperti karbon, oksigen dan besi.
Karena
generasi bintang secara bertahap menempa unsur-unsur berat melalui fusi nuklir,
jadi bintang dengan hanya sedikit unsur berat adalah relik dari sejarah kosmos.
Memang, bintang-bintang penyusun gugus globular adalah yang tertua dalam
catatan astronomi, berusia lebih dari 10 miliar tahun.
Fakta ini
memberikan peluang unik untuk mempelajari evolusi bintang, meskipun setiap
bintang memulai kehidupan dengan massa yang bervariasi. Dengan mengamati
luminositas dan suhu bintang di dalam gugus, para astronom belajar banyak
tentang siklus kehidupan bintang.
Sebagian
besar gugus bintang globular hanya mengandung bintang bermassa rendah dalam
sistem yang begitu rapat, sehingga kepadatan populasi bintang di dekat pusat
gugus sekitar dua bintang per satu kubik tahun cahaya. Sebagai perbandingan,
kepadatan populasi bintang di lingkungan kosmik Matahari hanya sekitar satu
bintang per 300 kubik tahun cahaya. Jika melihat ke langit dari sebuah planet
hipotetis di tengah gugus bintang globular, kita akan dikelilingi oleh senja
abadi yang bersumber dari cahaya ribuan bintang di dekatnya.
Tambahan Informasi
Gugus
Bintang Globular Messier 4 Dimanfaatkan untuk Mengkonfirmasi Usia Kosmos
Gambar Hubble: NASA dan H. Richer (University of British Columbia); Gambar
berbasis darat: NOAO/AURA/NSF
Mendorong
batas kemampuan penglihatannya, Teleskop Antariksa Hubble NASA telah menemukan
bintang-bintang tua yang telah menghabiskan bahan bakarnya untuk aktivitas fusi
nuklir di galaksi Bima Sakti kita. Dianggap sebagai “jam kosmik”, bintang redup
yang sudah sangat lanjut usia ini memberikan panduan independen tentang usia
alam semesta tanpa harus bergantung pada pengukuran ekspansi kosmos.
Bintang katai putih purba yang
diamati oleh Hubble di gugus bintang globular Messier 4, berusia antara 12-13
miliar tahun. Karena observasi Hubble sebelumnya telah mengungkap
bintang-bintang generasi pertama yang terbentuk kurang dari 1 miliar tahun
setelah Big Bang, menemukan bintang-bintang tertua memungkinkan para astronom
untuk menghitung usia sejati alam semesta.
Berdasarkan
ekspansi ruang, para astronom menetapkan usia kosmos dalam kisaran angka 13-14
miliar tahun. Tanggal kelahiran alam semesta adalah nilai yang paling
fundamental, sehingga para astronom sejak dulu mencari teknik penentuan usia
jagad raya lainnya sebagai konfirmasi ulang.
“Observasi
‘jalan pintas’ ini telah mencapai tahap pertanyaan usia dan menawarkan cara
yang sepenuhnya independen untuk menjabarkan nilai fundamental tersebut,”
ungkap Harvey Richer dari University of British Columbia di
Kanada.
Bersama
para kolega, Richer menggunakan Hubble untuk memburu bintang-bintang purba yang
bersembunyi di dalam gugus bintang globular Messier 4 yang terletak sekitar
5.600 tahun cahaya dari Bumi di rasi Scorpius.
Makalah
ilmiah yang melaporkan hasil penelitian telah dipublikasikan di Astrophysical
Journal Letters.
Secara
konseptual, teknik baru untuk menentukan usia kosmos sama seperti memperkirakan
berapa lama api unggun terbakar dengan mengukur suhu bara api. Bagi Hubble,
“bara” adalah bintang katai putih, sisa-sisa (inti) bintang yang terbentuk
paling awal di galaksi kita.
Bola
“abu” panas dan padat yang ditinggalkan oleh ‘tungku nuklir’ bintang yang telah
lama mati atau katai putih, mendingin dengan tingkat yang dapat diprediksi.
Semakin tua, katai putih akan semakin dingin, menjadikannya “jam kosmik” yang
telah berdetak hampir selama eksistensi alam semesta.
Pendekatan
ini diakui lebih andal daripada penentuan tanggal lahir kosmos menggunakan
bintang-bintang yang masih terbakar oleh fusi nuklir dan bergantung pada model
dan perhitungan rumit tentang bagaimana sebuah bintang membakar bahan bakar
fusi nuklir beserta usianya. Bintang katai putih lebih mudah dimanfaatkan untuk
model penentuan usia, triknya terletak pada penemuan “jam kosmik” paling redup
karena mengindikasikan usia yang paling tua.
Saat
mendingin, bintang katai putih semakin redup, sehingga Hubble harus mengambil
banyak gambar gugus globular purba Messier 4. Total durasi waktu yang
dibutuhkan hampir mencapai 8 hari dari 67 hari pengamatan untuk mengungkap
katai putih yang paling redup. Akhirnya katai putih paling dingin --dan paling
tua-- terlihat.
Dengan
magnitudo 30, mereka begitu redup untuk bisa dicitrakan menggunakan kamera
original Hubble. Skala kecerahan mereka sekitar satu miliar lebih redup
daripada bintang paling redup yang bisa diamati dengan mata telanjang.
Gugus
bintang globular adalah penghuni pertama Bima Sakti, yang membangun pusat
galaksi miliaran tahun sebelum kemunculan cakram pinwheel Bima
Sakti (sebagaimana dikonfirmasi lebih lanjut oleh pengamatan Richer). Saat ini
ada 150 gugus bintang globular yang menetap di Bima Sakti. Gugus bintang
globular Messier 4 dipilih karena paling dekat dengan Bumi, sehingga katai
putih di sana lebih mudah diatasi oleh Hubble.
Pada
tahun 1928, Edwin Hubble adalah astronom pertama yang memahami alam semesta
mengembang secara seragam. Berarti alam semesta memiliki batas usia yang dapat
diperkirakan secara matematis dengan membalik ekspansinya.
Estimasi
pertama usia kosmos oleh Edwin Hubble jatuh ke angka 2 miliar tahun.
Ketidakpastian tentang laju ekspansi memicu perdebatan sengit pada akhir tahun
1970-an, dengan perkiraan berkisar antara 8-18 miliar tahun. Perkiraan usia bintang
“deret utama” normal tertua tidak konsisten dengan perkiraan
terendah usia kosmos, mengingat bintang tidak bisa lebih tua dari alam semesta
itu sendiri.
Pada
tahun 1997, para astronom memanfaatkan Hubble untuk memecahkan kebuntuan dengan
mengumumkan usia akurat kosmos yang dihitung dari pengukuran laju ekspansi.
Penentuan usia tersebut segera memperumit keadaan setelah tim astronom lain
menemukan akselerasi laju ekspansi karena gaya tolak misterius yang disebut
“energi gelap”.
Ketika
faktor energi gelap dimasukkan ke penentuan sejarah ekspansi kosmos, para
astronom tiba pada usia 13-14 miliar tahun. Usia yang saat ini diverifikasi
secara independen oleh usia “jam kosmik” bintang katai putih yang diukur Hubble.
Kredit:
ESA/Hubble & NASA
Messier 69
adalah salah satu gugus bintang globular paling kaya kandungan logam yang
pernah diamati. Dalam astronomi, istilah “logam” mengacu pada unsur apa pun
yang lebih berat daripada dua unsur yang paling mendominasi di alam semesta
kita, hidrogen dan helium. Fusi nuklir yang menjadi sumber daya utama bintang,
menempa banyak unsur logam di alam semesta, mulai dari kalsium yang ditemukan
di tulang kita hingga karbon di berlian. Bintang-bintang generasi baru
diproduksi dari sisa-sisa bintang generasi pendahulu, sehingga kandungan logam
di gugus bintang globular purba jauh lebih rendah daripada bintang-bintang
generasi berikutnya, seperti Matahari.
Bintang-bintang
di Messier 69 diketahui memiliki kandungan logam sepuluh kali lipat lebih
banyak daripada bintang di gugus bintang globular lainnya yang berusia setara.
Mempelajari susunan bintang di gugus bintang globular seperti Messier 69 telah
membantu para astronom untuk melacak kembali evolusi pembentukan bintang di
seluruh kosmos.
Gambar pusat
Messier 69 yang diabadikan oleh Teleskop Antariksa Hubble NASA ini adalah
komposit dari panjang gelombang cahaya kasat mata dan inframerah. Dalam gambar
ini, bintang latar depan terlihat lebih besar dengan rona keemasan dibandingkan
latar belakang ribuan bintang putih keperakan yang menyusun Messier 69.
Kredit:
ESA/Hubble & NASA
Dalam gambar
ini, Hubble telah mengabadikan wilayah pusat gugus bintang globular rapat nan
cemerlang dalam cahaya kasat mata dan inframerah yang disebut Messier 70.
Tempat tinggal ratusan ribu bintang ini begitu penuh sesak, gaya gravitasi
saling mengikat mereka dalam volume ruang angkasa yang sangat sempit. Messier
70 dianggap sebagai salah satu objek kosmik menarik karena telah mengalami
fenomena yang disebut keruntuhan inti, berarti ada lebih banyak bintang yang
berada di inti daripada di wilayah lain gugus.
Legiun
bintang di gugus globular diketahui berbagi orbit mengelilingi pusat gravitasi
bersama. Namun ada pula beberapa bintang yang tetap mempertahankan orbit yang
relatif melingkar, termasuk ke pinggiran gugus. Interaksi antar bintang dari
waktu ke waktu menyebabkan bintang-bintang dengan massa yang lebih ringan
cendurung untuk menambah kecepatan orbit dan bermigrasi ke pinggiran gugus,
sedangkan bintang-bintang masif bergerak lebih lambat dan berkumpul ke pusat
gugus. Efek berjubelnya bintang-bintang masif menghasilkan keruntuhan inti.
Sekitar 20% dari sekitar 150 gugus bintang globular di Bima Sakti telah
mengalami keruntuhan inti.
Meskipun
banyak gugus bintang globular yang lebih memilih berada di tepi galaksi,
Messier 70 justru mengorbit dekat dengan pusat Bima Sakti. Sungguh luar biasa,
meskipun gaya tarik gravitasi pusat galaksi begitu kuat, Messier 70 tetap mampu
mempertahankan strukturnya yang menyerupai bola.
Ditulis
oleh: Staf hubblesite.org dan staf www.nasa.gov
Komentar
Posting Komentar