Langsung ke konten utama

Keragaman Eksoplanet dalam Upaya Pencarian Kehidupan di Alam Semesta

keragaman-eksoplanet-dalam-upaya-pencarian-kehidupan-di-alam-semesta-informasi-astronomi
Sebagaimana ditunjukkan dalam ilustrasi, keragaman adalah salah satu tema utama dalam penemuan eksoplanet selama seperempat abad terakhir. Sebagian besar di antaranya telah ditemukan dengan metode “transit”, yaitu pengamatan bayangan kecil saat sebuah planet melintas di depan bintang induknya.
Ilustrasi: NASA/JPL-Caltech/Lizbeth B. De La Torre
 
Sejak penemuan sebuah planet raksasa sangat panas yang menarik perhatian publik pada tahun 1995, langit ternyata dipenuhi dengan eksoplanet (planet di luar tata surya) yang aneh, eksotis dan kini semakin kaya dalam detail dan keragaman.
 
Jupiter panas, Neptunus mini, Bumi super, planet yang mengorbit dua atau tiga ‘Matahari’, planet berbatu yang tenggelam di lautan lava global, atau planet dengan hujan kaca, semua itu hanyalah daftar singkat dalam kejanggalan di antara lebih dari 4.300 eksoplanet di galaksi Bima Sakti kita yang penemuannya telah dikonfirmasi.
 
Dan kita baru menggores permukaannya saja, mengingat Bima Sakti diperkirakan menampung triliunan planet.
 
Pencarian kehidupan di luar Bumi telah berkembang seiring dengan upaya perburuan dunia-dunia jauh. Simulasi komputer terhadap planet yang mengandung kehidupan juga semakin mirip dengan kenyataannya. Pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan dunia layak huni di tata surya kita, seperti Mars, Europa (bulan Jupiter), Enceladus (bulan Saturnus), juga memperkaya referensi untuk mencari kehidupan di antara bintang-bintang.
 
Para ilmuwan keplanetan, pemburu eksoplanet dan astrobiologis, yang berusaha memahami asal usul dan persyaratan penopang kehidupan, turut meramaikan penelitian. Sementara NASA bersama para mitra akademis dan internasional, memimpin di bidang sains (astrobiologi) yang relatif baru ini.
 
“Saya tak pernah berhenti tertarik dengan energi, inovasi dan kreatifitas dari komunitas eksoplanet,” ungkap Doug Hudgins, seorang ilmuwan dari Exoplanet Exploration Program NASA di Markas Besar NASA, Washington. “Salah satu hal yang membuat bidang ini menarik adalah pengaruhnya terhadap cara pandang umat manusia, di mana kita berada sebagai manusia. Apakah kita sendirian? Yang secara langsung menjawab pertanyaan mendasar umat manusia.”
 
Debut Eksoplanet: ‘Jupiter panas’
 
Meskipun bukan eksoplanet pertama yang pernah ditemukan, 51 Pegasi b adalah planet pertama yang terdeteksi mengorbit bintang mirip Matahari. 51 Pegasi b memicu kegembiraan komunitas sains internasional ketika dikonfirmasi pada tahun 1995, yang mengantarkan kita ke sebuah era baru penemuan eksoplanet.
 
Sebagai planet gas raksasa yang setara dengan setengah massa Jupiter, 51 Pegasi b mengorbit bintang induknya dari jarak sangat dekat dan menyelesaikan satu kali orbit hanya dalam waktu empat hari.
 
Kedekatannya dengan bintang induk membuat suhu 51 Pegasi b sangat panas, dan tentu saja tak layak huni. Tetapi 51 Pegasi b menunjukkan bahwa eksoplanet dapat dideteksi melalui “goyangan” atau metode kecepatan radial, yang mendeteksi goyangan bintang karena gaya gravitasi planet yang mengorbit.
 
Meskipun telah mengkonfirmasi ratusan dan masih dianggap sebagai metode utama untuk menemukan eksoplanet, pada tahun 2009 popularitas kecepatan radial telah dilampaui oleh pencarian “bayangan”.
 
Juga disebut metode transit, pendekatan sains ini melibatkan upaya untuk mendeteksi bayangan planet saat melintas di depan bintang induk (transit). Bayangan planet sangat redup, karena biasanya hanya menyebabkan cahaya bintang menurun kurang dari 1%.
 
Teleskop Antariksa Kepler NASA mulai membanjiri penemuan eksoplanet dengan metode transit ketika diluncurkan pada tahun 2009. Deteksi transit sekarang menjadi metode dominan dalam perburuan dan bertanggung jawab atas deteksi ribuan planet yang ditemukan oleh teleskop-teleskop berbasis antariksa dan darat. Dan meskipun Kepler telah memasuki masa purna tugas pada tahun 2019, para ilmuwan terus menambang arsip data yang dikumpulkan Kepler demi penemuan-penemuan baru.
 
Metode-metode lain juga turut berkontribusi atas penemuan eksoplanet, meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit. Namun, ketika para ilmuwan harus mengungkap karakteristik planet secara mendetail, ada salah satu metode yang diharapkan bergabung dalam perburuan dalam beberapa dekade mendatang, yaitu “pencitraan langsung”.
 
Sejauh ini, beberapa eksoplanet telah dicitrakan secara langsung melalui deteksi piksel cahaya planet itu sendiri. Dan hanya planet-planet raksasa belia yang masih berpendar dari suhu panas proses pembentukan yang bisa dicitrakan dengan cara ini.
 
Tetapi pencitraan langsung planet-planet yang mulai beranjak dewasa dan hanya diterangi oleh cahaya dari bintang induknya, akan menjadi tanggung jawab teleskop generasi masa depan. Saat ini masih dalam fase konseptual, beberapa di antaranya akan menggunakan jenis teknologi pemblokiran cahaya bintang yang disebut koronagraf. Sistem penutup, prisma, cermin dan filter pada teleskop akan memblokir silau cahaya dari bintang induk untuk mengungkap planet-planet yang mengorbit di sekitarnya.
 
Sementara teknologi konseptual lainnya akan menerapkan “starshade”, yaitu pesawat antariksa berbentuk mirip bunga matahari sebesar kotak base lapangan bisbol yang ditempatkkan sekitar 40.000 kilometer di depan teleskop antariksa. Starshade juga akan memblokir cahaya bintang dan memungkinkan teleskop untuk mencitrakan planet secara langsung.
 
Menemukan Kembaran Bumi
 
Adapun semua metode perburuan planet mengarah ke target utama, yaitu menemukan dunia seukuran Bumi yang mengorbit bintang mirip Matahari, dengan orbit atau durasi tahun yang sebanding dengan orbit planet kita.
 
Mungkin terdengar janggal. Dengan segala keragaman di antara ribuan eksoplanet yang telah dikonfirmasi sejauh ini, belum pernah ditemukan planet kembaran Bumi.
 
Tetapi ketidakmampuan kita untuk menemukan dunia seperti itu bukanlah hal yang misterius, jika kita mempertimbangkan teknologi yang kita miliki saat ini, meskipun jajaran teleskop dan instrumen, baik yang berbasis antariksa maupun darat, telah menghasilkan penemuan menakjubkan sejak awal tahun 1990-an.
 
Eksoplanet yang jaraknya puluhan atau ratusan tahun cahaya, biasanya terlalu redup untuk dilihat dan disembunyikan oleh kilau cahaya bintang induk. Teknologi untuk memblokir cahaya bintang induk mungkin suatu hari dapat mengatasinya.
 
“Eksoplanet sangat redup,” tambah Hudgins.
 
Bahkan penelitian yang jauh lebih menantang adalah menentukan jarak orbit planet dari bintang.
 
Teleskop antariksa kita memang dianggap cukup kuat untuk mengambil transit planet seukuran Bumi di sekitar bintang mirip Matahari. Tetapi teleskop harus menunggu terlalu lama untuk memastikan planet yang memiliki orbit periode panjang. Misalnya jika durasi tahun planet itu sebanding dengan Bumi, teleskop harus menunggu 365 hari untuk mengamati transit kedua.
 
Faktor tersebut ternyata berada di luar jangkauan Teleskop Antariksa Kepler yang legendaris, dan tidak ada teleskop yang diluncurkan setelahnya yang mampu mengatasinya.
 
keragaman-eksoplanet-dalam-upaya-pencarian-kehidupan-di-alam-semesta-informasi-astronomi
Kredit: NASA/JPL-Caltech/Lizbeth B. De La Torre
 
Banyak planet kecil berbatu dalam kisaran ukuran Bumi yang telah ditemukan, seperti tujuh planet seukuran Bumi yang mengorbit bintang TRAPPIST-1. Tapi mereka semua mengorbit bintang katai merah atau versi dari Matahari kita yang lebih kecil dan lebih dingin.
 
Sementara beberapa di antaranya diduga layak huni meskipun berada terlalu dekat dengan bintang induk, suhu yang lebih dingin berpotensi menopang air di permukaan planet, meskipun durasi tahun mereka hanya berlangsung selama beberapa hari.
 
Katai merah juga kerap menyemburkan radiasi berbahaya yang berpotensi mensterilkan kehidupan, terutama pada masa setelah terbentuk. Hal itu bisa menjadi fitur yang mendiskualifikasi tingkat habitabilitas planet yang mengorbit dari jarak dekat, layaknya ngengat yang terbang terlalu dekat dengan api.
 
Menemukan analog sistem Bumi-Matahari, atau bahkan rumah bagi kehidupan, juga membutuhkan upaya lebih dari sekadar menjelajahi langit untuk mencari dunia yang mirip dengan dunia kita. Mempelajari bagaimana kehidupan muncul di Bumi berarti sama dengan mempelajari asal-usul sistem planet itu sendiri: mulai dari proses pembentukannya dari piringan gas dan debu yang berputar-putar di sekitar bintang belia, pembentukan planet-planet lain di tata surya, dan bagaimana proses serupa dapat mengungkap sistem planet yang menginduk bintang lain.
 
Apakah sebuah sistem planet yang mirip dengan tata surya kita, seperti Jupiter dan raksasa-raksasa gas lain terletak lebih jauh dari bintang induk, sementara dunia-dunia kecil berbatu lebih dekat dari bintang induk, lalu apakah mereka umum atau langka? Apakah keluarga planet di tata surya kita mirip dengan sistem planet lain, atau apakah tata surya kita adalah sistem yang langka?
 
“Kita bahkan belum bisa memahami apakah tata surya kita adalah sistem planet yang tipikal atau tidak,” tutur Hudgins. “Kita tidak mempunyai gambaran yang lengkap.”
 
Planet yang paling aneh mungkin adalah yang kita lihat di sistem lain dan tidak ditemukan di tata surya, yaitu “Bumi super” atau planet yang berukuran 1,8 kali lebih besar dari Bumi. Planet tipe Bumi super diperkirakan cukup umum di galaksi Bima Sakti. Apakah mereka planet berbatu seperti Bumi raksasa, atau cenderung gas seperti Neptunus?
 
Untungnya, tipe planet umum lain yang kerap disebut “Neptunus mini” lebih mudah didefinisikan, karena memang dunia gas yang lebih kecil dari Neptunus kita. Lantas mengapa tata surya kita tidak memilikinya? Dan mengapa Neptunus mini begitu banyak tersebar di sekitar galaksi?
 
“Celah” Misterius dalam Ukuran Eksoplanet
 
Para astronom juga dibingungkan dengan apa yang justru tidak ada di luar sana. Sangat minim jumlah planet di antara dua rentang ukuran Bumi super dan Neptunus mini.
 
Celah misterius itu disebut “celah Fulton”, yang diambil dari nama B.J. Fulton, seorang ilmuwan yang menguraikan ketidakhadiran mereka dalam sebuah makalah sains pada tahun 2017.
 
Sebagai seorang peneliti di Caltech (California Technology), Fulton menjelaskan bahwa dia sekarang berupaya untuk lebih memahami tentang celah itu, dan bagaimana celah dapat berubah untuk planet-planet yang mengorbit berbagai tipe bintang.
 
“Sepertinya celah itu dan planet-planet di sekitar celah, bergerak ke ukuran yang lebih besar ketika mereka mengorbit bintang yang lebih masif,” jelas Fulton. “Sekadar petunjuk, menurut saya, dan belum ada bukti yang sangat kuat.”
 
Menjawab berbagai pertanyaan terkait tidak hanya membutuhkan pengamatan terhadap eksoplanet dan bintang induknya, tetapi juga membutuhkan simulasi komputer, atau model dari planet dan sistem planet lain.
 
Model serupa telah berkembang seiring kemajuan komputasi dan dianggap cukup mewakilii atmosfer planet yang kompleks, atau skenario pembentukan yang melibatkan migrasi planet menuju atau menjauh dari bintang induk.
 
Berdasarkan definisi, model memang tidak pernah bisa benar-benar lengkap sesuai aslinya, tetapi model dapat mengungkap fisika dan atribut sistem, sekaligus menjelaskan kondisi yang mungkin ditemukan di eksoplanet yang sebenarnya, termasuk potensi habitabilitasnya.
 
Pemodelan akan sangat dibutuhkan menjelang peluncuran teleskop antariksa yang mumpuni dalam “membaca” atmosfer eksoplanet. Teleskop Antariksa James Webb yang direncanakan meluncur pada akhir tahun 2021, dipersenjatai dengan “spektroskopi” atau instrumen yang mengurai cahaya dari atmosfer eksoplanet menjadi spektrum, dan menciptakan sesuatu seperti barcode yang mengungkap molekul gas di atmosfer.
 
Beberapa di antaranya bisa menjadi “biosignatures” atau tanda-tanda yang mengarah ke kehidupan biologis, seperti oksigen, meskipun belum bisa sepenuhnya dikonfirmasi.
 
“Tak cukup untuk mengatakan bahwa kita mempunyai oksigen,” ujar astrobiologis Vikki Meadows yang mengepalai Virtual Planetary Laboratory di Nexus for Exoplanet System Science NASA. “Bisakah kita menafsirkannya dalam konteks lingkungan? Bisakah kita membuktikan oksigen tidak berasal dari proses keplanetan, melainkan dari kehidupan itu sendiri?”
 
Di situlah peran penting pemodelan. Laboratorium yang dipimpin Meadows menciptakan simulasi dari dunia dimaksud. Meskipun teleskop masa depan berbasis antariksa dan darat dapat menemukan oksigen di atmosfer eksoplanet, tetap dibutuhkan pemahaman bagaimana oksigen bisa sampai di sana. Karena beberapa model menunjukkan bahwa oksigen dapat muncul tanpa adanya kehidupan.
 
“Kita perlu memahami sebanyak mungkin tentang planet yang kita amati, untuk berjaga-jaga agar kita tidak tertipu,” tambah Meadows. “Apakah memiliki atmosfer dan seperti apa atmosfernya? Apakah memiliki lautan? Apakah benar-benar menampung kehidupan?”
 
Seiring meningkatnya kejanggalan akibatnya bertambahnya eksoplanet yang kita temukan pada masa depan, pemodelan akan menjadi kunci untuk memahaminya.
 
Dan para ahli di bidang pemodelan, astrobiologis, keplanetan, termasuk para pemburu eksoplanet, akan menjadi pemain utama untuk menemukan kehidupan di alam semesta.
 
Hanya dengan memahami seluruh sistem planet, bukan pada satu elemen saja, kita dapat mengambil denyut dari sebuah planet yang bernafas, harap Hudgins.
 
“Upaya nomor satu adalah membangun kerangka kerja,” pungkasnya. “Dapatkah kita menyatukan para ahli astrobiologi, sains keplanetan dan teknologi astrofisika untuk menyusun bidang planetologi yang komparatif ini, dan pada akhirnya pencarian kehidupan, menjadi kenyataan?”
 
“Hari saat kita mendeteksi kehidupan di sebuah eksoplanet tidak lain adalah revolusi Copernicus, yang mengubah sejarah umat manusia untuk selamanya.”
 
Ditulis oleh: Pat Brennan, NASA's Exoplanet Exploration Program
 
Sumber: What's Out There? The Exoplanet Sky So Far
 
#terimakasihgoogle dan #terimakasihnasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diameter Bumi

Kredit: NASA, Apollo 17, NSSDC   Para kru misi Apollo 17 mengambil citra Bumi pada bulan Desember 1972 saat menempuh perjalanan dari Bumi dan Bulan. Gurun pasir oranye-merah di Afrika dan Arab Saudi terlihat sangat kontras dengan samudera biru tua dan warna putih dari formasi awan dan salju antartika.   Diameter khatulistiwa Bumi adalah  12.756 kilometer . Lantas bagaimana cara para ilmuwan menghitungnya? Kredit: Clementine,  Naval Research Laboratory .   Pada tahun 200 SM, akurasi perhitungan ukuran Bumi hanya berselisih 1% dengan perhitungan modern. Matematikawan, ahli geografi dan astronom Eratosthenes menerapkan gagasan Aristoteles, jika Bumi berbentuk bulat, posisi bintang-bintang di langit malam hari akan terlihat berbeda bagi para pengamat di lintang yang berbeda.   Eratosthenes mengetahui pada hari pertama musim panas, Matahari melintas tepat di atas Syene, Mesir. Saat siang hari pada hari yang sama, Eratosthenes mengukur perpindahan sudut Matahari dari atas kota Al

Apa Itu Kosmologi? Definisi dan Sejarah

Potret dari sebuah simulasi komputer tentang pembentukan struktur berskala masif di alam semesta, memperlihatkan wilayah seluas 100 juta tahun cahaya beserta gerakan koheren yang dihasilkan dari galaksi yang mengarah ke konsentrasi massa tertinggi di bagian pusat. Kredit: ESO Kosmologi adalah salah satu cabang astronomi yang mempelajari asal mula dan evolusi alam semesta, dari sejak Big Bang hingga saat ini dan masa depan. Menurut NASA, definisi kosmologi adalah “studi ilmiah tentang sifat alam semesta secara keseluruhan dalam skala besar.” Para kosmolog menyatukan konsep-konsep eksotis seperti teori string, materi gelap, energi gelap dan apakah alam semesta itu tunggal ( universe ) atau multisemesta ( multiverse ). Sementara aspek astronomi lainnya berurusan secara individu dengan objek dan fenomena kosmik, kosmologi menjangkau seluruh alam semesta dari lahir sampai mati, dengan banyak misteri di setiap tahapannya. Sejarah Kosmologi dan Astronomi Pemahaman manusia

Berapa Lama Satu Tahun di Planet-Planet Lain?

Jawaban Singkat Berikut daftar berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap planet di tata surya kita untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari (dalam satuan hari di Bumi): Merkurius: 88 hari Venus: 225 hari Bumi: 365 hari Mars: 687 hari Jupiter: 4.333 hari Saturnus: 10.759 hari Uranus: 30.687 hari Neptunus: 60.190 hari   Satu tahun di Bumi berlalu sekitar 365 hari 6 jam, durasi waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu kali orbit mengitari Matahari. Pelajari lebih lanjut tentang hal itu di artikel: Apa Itu Tahun Kabisat? Satu tahun diukur dari seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sebuah planet untuk mengorbit bintang induk. Kredit: NASA/Terry Virts Semua planet di tata surya kita juga mengorbit Matahari. Durasi waktu satu tahun sangat tergantung dengan tempat mereka mengorbit. Planet yang mengorbit Matahari dari jarak yang lebih dekat daripada Bumi, lama satu tahunnya lebih pendek daripada Bumi. Sebaliknya planet yang